Salah satu nasihat Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah undur ma qol wala tandur mankol yang artinya adalah lihat apa yang dikatakan, jangan liat siapa yang mengatakan. Benarkah demikian? Bagaimana kalau diterapkan di dunia nyata?
Bertahun-tahun saya mencari arti sebenarnya dari perkataan sahabat Ali ini. Apakah kita benar-benar meniadakan faktor orang yang berbicara. Bagaimana jadinya bila yang berbicara tersebut adalah pelacur? Apakah tetap didengarkan?
Semisal seorang pelacur tersebut mengatakan tentang pentingnya membina hubungan yang harmonis. Dia membagi kiat-kiat agar dapat disayang oleh pasangan. Orang normal akan berfikir, ngapain seorang pelacur berbicara tentang hubungan dengan pasangan? Dia sendiri tidak dapat setia dengan satu orang dan menjual dirinya.
Contoh lain adalah seorang yang terkenal pembohong berkata ke seluruh kota bahwa akan ada bencana besar yang melanda. Warga kota tentu saja tidak mengindahkan perkataan orang tersebut. Warga tentu saja mempertimbangkan track record orang tersebut yang sering berbohong.
Bahkan dalam syarat perawi hadist, sosok sebagai perawi sangat diperhatikan demi mendapat keshohihan hadist. Bukan hanya mempertimbangkan apa yang dikatakan saja. Salah satu persyaratan hadits shahih yang harus dipenuhi adalah perawi harus adil. Menurut Mahmud Thahan dalam Kitab Taysiru Musthalahil Hadits, yang dimaksud dengan 'adil adalah :
: . :
Artinya, "'Adalah (adil) ialah perawinya Muslim, baligh, berakal, tidak melakukan perbuatan fasik, dan tidak rusak moralnya. Sedangkan dhabit ialah periwayatan perawi tidak bertentangan dengan perawi tsiqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang salah, tidak lupa, dan tidak keliru."
Adil yang dimaksud adalah beragama islam, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak bermoral rusak. Hal ini diperhatikan tentu saja agar menjaga sanad agar tetap seperti yang dikatakan oleh Rosululloh.
Bagaimana dengan perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut? Melihat Ali yang merupakan pintu ilmu Rosululloh rasanya tidak mungkin beliau tidak mempertimbangkan hal di atas. Lantas bagaimana maksud yang sebenarnya?
Gus Baha akhirnya sedikit membuka jawaban atas pertanyaan saya selama ini. Beliau pernah bercerita dulu ada sahabat yang ditugaskan berperang namanya Muhallam bin Jasammah. Dia dalam sebuah perang membunuh  Amir bin Abbad. Padahal saat terdesak dia sempat berucap Laa ila ha illaallah.
Rosulullah bertanya kenapa engkau membunuhnya. Muhallam menjawab bahwa Amir hanya terdesak dan mengucapkan itu agar tidak dibunuh. Rosulullah bertanya lagi bagaimana kau bisa tau itu? Kenapa tidak kau belah saja dadanya. Muhallam menjawab lagi, Ya Rosulullah apakah dengan membelah dadanya aku akan tau jawabannya?
Rosulullah berkata, kamu ini orang aneh. Tidak mengetahui isi hati seseorang tapi mempercayai yang diucapkan juga tidak mau. Terus mau kamu apa?
Dalam hal ini Rosulullah tidak melihat orangnya, tetapi melihat perkataannya yaitu kalimat tauhid. Kalimat Syahadat siapapun yang mengucapkan harus dipercaya, walaupun diucapkan ketika terdesak. Dalam ilmu tafsir ini disebut kebenaran absolut. Kebenaran ini bernilai sama oleh siapapun tanpa melihat siapa yang mengucapkan.
Kebenaran absolut ini bernilai benar oleh siapapun yang mengucapkan. Pelacur ketika ditanya siapa tuhannya menjawab Allah, Profesor juga menjawab sama, Kyai juga sama. Apakah berarti tuhan Allah akan bernilai salah apabila dikatakan oleh seorang pelacur?
 Kebenaran ini yang terletak pada ma qol nya Ali bin Abi Thalib. Siapapun man qol nya harus tetap dipercaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H