Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masih Meludah Sembarangan, Siapkah Kita Jadi Tuan Rumah yang Baik?

8 Agustus 2018   00:00 Diperbarui: 9 Agustus 2018   20:21 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit: merdeka.com

Belakangan hari menjelang Asian Games 2018, nyaris banyak orang Jakarta memilih ribut soal bau air kotor Kali Item, sambil tetap yakin ludahnya bersih.

Ini adalah kumpulan cerita jorok. Bulan lalu saya naik bus Damri jurusan Cengkareng-Kampung Rambutan. Malam itu tampak baik-baik saja. Kemacetan normal, lampu-lampu kota masih hangat dilihat, dan gedung-gedung Ibu Kota sesenti pun tak goyah oleh keluhan pegawai di dalamnya.

Saya jejer sebangku dengan seorang pemuda seumuran yang terlihat tangguh dan tidak sedang mabuk perjalanan. Kebaikan-kebaikan itu hanya berlangsung sebentar.

"Cuiihh!!" Si Pemuda tangguh meludah ke bawah lantainya, yang indah-indah sepersekian detik mendadak sirna. Kemudian sepanjang perjalanan, si pemuda tangguh tetap meludah sampai bosan---sayangnya ia tak pernah bosan.

Ia selingi aktivitas joroknya itu dengan buang muka slow motion ke jendela. Saya mencuri kala untuk meliriknya; sesungguhnya si pemuda tangguh terlihat sangat dingin dan keren ketika ia memutar kepalanya ke arah luar jendela. 

Ia tipikal anak muda Ibu Kota yang melek penampilan. Tapi, kepalanya sudah seperti keran wastafel rusak. Andai si pemuda tangguh konsisten dan lebih rutin sedikit, kami bisa tenggelam dalam bus sebab ludahnya.

Kali lain, saya memesan ojek online. Tahulah itu transportasi murah dan cepat dan mudah. Saya bersyukur hampir semuanya mulai berjalan mudah di negeri ini, meski beberapa urusan terasa brengsek.

Driver ojol yang mengantar saya gemar meludah ke kiri. Ia melakukan itu di depan penumpang yang ditemuinya belum sejam!? Untung driver seperempat baya itu mengolah percakapan kami menyenangkan. Atas alasan itu, saya tetap memberinya 5 bintang dan sedikit uang lebih.

Jalan kaki pun ceritanya tak jauh berbeda. Di bilangan Jatinegara yang luas trotoarnya 50:50 jalan aspal, saya bertemu peludah sembarangan---siapa bilang tidak ada cerita jorok di trotoar yang nyaman?

Sering juga saya temui ludah segar tiap menjangkah trotoar lain. Sesekali ingin saya berhenti dan coba-coba meneliti jumlah bakteri yang ada di seecret lendir tersebut, berpura-pura sebagai ahli biologi. Tetapi bukan, saya hanya pejalan kaki biasa.

Kenapa sih orang gemar meludah?

Barangkali meludah memang menyenangkan. Semasa bocah, saya sering diajak lomba jauh-jauhan meludah. Seorang kawan kerap mendapat benefit dari memenangkan lomba ini, ia bocah paling tua di antara kami dan bisa meludah sejauh tiga meter. 

Ia mengatakan kalau dirinya punya semacam amalan agar ludah bisa meluncur jauh. Di sekolah kami belajar soal fisika gaya tolak, tetapi kami selalu percaya bahwa amalannya dia memang mujarab.

Banyak kita masih menganggap meludah tidak melanggar apapun. Ia lumrah sebagai kebiasaan dan---malah---baik bagi kesehatan kalau kita sedang sakit flu. Padahal, jika orang yang meludah terinfeksi EV71 alias enterovirus 71, maka virus itu akan menyebar melalui air liurnya.

Berikut adalah kutipan penting dari ahli: Virus EV71 yang menyebabkan penyakit mulut, kaki dan tangan ini sangat menular. Virus ini disebarkan melalui kontak langsung dengan lendir, air liur atau kotoran orang yang terinfeksi virus ini. Balita paling rentan terkena virus ini karena sistem kekebalan tubuh mereka yang masih lemah.

Penyakit ini awalnya ditandai dengan demam, kulit melepuh, bisul-bisul di mulut, dan bintil-bintil merah pada kulit. Pada kasus yang gawat, EV71 bisa menimbulkan kerusakan otak, jantung dan paru-paru. 

Tentu saja tidak aduhai jika semasa Asian Games berlangsung, skenario tak terduga terjadi dan kita mendengar berita "Perempuan Cantik Thailand positif virus EV71 setelah terkontak ludah di trotoar GBK".

Berita garing seperti itu tentu bukan hanya tidak lucu, tetapi juga membuat kita bingung taruh muka di hadapan komunitas internasional. Sebab konon, daripada tempeleng, ludah lebih bisa membunuh dan atau meniadakan eksistensi manusia. Diludahi akan terasa lebih sakit daripada ditempeleng sampai jontor. Pemain bola bisa terkena kartu merah kalau meludahi muka pemain lain.

Bukan cuma di bola, sutradara film tidak akan menampilkan adegan meludah bila tidak sangat kontekstual. Mereka pun tahu, seseorang bisa dianggap tak punya "etika" kalau meludah tak tahu tempat. Ya, ludah bukan sembarang lendir, ia terikat oleh etika. 

Kita bisa sebentar mencari, bahwasanya kata "etika" dekat dengan tradisi pemikiran Aristoteles ---diambil dari Nicomachean Ethics. Etika kata dia, adalah refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik buruk, benar salah perilaku, tindakan dan keputusan seseorang.

Pada akhirnya etika dipandang sebagai seni hidup yang mengarahkan ke kebahagiaan dan kebijaksanaan. Apakah meludah di ruang publik menambah kebijaksanaan? Apakah ludah kita membuat orang lain bahagia?

Ludah warga Jakarta mungkin bukan perkara besar di hadapan Asian Games 2018. Ia tidak ada hubungannya dengan pembahasan yang lebih substansial, katakanlah semisal, soal prestasi atlet atau target medali emas. Tapi, ludah bisa jadi kerikil dalam kaos kaki.

Jakarta sedang bersolek. Banyak pihak berbagi tugas. Gubernur sedang memaksimalkan inovasi dalam soal Kali Item. Cara dia mengatasi itu mungkin kedengaran konyol; memasang waring untuk menangkal bau air kotor. 

Tapi, saya mewaca waring lebih kepada "kemauan". Anies Baswedan sedang berusaha mencari formula memenuhi tanggung jawabnya sebagai pejabat publik. Ia "mau" memikirkan bagaimana sebaiknya ruang terbuka disikapi.

Sama seperti Anies, sebenarnya kita juga terikat melakukan sesuatu. Kehidupan kewarganegaraan milik kita bukanlah pilihan bebas. Sementara Gubernur mendalangi Jakarta untuk berbenah, banyak hal yang musti kita pelajari ulang, terutama soal kewajiban warga negara, saling menghargai misalnya. Ndak usah yang ndakik-ndakik, bisa menahan diri untuk tidak meludah di ruang publik saja itu sudah hebat.

Meludah secara ngawur masih menjadi masalah kita bersama. Tentu bukan itu yang ingin kita pertontonkan kepada komunitas internasional yang akan datang besok. Sama seperti Anies yang tidak ingin mempertontonkan minus-minus dari Kali Item. 

Meski mungkin, diskursus meludah sembarangan bisa digolongkan aspek pinggiran, saya rasa soal itu tetap lebih besar daripada perkara infrastruktur. Meludah bisa menggerogoti stereotip baik yang melekati kita warga negara Indonesia, dan kita seharusnya tidak bersikap acuiihh tak acuihh dengan itu ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun