Tiga hari kemarin, hujan seharian melanda Malang tempat saya kuliah saat ini. Dini hari sampai siang hari hujan tidak berhenti. Bahkan sampai mejelang magrib pun hujan tetap mengguyur meskipun tidak selalu deras.
Ternyata tidak hanya Malang saja, teman saya yang berada di daerah Tulungagung dan Bantul juga mengatakan yang sama. Hari itu, banjir melanda Sentani, Jayapura dan Bantul, Yogyakarta. Bahkan yang terjadi di Sentani adalah banjir bandang yang membawa lumpur, pohon, dan material lain dari pegunungan.
Data terakhir jumlah korban banjir bandang yang meninggal sebanyak 89 orang dan 206 masih hilang. Sementara itu, 4.728 jiwa mengungsi di 6 titik pos penampungan. Jumlah penyintas terbesar, yaitu 1.450 jiwa, terdapat di BTN Gajah Mada (Okezone.com).
Banjir disebabkan oleh hujan deras selama 7 jam yang mengguyur wilayah tersebut. Namun, menurut Walhi, banjir bandang tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor alam (hujan deras) melainkan ada campur tangan manusia melalui alih fungsi lahan yang tidak sesuai dan pembalakan hutan yang menyebabkan tutupan pohon di Cagar Alam Cycloop hilang.
Pembalakan liar, pendirian bangunan, dan alih fungsi lahan di daerah cagar alam membuktikan adanya ketidakpedulian dari pemerintah dan pihak di atas pada lingkungan. Mitos-mitos yang menguntungkan tentang lingkungan yang telah diyakini dan dianut masyarakat lokal perlahan pudar.
Orang-orang yang tidak mengindahkan lingkungan inilah yang disebut sebagai golongan raksasa oleh Galih Wijil Pangarsa dalam buku Merah Putih. Mereka meyakini hanya ada satu makhluk dan bebas bertindak.
Tidak ada kehidupan yang oleh Clare Palmer, dalam Light and Rolston disebut sebagai kehidupan holistik yaitu pendekatan etika lingkungan, individual, dan keseluruhan lingkungan (echological wholes), lebih melihat ekosistem dan atau spesies dan biosfir sebagai keseluruhan.
Dalam benak para raksasa, yang ada hanyalah perebutan kekuasaan, politik, ekonomi, dan sosial. Walaupun harus mengorbankan alam sekitar dan masyarakat luas tidak masalah karena mereka menganut pedoman siapa yang kuat maka ia akan bertahan hidup.
Jiwa yang dimiliki adalah jiwa hedonis-glamoristik penuh kemewahan, mementingkan diri sendiri, tidak akomodatif menampung berbagai kepentingan dan tidak ekologis.
Oleh sebab itu pemerintah perlu melakukan kajian ulang terhadap perencanaan pembangunan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kabupaten Jayapura.Â
Kemudian pemerintah agar tidak mudah mengeluarkan izin-izin konsesi kepada korporasi atas nama negara, pembangunan dan kesejahteraan yang menyebabkan meningkatnya perubahan iklim, yang pada gilirannya merugikan masyarakat.
Para raksasa ini tidak peduli nasib rakyat, Pak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H