Penelitian relevan lainnya yaitu dari Lewis, Freeman, Kyriakidou, Maridakikassotaki, & Berridge, 1996; Ruffman, Perner, Naito, Parkin, & Clements, 1998 dalam Azizah, 2015: 21) bahwa anak yang memiliki saudara dua atau lebih, hampir dua kali lipat kemungkinan dapat melewati tugas tentang false belief. Tetapi pemahaman false belief hanya berlaku pada saudara yang lebih tua dan tidak berlaku pada saudara yang lebih muda. Tetapi dalam penelitian milik Azizah (2015: 26) mendapatkan hasil bahwa kemampuan kognitif pada anak usia 3-5 tahun tidak dapat diprediksi dari intensitas interaksi dengan saudara kandungnya. Tidak adanya korelasi antara intensitas interkais dengan saudara kandungnya diduga karena adanya pengaruh dari usia saudara kandung dan perbedaan gaya interkasi anak dengan saudara kandungnya di budaya barat dan timur, termasuk di Indonesia. Sehingga sesuai pernyataan Vygotsky bahwa perkembangan kognitif anak tidak lepas kaitannya dengan faktor budaya, munculnya variasi perkembangan kognitif anak menjadi cermin adanya perbedaan pada masing-masing budaya yang ada (Shaffer & Kipp, 2014: 238).
Penelitian yang dilakukan oleh Vaksalla & Hodshire, (2013: 261-285) mengkaji perkembangan kognitif anak-anak dari 15 bulan hingga 12 tahun menggunakan beberapa ujian yang beragam pada anak-anak. Hasilnya secara umum menunjukkan adanya variasi dalam kelompok umur dalam hal kognitif pemahaman. Penelitian dilakukan di Taman Kanak Kanak Tadika Bandar Baru, Perak, Malaysia. Penulis hanya memfokuskan pada anak pada usia taman kanak-kanak sebagai bahan analisis. Diperoleh data pada masing-masing tes yaitu sebagai berikut.
- Tes Kecerdasan
Pada perhitungan matematika, anak-anak dengan umur 4 tahun berjumlah 10 anak mendapatkan kesulitan dalam menjawab pertanyaan matematika, mengalami kesulitan menulis dan beberapa dari mereka tidak bisa menuliskan nama merek sendiri. Anak-anak usia 5 tahun tidak dapat melakuakn perhitungan pada soal matematika, sebaliknya anak berusia 6 tahun dpaat menjawab pertanyaan dengan benar dan mampu menghitung dengan benar.
- Tes Menggambar
Pada usia 4 tahun, hanya 1 dari 10 anak yang dapat menggambar dengan baik. Secara keseluruhan mereka tidak yakin dengan apa yang seharusnya mereka lakukan dan mereka tidak pada apa yang mereka gambar karena mereka tidak dapat berpikir sendiri. Pada usia 5 tahun secara tidak terduga anak-anak lebih baik daripada anak berusia 6 tahun. Anak-anak berusia 5 tahun dapat menyampaikan cerita dan mereka juga bersemangat untuk menceritakan kisah di depan teman mereka. Disisi lain anak usia 6 tahun merasa malu ketika mereka memberikan cerita pada gambar yang ditunjukan. Mereka menghadapi kesulitan untuk melakukan tafsiran terhadap apa yang mereka rasakan tentang gambar yang mereka buat.
- Tes Bercerita
Anak usia 4 tahun tidak dapat bercerita dengan baik, dengan kisah yang sangat singkat dan tidak mampu mengekspresikan diri. Begitu pula dengan anak usia 5 tahun hanya mampu menceritakan secara singkat saja. Pada anak usia 6 tahun sudah mampu mengerti dan bisa membaca, bahkan anak-anak tersebut mampu melakukan instruksi dan kompeten dalam mencoba pertanyaan.
- Tes membuat Origami
Pada anak usia 4 tahun dan 5 tahun tidak dapat mengerti dan mengikuti petunjuk. Mereka mengerti arti binatang tetapi tidak bisa mengikuti petunjuk dari instruktur sehubungan dengan pelipatan bintang. Mereka juga tidak yakin tujuan melipat kertas warna. Mereka belum bisa dilepaskan ari bimbingan dan tergantung pada instrukturnya. Pada anak usia 6 tahun, ada 4 dari 10 anak yang mampu menyelesaikan origami bintang.
Hasil analisis pada penelitian tersebut melihat bahwa beberapa anak bekerja keras untuk diri mereka sendiri ketika menjawab tes kecerdasan. Hal ini dihubungkan dengan Private Speech Vyogtsky dimana anak-anak berbicara sendiri ketika menyelesaikan masalah.
Konsep Vygotsky kemudian memunculkan gagasan dari rekan sejawatnya tentang pentingnya permainan sebagai sumber utama perkembangan bagi anak-anak usia prasekolah dan taman kanak-kanak (Elkonin, 1972; Leont’ev, 1981 dalam Roopnarine & Johnson, 2015: 253). Permainan Vygotsky dan rekan-rekannya tidak mencakup kegiatan seperti memanipulasi objek dan eksplorasi, tetapi menurut Vygotsky kegiatan ini meliputi tiga komponen yaitu:
- Anak-anak menciptakan suasana khayalan
- Anak-anak mengambil dan memainkan peran
- Anak-anak mengikuti serangkaian aturan yang ditentukan oleh peran khusus.
Konsep tersebut sealiran dengan yang dikemukakan oleh Haruyama (2015: 3) yaitu untuk meningkatkan kognitif seseorang dalam hal mengingat maka dibutuhkan dua hal, yaitu:
- Mengeluarkan suara dan mengulangi sesuatu yang penting tersebut (mirip dengan konsep Private Speech Vygotsky)
- Menggambarkannya di dalam kepala atau mengimajinasikannya (Imagination Training mirip dengan permainan khayalan yang dimaksudkan Vygotsky dan kawan-kawannya).
Pada Vygotsky seperti yang diutarakan dalam buku milik Santrock (2007: 269) disebutkan tidak seperti Piaget yang memiliki tahapan-tahapan yang jelas, pada Vygotsky tidak ada tahapan umum perkembangan yang diusulkan. Walaupun bukan pada “Stage Theory” (teori bahwa perkembangan berlangsung melalui beberapa tahap) tetapi dalam proses perkembangannya dari masa bayi, pra sekolah, taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai remaja, proses perkembangan kognitifnya dipengaruhi oleh Situasi Sosial Perkembangan (Roopnarine & Johnson, 2015: 251). Proses kuncinya ada pada ZPD, Scaffolding, dan Speech and Language. Menurutnya bahasa memiliki peranan kuat dalam menajamkan pemikiran (kognitif) seorang anak. Dalam konteks baik di paud, TK, ataupun SD, guru memiliki peran sebagai fasilitator dan pembimbing bagi setiap individu.
REFERENSI
Armstrong, Thomas. (2011). The Best Schools: mendidik siswa menjadi insan cendekia seutuhnya. Bandung: Kaifa.
Azizah, Nur. (2015). Kemampuan Theory of Mind Anak Usia 3-5 tahun Ditinjau dari Intensitas Interaksi dengan Saudara Kandung. Journal Psikologi Tabularasa, Vol 10, I, hal. 18-30.
Crain, William. (2014). Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi Edisi ke Tiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hashim, S. & Rahman, N. M. A. (2014). Pendidikan Sosioemosi Kanak-kanak. Selangor: PTS Akademia.
Haruyama, Shigeo. (2015). Keajaiban Otak Kanan. Jakarta: PT Gramedia.
Papalia, Diane E. & Feldman, Ruth Duskin. (2015). Menyelami Perkembangan Manusia Edisi 12 Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.
Roopnarine, Jaipaul L. & Johnson, James E. (2015). Pendidikan Anak Usia Dini: Dalam Berbagai Pendekatan. Jakarta: Kencana.
Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Shaffer, David R & Kipp, Katherine. (2014). Development Psychology: Childhood and Adolescence, 9th Edition. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Susanto, Ahmad. (2015). Bimbingan dan Konseling di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Kencana.
Vaksalla, Ahsha & Hodshire, Christopher. (2013). Cognitive Development Among Malaysian Children: The Multiple Assessments of Interactive Learning Modules. Internasional Journal of Arts & Scineces, 6(4) pp. 261-285.
Yahaya, A dkk. (2005). Aplikasi Kognitif dalam Pendidikan. Bukit Tinggi: PTS Professional Publishing.