Memang, mekanisme publik yang cenderung tersistematis semacam itu (berlaku pula terhadap film, teater, lagu, dan sebagainya) terkesan memandulkan seniman serta menumpulkan pisau objektivitasnya. Padahal, dunia rekaan atau realita simbolik yang ditawarkan seniman pantat truk, jika dikaji secara objektif-empiris, merupakan gambaran dari realita sosial yang paling transparan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa realita permasalahan sosio-kultur sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia, melulu berkutat pada isu ekonomi, perselingkuhan, krisis spiritualitas, pemerkosaan, feminisme, dehumanisasi, distribusi keadilan yang tidak merata, serta kenyataan-kenyataan kecil yang paling fundamental, yang kadang luput dari perhatian.
Di satu sisi, pendewasaan terhadap karya-karya pantat truk memang dirasa perlu, karena jika tidak diimbangi dengan penertiban, kosa kata-kosa kata yang dipilih para sastrawan ini menjadi semakin liar dan semakin menunjukan wajah asli dekadensi moral kebudayaan masyarakat yang berlaku universal. Lagipula, siapa yang mau boroknya terlihat!
Pendewasaan kosa kata itu perlu, tetapi klasifikasinya bisa jadi sunnah, mengingat bahwa sebagian orang jadi terhibur, tersinggung, merasa dihakimi, dituduh, tapi tidak sedikit pula yang malah bangga karena pola hidupnya sama dan sebangun dengan apa yang tertulis di pantat truk.
Sayangnya, sastra pantat truk yang keberadaannya sangat riil tersebut jarang menembus pemahaman kalangan atas tentang pergulatan dialektis yang seperti apa sebenarnya yang terjadi pada arus bawah. Sejauh ini, bapak-bapak yang terhormat kurang lebih memahaminya sebagai 'sekadar humor', serta barang jadi yang tidak punya konsep historis yang seksi untuk disimak.
Namun jika sudi meluangkan waktu untuk menelusuri lebih jauh ke arah sosio-historisnya, kita akan segera sadar bahwa realita sosial dari penyakit masyarakat dengan berbagai parameternya telah ada terlebih dahulu sebelum akhirnya digambarkan oleh para sastrawan lewat realita simbolik dengan medium pantat truk. Dengan kata lain, sastrawan tersebut ada sebagai pengamat dalam tahap-tahap tertentu.
Jadi, bagaimana logikanya untuk seratus persen menyalahkan 'kebanalan' kalimat 'Anti gadis pro janda', 'Noda-noda asmara', 'Jandamu resah' oleh para sastrawan pantat truk, padahal itu merupakan refleksi sosial masyarakat kita?