Mohon tunggu...
Ananto Nugroho
Ananto Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Pemerhati Politik Perburuhan dan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bincang Pincang Mata Najwa tentang KPK

4 Juni 2021   08:25 Diperbarui: 4 Juni 2021   08:25 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 2 Juni 2021 yang lalu, kembali Mata Najwa hadir untuk mengangkat berbagai isu kemasyarakatan yang sedang menjadi trending saat ini. Untuk tema yang diangkat kemarin adalah "Atasa Nama Pancasila" dimana terkait dengan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) dan pelantikan pegawai KPK sebagai ASN yang dilakukan atas lebih dari 1.200 pegawai yang lolos test tepat di hari Kelahiran Pancasila tanggal 1 Juni 2021.

Saya salah satu penggemar acara mata najwa sekalipun untuk tema KPK ini saya secara pribadi sudah tidak berminat untuk mengikutinya. Namun entah kenapa, ketika nara sumber yang pertama kali ditampilkan oleh najwa adalah pegawai yang tidak lolos TWK dan pegawai yang lolos namun tergabung untuk meminta penundaan pelantikan karena berbgai alasan termasuk alasan solidaritas, maka akhirnya saya tidak memindahkan channel televisi saya.

Setelah saya ikuti terus hingga akhir, nampaknya saya mendapati adanya kepincangan dalam acara Najwa kali ini.  Bukan karena durasinya yang kurang, namun lebih karena ketidakseimbangan kompetensi Nara Sumber dari Najwa yang dihadirkan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Hal ini karena sebenarnya permasalahan KPK ini terdapat 2 (dua) masalah yang mendasar, yaitu pertama, kejelasan hukum (keabsahan) peralihan pegawai KPK dan kedua, validitas test wawasan kebangsaan (TWK).  

Nah....beraawal dari permasalahan ini pada akhirnya hanya terbahas permasalahan yang pertama yaitu Keabsahan peralihan pegawai KPK menjadi ASN, sementara permsalahan yang kedua, tidk terbahas secara jelas karena ketidakseimbangan kompetensi Nara Sumber. Oleh karena itu, saya melihat kepincangan dalam diskusi  Najwa kali ini. 

Dari seluruh Nara Sumber di luar pegawai KPK yang dihadrikan, saya juga melihat kegagalan Nara Sumber dari PGI, Bpk Hendrek Loka, Sekretaris Eksekutif PGI, untuk dapat menguasa diskusi seiring dengan berbagai "bully"  yang diterima oleh PGI setelah konferensi Pers PGI dilakukan pasca menerima perwakilan 75 pegawai KPK yang gagal lolos TWK, termasuk kehadiran Novel Baswedan.

Perlu saya jelaskan bahwa saya sejak dulu mendukung KPK dan berbagai elemen pendukung dari kelompok masyarakat yang berada di belakang layar KPK. Namun setelah merebaknya berbagai isu yang ada, termasuk isu Taliban di KPK, dukungan dana hibah dari KPK kepada berbagai organisasi yang minim transparansi, serta ditambah dengan gerak lamban KPK dalam menangani indikasi korupsi di lingkungan DKI Jakarta, mulai muncul berbagai keraguan. Saya mencoba untuk tetap jernih melihat permasalahan KPK yang ada saat ini.

Permasalahan Pertama

Terkait dengan permasalahan kedudukan hukum peralihan pegawai KPK, maka perspektif yang perlu dilihat adalah dimana kedudukan hukum KPK dalam tatanan kenegaraan di Indonesia. Sesuai dengan UU KPK, maka kelembagaan KPK sebenarnya ditetapkan di bawah eksekutif yang dikepalai oleh Presiden. Oleh karena itu, KPK secara hukum adalah salah satu pelaksana fungsi eksekutif. 

Dalam Trias Politica, dikenal pembagian kekuasaan negara yang terdiri atas Eksekutif, Yudikatif  dan Legislatif. Dengan kedudukan hukum KPK yang berada di ranah eksekutif, maka sangat wajar bahwa managerial KPK adalah menjadi bagian dari aparatur negara dengan pimpinan komisi yang dibatasi oleh waktu dan dipilih oleh  organ perwakilan rakyat yang berada di ranah Legislatif. Hal ini sama dengan Presiden yang dipilih rakyat yang lalu membentuk kabinet yang dibatasi secara waktu. Oleh karena itu, tidak pernah ada masalah sebenarnya peralihan pegawai KPK sebagai ASN, justru malah membantu memperjelas kedudukan hukumnya. 

Kalau kita analogikan ASN adalah pekerja/buruh, maka ASN adalah  pekerja / buruh negeri seperti pekerja/buruh swasta. Ada yang terikat dengan hubungan kerja permanen / tetap namun ada juga ASN yang terikat dengan hubungan kerja sementara / kontrak yang biasa disebut PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang bekerja untuk waktu tertentu.  

Bukankah itu sama dengan Undang -- Undang Ketenagakerjaan yang berlaku bagi pekerja / buruh swasta yang terdiri atas pekerja / buruh tetap dan pekerja / buruh kontrak. Nah...clear kan. Setiap pegawai atau pekerja atau buruh selalu butuh majikan atau pengusaha atau pemberi pekerjaan, begitu juga sebaliknya. Kalau pegawai KPK tidak mau menjadi ASN, maka siapa majikan atau pemberi pekerjaannya? Apalagi di KPK terdapat wadah pegawai yang sering dianalogikan sebagai Serikat Pekerja KPK. Jadi makin jelas kan posisi pegawai KPK. Apapun penyebutannya, pegawai, pekerja atau buruh maka tetap saja pegawai KPK menerima gaji/upah, perintah dan pekerjaan.

Nara sumber yang diundang Najwa nampaknya hanya berkutat dan memiliki kompetensi dalam menjawab permasalahan pertama saja. Itupun tidak pernah mendapatkan kesepakatan. Namun hal ini adalah hal yang lumrah karena mereka yang hadir kebanyakan berlatar belakang pendidikan hukum. Bukankah ketika 2 orang sarjana hukum berdiskusi dan berdebat akan muncul lebihdari 2 pendapat dan gagasan.  Jadi.wajar masalah ini tidak pernah selesai...lebih baik dibawa ke Pengadilan saja.

Permasalahan Kedua 

Hal kedua yang menjadi permasaahan adalah tentang Test Wawsan Kebangsaan (TWK) apakah valid atau tidak. 

Hal ini yang tidak dikuasai oleh Nara Sumber di dalam acara Mata Najwa. Nampaknya hanya Emrus Sihombing yang dapat menguasai bahasan tentang bagaimana TWK dilaksanakan. Nara sumber lain tidak pernah bisa memahami konteks perdebatan tentang substansi TWK dan bagaimana mekanisme kerja tim asesor dalam TWK. Satu pertanyaan, tentu saja tidak bisa mewakili sebuah kesimpulan karena kesimpulan itu diambil dari seluruh jawaban atas berbagai pertanyaan yang dimunculkan. 

Dalam test psikologi, bukan hal tidak tidak mungkin pertanyaan juga melakukan pengulangan pertanyaan.  Bahkan Feri Amsari,  seorang dosen sekaligus aktivis nampak sekali tidak menguasai bagaimana mekanisme assessment dilakukan.  Pertanyaan yang disampaikannya kepada Emrus Sihombing menunjukkan hal itu. Kehadiran Azyumardi Azra dan Asfinawatipun hanya sebagai pemanis ketika di akhir diskusi, perbincangan mengarah kepada pelaksanaan TWK ini.  

Oleh karena itu, apabila diskusi di Mata Najwa ini ingin lebih berbobot, maka ada baiknya mengundang tim dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang akan harus disandingkan dengan assessor ahli, atau psikolog yang dapat membaca dan menganalisa dari TWK tersebut, serta menantang bagaimana perumusan normanya dalam TWK.  

Di Belakang Layar

Pada akhirnya durasi waktu membatasi acara Mata Najwa. Namun demikian, diskusi masih berlanjut hingga dibalik layar menjelang pulangnya Nara Sumber. Nampak aktif Kapitra Ampera cukup dominan dala diskusi lanjutan dibalik layar. Najwapun tetap berperan sebagai moderator sekaligus pengarah diskusi.

Akhirnya dari diskusi ini terlihat bagaimana sikap masing -- masing nara sumber. Asfinawati terus berkoar tentang "ramalan" akan adanya penculikan, Feri Amsari tetap tidak memperlihatkan ketidakpahaman tentang konteks assessment, Kapitra Ampera kemudian mendorong pegawai KPK yang tidak lolos TWK untuk menerima kondisi yang ada, Emrus tetap berpegang pada keyakinan untuk melihat secara holistic  TWK yang dilakukan dan tidak hanya mengambil dai 1 pertanyaan saja, sementara MaMarch Falentino tetap ngotot terjadi ketidakadilan atas kondisi yang dialaminya, dan akhirnya Najwapun berhasil mengajak mata pemirsa seperti saya melotot sampai malam.  

Mata Najwa kali ini saya melihat ada sebuah Bincang Pincang karena ketidaksamaan konteks kompetensi nara sumber yang dihadirkan untuk menjawab permasalahan yang ada.  Coba hadirkan nara sumber dengan kompetensi yang sama dalam konteks untuk menjawab permasalahan untuk mencapai harmony dengan tidak melakukan provokasi walau tanpa disadari.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun