Mohon tunggu...
Anang Fathoni
Anang Fathoni Mohon Tunggu... Lainnya - Long-Life Learner

IG : @anang_fathoni Email : ananglight@gmail.com https://linktr.ee/anang_fathoni

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perkembangan Kognitif Masa Kanak-kanak Sudut Pandang Vygotsky

10 Desember 2021   17:56 Diperbarui: 12 Desember 2021   08:45 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vygotsky, sumber gambar: https://vygotsky.hse.ru

Apakah kita ingat ulang tahun kita pada saat umur 3 tahun? Atau apa saja yang sudah kita lakukan di usia itu? Jawabannya adalah tidak. Hal ini disebut sebagai Infantile Amnesia (Amnesia kanak-kanak). Sebuah studi yang dilakukan oleh Lie dan Newcombe (1999) dalam Santrock (2007: 288) menunjukan bahwa setelah sekitar 3 tahun meninggalkan TK, anak-anak tidak dapat meningkat banyak teman-teman TK mereka, padahal dalam kasus ini, gurunya masih hafal murid-murid mereka. Hal ini terjadi karena Lobus Frontal (yang diyakini memiliki peran penting dalam mengingat) belum berkembang sempurna pada masa bayi dan kanak-kanak awal (Boyer dan Diamond, 1992 dalam Santrock, 2007: 288). Namun pada dasarnya anak-anak usia prasekolah mengerti sifat-sifat simbol-simbol dari televisi dan dapat meniru segera perilaku yang mereka lihat (Bandura, Ross & Ross, 1963; Kirkorian, Wartella, & Anderson, 2008 dalam Papalia & Feldman, 2015: 263). Sehingga untuk membantu dan mengoptimalkan kognitif dan perilakunya pada jalur yang positif, perlu adanya kontrol yang dilakukan baik di sekolah, lingkungan maupun di rumah. Lantas bagaimana jika kita melihat pada pandangan Vygotsky tentang perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak.

Vygotsky menuturkan bahwa manusia dilahirkan telah dilengkapi dengan seperangkat fungsi kognitif dasar, seperti kemampuan memperhatikan, mengamati dan mengingat (Susanto, 2015: 59). Vygotsky tidak sependapat dengan pandangan Piaget tentang perkembangan kognitif kanak-kanak yang menitikberatkan pada usaha sendiri daripada usaha interkasi dengan lingkungan sosialnya (Yahaya dkk, 2005: 60). Dia tidak melihat usia kanak-kanak sebagai ahli saintis kecil yang membina kognitifnya dengan usahanya Piaget. Tetapi Vygotsky lebih melihat pada perkembangan kognitif juga bergantung pada bantuan orang lain.  Perkembangan kognitif pada masa kanak-kanak dipengaruhi oleh komunikasi sosialnya, yaitu dengan ibu bapak, guru, orang dewasa ataupun rekan sebayanya (Hashim & Rahman, 2014: 46).

Vygotsky (1931: 71) dalam Crain (2014: 347) melakukan suatu eksperimen dengan menginstruksikan anak-anak dan orang dewasa untuk merespons dengan cara yang berbeda ketika mereka melihat warna yang berbeda. Tugas kognitif yang diberikan dari sederhana sampai ke sulit yang menawarkan bantuan pada memori. Dalam eksperimen tersebut anak-anak pada usia 4-8 tahun, bertindak seolah-olah mereka mengingat sesuatu, baik itu tugas yang sulit maupun yang mudah. Ketika disodorkan alat bantuan untuk mengingat berupa gambar ataupun kartu, anak-anak tersebut mengabaikan atau malah menggunakannya secara tidak tepat. Maka kemudian Vygotsky mengatakan bahwa anak-anak “tidak tahu kapasitas dan keterbatasannya” atau bagaimana menggunakan stimulus eksternal untuk membantu kognitif mereka dalam mengingat.

Berkaitan dengan Inner Speech atau dialog-dialog batin yang dihasilkan dari konstruksi pemikirannya. Gagasan Vygotsky (1934: 29-40) menyebutkan ada tiga tahap dalam Crain (2014: 349) sebagai berikut.

  1. Di Usia 2 Tahun, acuan kepada objek yang tidak ada pada saat itu berlangsung dalam interaksi anak-anak dengan orang lain seperti orang tuanya. Contohnya, ketika anak usia 2 tahun meminta ibunya untuk membantunya mencarikan sesuatu. Lantas kemudian ibunya berkata, “Kita akan pergi ke taman sekarang, jadi ayo kita ambil ember dan sekopmu”, sambil mengarahkan pada objek yang tidak dilihatnya pada saat itu.
  2. Di usia 3 tahun atau lebih, anak mulai mengarahkan perkataan serupa kepada dirinya sendiri,”di mana kuletakan emberku? Aku perlu sekopku,” dan mulai mencari benda yang tidak ada padanya saat itu. Pada saat itu dialognya dikatakan dengan keras-keras. Kemudian mulai usia 6 tahun anak mulai mengatakannya secara pelan-pelan sampai pada tidak bisa di dengar. Pada usia 5-7 tahun anak-anak berusaha memecahkan masalah dengan berbicara kepada diri mereka sendiri (Private Speech) pada takaran kognitif mereka.
  3. Pada usia 8 tahun atau lebih, anak-anak lebih berkata dalam hatinya atau bisa disebut sebagai Inner Speech (Ucapan dalam hati, dimana dialog diam dilakukan dengan diri sendiri).

Dalam riset yang dilakukan oleh Lurin (murid Vygotsky) dalam Crain (2014: 357) terinspirasi dari pengaturan diri milik Vygotsky menyatakan bahwa anak-anak usia 2 tahun atau 20 bulan belum memiliki kemampuan untuk konstruksi perintah orang lain secara tepat. Artinya jika kita menyuruhnya untuk menekan balon, maka akan dia lakukan, namun reaksinya akan semakin besar dua, tiga atau bahkan empat kali lebih besar apabila kita menyuruhnya berhenti. Pada dasarnya anak pada usia 2 tahun masih memiliki keengganan (sulit) untuk mengubah tindakan yang sudah dimulainya. Pada usia 3 – 3,5 tahun juga demikian, ketika mereka disuruh untuk mengatakan “Press” pada tombol yang akan meyalakan lampu, maka mereka akan menekannya. Tetapi jika mereka disuruh untuk berkata “Don’t Press”maka yang terjadi dia akan tetap menekannya. Artinya bahwa perintah yang dilakukan oleh Lurin hanya diartikan sebagai sinyal saja yang memunculkan tindakan, tetapi mengabaikan konstruksi kognitif berupa pemaknaan perintah tersebut. Ketika pada anak usia 5-6 tahun, perintah yang dilakukan Lurin dilakukan dengan benar karena secara kognitif, tingkat pemaknaannya dari perintah sudah muncul.

Perkembangan kognitif anak dalam Vygotsky di refleksikan dalam konsep mengenai Zone Of Proximal Development (ZPD). Pada tahap awal, anak masih membutuhkan bantuan orang tua, guru ataupun pelatih yang mana disebut sebagai seorang yang lebih ahli dari segi kognitif, anak masih memerlukan bantuan dari yang lebih ahli. Di dalam buku milik Santrock (2007: 264) diberikan contoh, bahwa anak yang berusia 5 tahun yang mendorong kereta belanja di area tanam kanak-kanaknya. Anak tersebut memisahkan benda-benda dengan krasifikasi yang masih acak (kasar), kemudian dengan bantuan guru, anak tersebut dibantu untuk memisahkan buah dan non buah pada tempat yang lebih sesuai. Sehingga dengan bantuan guru, anak tersebut dapat menerapkan pola klasifikasi yang lebih baik lagi.

Selain itu penerapan konsep kognitif yang lain adalah Scaffolding yang masih erat kaitannya dengan ZPD. Dalam hal ini ketika murid belajar tugas yang baru, orang yang lebih ahli menggunakan instruksi langsung, dengan memantau kompetensi murid yang apabila meningkat, maka pendampingannya dikurangi sedikit demi sedikit (Santrock, 2007: 265). ZPD yang dikombinasikan dengan konsep Scaffolding dapat membantu orang tua dan guru seefisien mungkin dalam membimbing proses kognitif anak (Papalia & Feldman, 2015: 259). Anak dalam kelompok bermain yang menerima Scaffolding sebelumnya menjadi lebih baik mengatur pembeljaran mereka sendiri saat memasuki taman kanak-kanak (Neitzel & Stright, 2003 dalam Papalia & Feldman, 2015: 259).

Private Speech seperti yang diulas di atas berguna bagi anak untuk membantu konstruksi pemikirannya dengan melakukan dialog sendiri. John-Steiner dan Mahn (2003) dalam Santrock (2007: 266) memaparkan bahwa kegiatan tersebut sangat berguna bagi tahun-tahun pra-sekolah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sampai pada tahun-tahun di sekolah dasar.

Kebudayaan juga turut mentransformasikan kemampuan kognitif yang lebih tinggi dari anak, terutama dengan mengadakan hubungan bermasyakarat melalui pengajaran dan penggunaan bahasa (Susanto, 2015: 59). Vygotsky (1929: 415) dalam Armstrong (2011: 97 ) anak dalam proses pertumbuhannya tidak hanya menguasai pengalaman budaya, tetapi juga kebiasaan dan bentuk-bentuk perilaku budaya, serta metode berpikir budaya.

Sebuah penelitian dari Azizah (2015: 18-30) tentang kemampuan Theory of Mind anak usia 3-5 Tahun ditinjau dari teori milik Vygotsky. Penelitian ini dilakukan pada tiga sekolah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta dengan subjek 31 anak usia 47-49 bulan. Penelitian ini mengukur tingkat perkembangan kognitif dalam Theory of Mind anak yang dipengaruhi oleh interaksinya dengan saudara kandungnya, yang dibatasi usia maksimal 12 tahun dan usia adik 1 tahun. Azizah dalam artikelnya menunjukan penelitian-penelitian yang dilakukan di barat tentang keberhasilan penelitian tersebut, seperti hasil penelitian Dunn, Brown, Slomkowski, Tesla, & Youngblade (1991) dalam Azizah (20015: 20) menemukan bahwa interaksi kooperatif anak dengan saudara kandung akan berkorelasi dengan kinerja mereka pada berbagai tugas kognisi sosial pada tujuh bulan kemudian.

Penelitian relevan lainnya yaitu dari Lewis, Freeman, Kyriakidou, Maridakikassotaki, & Berridge, 1996; Ruffman, Perner, Naito, Parkin, & Clements, 1998 dalam Azizah, 2015: 21) bahwa anak yang memiliki saudara dua atau lebih, hampir dua kali lipat kemungkinan dapat melewati tugas tentang false belief. Tetapi pemahaman false belief  hanya berlaku pada saudara yang lebih tua dan tidak berlaku pada saudara yang lebih muda. Tetapi dalam penelitian milik Azizah (2015: 26) mendapatkan hasil bahwa kemampuan kognitif pada anak usia 3-5 tahun tidak dapat diprediksi dari intensitas interaksi dengan saudara kandungnya. Tidak adanya korelasi antara intensitas interkais dengan saudara kandungnya diduga karena adanya pengaruh dari usia saudara kandung dan perbedaan gaya interkasi anak dengan saudara kandungnya di budaya barat dan timur, termasuk di Indonesia. Sehingga sesuai pernyataan Vygotsky bahwa perkembangan kognitif anak tidak lepas kaitannya dengan faktor budaya, munculnya variasi perkembangan kognitif anak menjadi cermin adanya perbedaan pada masing-masing budaya yang ada (Shaffer & Kipp, 2014: 238).

Penelitian yang dilakukan oleh Vaksalla & Hodshire, (2013: 261-285)  mengkaji perkembangan kognitif anak-anak dari 15 bulan hingga 12 tahun menggunakan beberapa ujian yang beragam pada anak-anak. Hasilnya secara umum menunjukkan adanya variasi dalam kelompok umur dalam hal kognitif pemahaman. Penelitian dilakukan di Taman Kanak Kanak Tadika Bandar Baru, Perak, Malaysia. Penulis hanya memfokuskan pada anak pada usia taman kanak-kanak sebagai bahan analisis. Diperoleh data pada masing-masing tes yaitu sebagai berikut.

  • Tes Kecerdasan

Pada perhitungan matematika, anak-anak dengan umur 4 tahun  berjumlah 10 anak mendapatkan kesulitan dalam menjawab pertanyaan matematika, mengalami kesulitan menulis dan beberapa dari mereka tidak bisa menuliskan nama merek sendiri. Anak-anak usia 5 tahun tidak dapat melakuakn perhitungan pada soal matematika, sebaliknya anak berusia 6 tahun dpaat menjawab pertanyaan dengan benar dan mampu menghitung dengan benar.

  • Tes Menggambar

Pada usia 4 tahun, hanya 1 dari 10 anak yang dapat menggambar dengan baik. Secara keseluruhan mereka tidak yakin dengan apa yang seharusnya mereka lakukan dan mereka tidak pada apa yang mereka gambar karena mereka tidak dapat berpikir sendiri. Pada usia 5 tahun secara tidak terduga anak-anak lebih baik daripada anak berusia 6 tahun. Anak-anak berusia 5 tahun dapat menyampaikan cerita dan mereka juga bersemangat untuk menceritakan kisah di depan teman mereka. Disisi lain anak usia 6 tahun merasa malu ketika mereka memberikan cerita pada gambar yang ditunjukan. Mereka menghadapi kesulitan untuk melakukan tafsiran terhadap apa yang mereka rasakan tentang gambar yang mereka buat.

  • Tes Bercerita

Anak usia 4 tahun tidak dapat bercerita dengan baik, dengan kisah yang sangat singkat dan tidak mampu mengekspresikan diri. Begitu pula dengan anak usia 5 tahun hanya mampu menceritakan secara singkat saja. Pada anak usia 6 tahun sudah mampu mengerti dan bisa membaca, bahkan anak-anak tersebut mampu melakukan instruksi dan kompeten dalam mencoba pertanyaan.

  • Tes membuat Origami

Pada anak usia 4 tahun dan 5 tahun tidak dapat mengerti dan mengikuti petunjuk. Mereka mengerti arti binatang tetapi tidak bisa mengikuti petunjuk dari instruktur sehubungan dengan pelipatan bintang. Mereka juga tidak yakin tujuan melipat kertas warna. Mereka belum bisa dilepaskan ari bimbingan dan tergantung pada instrukturnya. Pada anak usia 6 tahun, ada 4 dari 10 anak yang mampu menyelesaikan origami bintang.

Hasil analisis pada penelitian tersebut melihat bahwa beberapa anak bekerja keras untuk diri mereka sendiri ketika menjawab tes kecerdasan. Hal ini dihubungkan dengan Private Speech  Vyogtsky dimana anak-anak berbicara sendiri ketika menyelesaikan masalah.

Konsep Vygotsky kemudian memunculkan gagasan dari rekan sejawatnya tentang pentingnya permainan sebagai sumber utama perkembangan bagi anak-anak usia prasekolah dan taman kanak-kanak (Elkonin, 1972; Leont’ev, 1981 dalam Roopnarine & Johnson, 2015: 253). Permainan Vygotsky dan rekan-rekannya tidak mencakup kegiatan seperti memanipulasi objek dan eksplorasi, tetapi menurut Vygotsky kegiatan ini meliputi tiga komponen yaitu:

  1. Anak-anak menciptakan suasana khayalan
  2. Anak-anak mengambil dan memainkan peran
  3. Anak-anak mengikuti serangkaian aturan yang ditentukan oleh peran khusus.

Konsep tersebut sealiran dengan yang dikemukakan oleh Haruyama (2015: 3) yaitu untuk meningkatkan kognitif seseorang dalam hal mengingat maka dibutuhkan dua hal, yaitu:

  1. Mengeluarkan suara dan mengulangi sesuatu yang penting tersebut (mirip dengan konsep Private Speech Vygotsky)
  2. Menggambarkannya di dalam kepala atau mengimajinasikannya (Imagination Training mirip dengan permainan khayalan yang dimaksudkan Vygotsky dan kawan-kawannya).

Pada Vygotsky seperti yang diutarakan dalam buku milik Santrock (2007: 269) disebutkan tidak seperti Piaget yang memiliki tahapan-tahapan yang jelas, pada Vygotsky tidak ada tahapan umum perkembangan yang diusulkan. Walaupun bukan pada “Stage Theory” (teori bahwa perkembangan berlangsung melalui beberapa tahap) tetapi dalam proses perkembangannya dari masa bayi, pra sekolah, taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai remaja, proses perkembangan kognitifnya dipengaruhi oleh Situasi Sosial Perkembangan (Roopnarine & Johnson, 2015: 251). Proses kuncinya ada pada ZPD, Scaffolding, dan Speech and Language. Menurutnya bahasa memiliki peranan kuat dalam menajamkan pemikiran (kognitif) seorang anak. Dalam konteks baik di paud, TK, ataupun SD, guru memiliki peran sebagai fasilitator dan pembimbing bagi setiap individu.

REFERENSI
Armstrong, Thomas. (2011). The Best Schools: mendidik siswa menjadi insan cendekia seutuhnya. Bandung: Kaifa.
Azizah, Nur. (2015). Kemampuan Theory of Mind Anak Usia 3-5 tahun Ditinjau dari Intensitas Interaksi dengan Saudara Kandung. Journal Psikologi Tabularasa, Vol 10, I, hal. 18-30.  
Crain, William. (2014). Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi Edisi ke Tiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hashim, S. & Rahman, N. M. A. (2014). Pendidikan Sosioemosi Kanak-kanak. Selangor: PTS Akademia.
Haruyama, Shigeo. (2015). Keajaiban Otak Kanan. Jakarta: PT Gramedia.
Papalia, Diane E. & Feldman, Ruth Duskin. (2015). Menyelami Perkembangan Manusia Edisi 12 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Roopnarine, Jaipaul L. & Johnson, James E. (2015). Pendidikan Anak Usia Dini: Dalam Berbagai Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shaffer, David R & Kipp, Katherine. (2014). Development Psychology: Childhood and Adolescence, 9th Edition. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Susanto, Ahmad. (2015). Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kencana.
Vaksalla, Ahsha & Hodshire, Christopher. (2013). Cognitive Development Among Malaysian Children: The Multiple Assessments of Interactive Learning Modules. Internasional Journal of Arts & Scineces, 6(4) pp. 261-285.
Yahaya, A dkk. (2005). Aplikasi Kognitif dalam Pendidikan. Bukit Tinggi: PTS Professional Publishing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun