Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Melirik Pantat Truk, Meneropong Indonesia

4 Oktober 2016   11:33 Diperbarui: 4 Oktober 2016   18:16 1737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: amblogfree.blogspot.com

Besar kemungkinan sebagian dari kita tertawa heran, terhibur total, atau minimal melirik genit dengan kata-kata (mungkin tergolong sastra) yang tertulis pada pantat truk ketika sedang berada di jalan raya. Saya sampai sekarang pun belum dapat menangkap motif di balik makna tulisan ompol dewo yang minggu lalu saya temui di salah satu ruas jalan raya daerah saya tinggal.

Tapi saya yakin, bahwa tindakan para pelaku kreatif (mungkin sastrawan) yang menggunakan pantat truk sebagai medium berkesenian pastilah didasari pada orientasi subjektif, yang secara substansial mengandung sebuah pesan untuk menghendaki konsekuensi tertentu dari sebuah sistem sosial, melalui representasi karyanya tersebut.

Kiranya hal tersebut lebih baik dan lebih mengandung nilai seni yang otonom dan steril karena ekslusivitasnya, daripada memajang sebuah iklan produk kecantikan atau memajang poster caleg, cabup, atau calon-calon lain yang selalu menampilkan senyuman-senyuman hipokrit membosankan dan sarat dengan kepentingan politik-ideologi yang pragmatis.

Saya pribadi tidak memiliki keraguan sedikitpun untuk menyebut mereka yang berkesenian dengan medium pantat truk sebagai sastrawan. Asalkan kita terhibur sampai mengernyitkan dahi, kenapa tidak. Tak perlu juga untuk menunggu pernyataan para ahli yang sifatnya disiplin-spesifik. Toh tidak ada konsep hierarki kognitif dalam bersastra. Yang penting berkarya dan menghibur orang.

Nyatanya para sastrawan pantat truk ini, mampu mengolah kemurnian sikapnya terhadap sebuah wacana dan isu ekonomi sebagaimana; 'Pulang malu tak pulang rindu', 'Demi anak istri', atau, 'Jangan ditabrak! Belum lunas'. Isu agama; 'Ridhlo Illahi', 'Utamakan sholawat'. Atau kekaguman terhadap seorang wanita yang sarat nilai filosofis sebagaimana 'Senyummu merobek dompetku'.

Para sastrawan ini bahkan menelisik lebih dalam masalah seks, walaupun terkesan mempropaganda interpretasi penafsirnya ke arah vulgar dan cenderung tidak mendidik, sebagaimana; 'Goyang maut Wagiyem', 'Lupa namanya ingat rasanya', 'Jagalah jandamu', dan lain sebagainya.

Penting digarisbawahi, dan menjadi masalah serius bagi sebagian besar pelaku seni dalam hubungannya dengan masyarakat. Bahwa pada dasarnya, naluri bawah sadar seniman selalu membawa imajinasinya yang merdeka serta sifat berkeseniannya yang otonom kemana pun, kapan pun kepada siapa pun. Sampai hampir tidak bisa membedakan mana ruang publik mana ruang privat.

siloka.com
siloka.com
Seniman sah untuk melakukan ritual melukis sambil telanjang bulat di dalam galeri pribadinya. Tetapi hal itu akan mendapatkan justifikasi moral serta nilai etis dari masyarakat jika dilakukan di area milik publik, terlebih di Indonesia. Dalam asumsi seperti ini, masyarakat selalu benar secara absolut. Bahkan objek seni pun –pada beberapa kasus- oleh masyarakat dituntut untuk dilokalisir, agar tidak meluas ke ruang kolektif publik.

Atau dalam kasus pantat truk, proses dekonstruksi objektif oleh para sastrawan disini tidak jarang dianggap tabu, karena beredar luas di ruas-ruas yang menuntut seniman dalam berkarya melakukan penyesuaian terhadap tataran etika masyarakat yang berlaku. Konkretnya, publik menginginkan kalimat-kalimat serta gambar-gambar yang terkesan erotis untuk ditertibkan, di beberapa daerah sudah memberlakukan penertiban oleh satuan kepolisian.

Sangat mudah untuk membuat seniman pantat truk ini lumpuh kreativitasnya, cukup dengan melakukan kontra-kritik atas kerjasama masyarakat yang tersinggung dengan satuan alat negara, dalam hal ini kepolisian. Substansi sastra di pantat truk nomor sekian, yang penting bentuknya tidak sesuai dengan sopan santun dan etika moralitas, maka tulisan-tulisan di pantat truk tersebut sah untuk ditolak kemudian ditindak oleh alat negara dengan bentuk laporan pengaduan masyarakat.

Padahal jika mengontektualisasikannya dengan semiotika oleh Roland Barthes, wacana tertulis dalam sastra pantat truk tersebut merupakan sistem komunikasi atau sebuah pesan. Juga merupakan moda penandaan yang substansinya ada di bentuk. Serta didefinisikan dengan cara objek menyampaikan pesan.

Memang, mekanisme publik yang cenderung tersistematis semacam itu (berlaku pula terhadap film, teater, lagu, dan sebagainya) terkesan memandulkan seniman serta menumpulkan pisau objektivitasnya. Padahal, dunia rekaan atau realita simbolik yang ditawarkan seniman pantat truk, jika dikaji secara objektif-empiris, merupakan gambaran dari realita sosial yang paling transparan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa realita permasalahan sosio-kultur sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia, melulu berkutat pada isu ekonomi, perselingkuhan, krisis spiritualitas, pemerkosaan, feminisme, dehumanisasi, distribusi keadilan yang tidak merata, serta kenyataan-kenyataan kecil yang paling fundamental, yang kadang luput dari perhatian.

Di satu sisi, pendewasaan terhadap karya-karya pantat truk memang dirasa perlu, karena jika tidak diimbangi dengan penertiban, kosa kata-kosa kata yang dipilih para sastrawan ini menjadi semakin liar dan semakin menunjukan wajah asli dekadensi moral kebudayaan masyarakat yang berlaku universal. Lagipula, siapa yang mau boroknya terlihat!

Pendewasaan kosa kata itu perlu, tetapi klasifikasinya bisa jadi sunnah, mengingat bahwa sebagian orang jadi terhibur, tersinggung, merasa dihakimi, dituduh, tapi tidak sedikit pula yang malah bangga karena pola hidupnya sama dan sebangun dengan apa yang tertulis di pantat truk.

Sayangnya, sastra pantat truk yang keberadaannya sangat riil tersebut jarang menembus pemahaman kalangan atas tentang pergulatan dialektis yang seperti apa sebenarnya yang terjadi pada arus bawah. Sejauh ini, bapak-bapak yang terhormat kurang lebih memahaminya sebagai 'sekadar humor', serta barang jadi yang tidak punya konsep historis yang seksi untuk disimak.

Namun jika sudi meluangkan waktu untuk menelusuri lebih jauh ke arah sosio-historisnya, kita akan segera sadar bahwa realita sosial dari penyakit masyarakat dengan berbagai parameternya telah ada terlebih dahulu sebelum akhirnya digambarkan oleh para sastrawan lewat realita simbolik dengan medium pantat truk. Dengan kata lain, sastrawan tersebut ada sebagai pengamat dalam tahap-tahap tertentu.

Jadi, bagaimana logikanya untuk seratus persen menyalahkan 'kebanalan' kalimat 'Anti gadis pro janda', 'Noda-noda asmara', 'Jandamu resah' oleh para sastrawan pantat truk, padahal itu merupakan refleksi sosial masyarakat kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun