Mohon tunggu...
ANANTYA ALIYYA A A
ANANTYA ALIYYA A A Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum UGM 2019

Saya menulis berbagai artikel tentang hukum, dengan konsen bahasan di bidang hukum islam.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Poligami Melalui Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Perkawinan

17 Desember 2020   14:15 Diperbarui: 17 Desember 2020   14:24 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Poligami merupakan salah satu fenomena sosial berdimensi perkawinan yang sering kita jumpai di tengah masyarakat. Secara etimologi, kata poligami berasal  dari bahasa Yunani, yaitu poli atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Sehingga dapat dipahami  bahwa poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan. Artinya istri-istri tersebut  masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah sebagai  istrinya.  Dalam praktiknya,  fenomena ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Di satu sisi terjadi penolakan poligami oleh sebagian besar wanita karena dinilai tidak sesuai dengan konsep keluarga yang mereka inginkan, namun disisi lain malah pihak wanita yang memilihkan bahkan mencarikan calon istri baru untuk suaminya dengan alasan tertentu.

 Melihat hal tersebut, pemerintah sebagai ulil amri berupaya mengatasi problematika yang terjadi dengan mengaturnya melalui peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Dengan adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), pemerintah memberikan penawaran jalan keluar atas berbagai persoalan yang berkenaan dengan hukum islam, khusunya mengenai perkawinan –termasuk didalamnya tentang poligami.

 Dalam islam sendiri, konsep  poligami dikenal melalui surah An-Nisa ayat 3 yang artinya,

 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan  berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

 Perlu diperhatikan bahwa ayat tersebut turun setelah Perang Uhud berakhir. Yang mana keadaan saat itu, banyak kaum muslim yang gugur di medan pertempuran dan meninggalkan anak dan istri mereka. Sehingga untuk memelihara mereka dan menghindari perbuatan yang tidak diinginkan, Allah SWT, memperbolehkan kaum muslim yang masih hidup untuk mengawini mereka.

 Dan apabila mereka -kaum muslim yang masih hidup- merasa takut akan menelantarkan dan merasa tidak sanggup memelihara harta anak yatim, maka Allah memperbolehkan untuk mencari wanita lain untuk dikawini sampai empat orang.

 Dalam ayat tersebut juga disebutkan bahwa apabila seseorang takut tidak dapat  berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja agar tidak berbuat aniaya. Yang menjadi pokok permasalahan di sini adalah, apakah manusia bisa berlaku adil ?

 Walaupun secara ekplisit Al-Quran mengisyaratkan bahwa sejatinya manusia sangat sulit dalam berlaku adil. Namun, Al-Quran menghendaki  setidaknya seseorang untuk tidak cenderung kepada salah satu dan mengabaikan atau menelantarkan yang lain. Sebagaimana disebutkan dalam surah An-Nisa ayat 129 yang artinya,

 “Dan tidak akan ada kekuatan dalam diri kamu untuk memperlakukan istri-istrimu secara adil, meskipun kamu ingin sekali melakukannya, dan oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang satu sehingga mengabaikan yang lain, membiarkannya dalam keadaan seperti ini mempunyai atau tidak mempunyai suami”.

 Jika ditarik garis besar, pandangan normatif al-Qu’ran, setidaknya ada dua persyaratan yang dimiliki seseorang yang akan berpoligami, yaitu

  Pertama, seorang yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun