Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Buta Penghancur Kerukunan Beragama yang Harus Dilawan dan Ditaklukkan

13 September 2016   15:10 Diperbarui: 13 September 2016   15:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Buta Penghancur Kerukunan Beragama (wayang.wordpress.com)

Dalam dunia pewayangan di tanah Jawa, buta (baca: buto)  adalah makhluk mengerikan yang merupakan representasi dari keangkara-murkaan. Makhluk simbol angkara murka ini bertubuh tinggi besar alias raksasa, berambut gimbal nan panjang, matanya besar menyembul merah menyala, hidungnya menggelembung seperti terong dan pada mulutnya menyeruak taring-taring tajam yang nggegirisi. 

Bahkan dalam mitos Jawa, gerhana matahari terjadi karena sang sumber kehidupan itu --matahari-- ditelan oleh seorang buta bernama Batara Kala. Demikian pula dalam konteks kerukunan beragama, saya melihat ada "dua buta" yang selama ini malang melintang di dunia internet dan media sosial, yang gemar "mengoyak-oyak dan menelan" kerukunanan beragama. "Dua buta" inilah yang harus kita lawan dan kalahkan untuk mewujudkan kerukunan beragama.

Media Sosial: Pisau Tajam Bermata Dua

Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan menakjubkan teknologi digital seperti gadget dan smartphone. Ditunjang laju kerja prosesor yang semakin cepat, kapasitas RAM yang semakin besar, atau teknologi kamera yang mampu memotret obyek dengan semakin baik, kini fitur-fitur perangkat cerdas itu pun menjadi semakin hebat. Multitasking makin ringan, hasil jepretan kamera makin seperti aslinya, dan akses internet pun makin cepat. Dengan harga yang makin terjangkau, kini hampir setiap orang bisa memiliki perangkat canggih itu. 

Demikian pula pada sisi software, aplikasi-aplikasi media sosial yang membutuhkan akses internet seperti facebook, twitter, BBM atau WA pun menjadi semacam gaya hidup yang makin berpengaruh dan seperti harus diikuti.  Apalagi harga paket internet juga relatif terjangkau, sehingga kini sebagian besar orang memiliki akses ke internet yang memuat milyaran konten, baik yang konstruktif maupun destruktif.  Berarti secara otomatis pula, mau tidak mau, para pengguna internet itu kini berpotensi besar untuk menjadi mangsa website-website penyebar konten destruktif dan juga "terbelit" dalam jaring-jaring raksasa media sosial yang terhubung dengan ratusan juta pengguna lain di seantero dunia.

Kini internet, khususnya media sosial, telah menjadi sebilah pisau yang teramat tajam di tangan para pemegangnya. Peran sang pisau kini bergantung sepenuhnya pada tangan-tangan itu. Bila digunakan untuk memotong-motong sayur-mayur atau daging, maka semakin mudah dan cepat pula si pemegang pisau menyelesaikan masakannya. Namun bila digunakan untuk melukai atau bahkan membunuh orang lain, maka semakin mudah pula ia untuk melakukannya. 

Tidaklah keliru bila ada pepatah yang mengatakan, "The Man Behind The Gun". Fungsi sebuah senjata bergantung pada sang pemegang senjata. Bisa untuk berbuat kebaikan dan kebajikan, tapi juga terbuka pintu lebar untuk melakukan keburukan dan kejahatan.

Buta Pertama: Fanatisme Buta

Buta pertama yang harus kita lawan dan kalahkan adalah buta yang terjadi dalam proses tumbuh-kembang fanatisme. Fanatisme terhadap agama yang dipeluk memang sah-sah saja sepanjang masih berada dalam koridor yang wajar. Malah kalau kita tidak meyakini secara kuat kebenaran agama yang kita peluk, lalu untuk apa kita menganut agama tersebut, apa hanya ikut-ikutan saja? Namun hal ini akan menjelma menjadi masalah yang serius bila fanatisme tumbuh dan berkembang secara berlebihan dan tidak terkendali. Inilah yang disebut fanatisme buta.

Karakteristik utama fanatisme buta adalah pertumbuhan keyakinan ganda di dalam diri pengidapnya. Ia meyakini bahwa keyakinan yang dianutnya adalah benar, namun berbarengan dengan itu ia juga meyakini bahwa semua keyakinan di luar keyakinannya adalah salah dan harus "diluruskan". Efek buruk dari fanatisme buta adalah berkurangnya atau --dalam level akut-- sirnanya rasa toleransi terhadap pemeluk agama atu keyakinan lain.

Dalam agama Islam, sekte Salafi-Wahabi adalah representasi nyata dari fanatisme buta itu. Buah ajaran mereka yang sangat berbahaya dan telah mengoyak-oyak rasa perdamaian dan persaudaraan di Timur Tengah --juga di Indonesia-- adalah konsep takfiri. Takfiri merupakan konsep dan sikap  Salafi-Wahabi yang mengkafirkan keyakinan di luar sekte mereka, bahkan terhadap sesama muslim sekalipun. 

Contoh paling nyata implementasi konsep takfiri Salafi-Wahabi --yang nota bene adalah sebuah fanatisme buta-- di Indonesia adalah pengusiran komunitas Islam Syiah dari kampung halaman mereka di Sampang Madura pada tahun 2012 silam. "Kesalahan" orang-orang yang terusir itu hanya satu: karena mereka memeluk Islam Syiah! Pengusiran ini dilakukan oleh ulama-ulama lokal dan massa setempat yang ironisnya malah didukung pemerintah setempat dan MUI Jawa Timur.

Sedangkan contoh terakhir efek destruktif fanatisme buta yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana sebuah informasi sesat yang beredar masif di media sosial dengan begitu mudahnya "membakar" massa di Tanjung Balai Sumatera Utara untuk bergerak membakar tempat ibadah pemeluk agama lain. Pengidap fanatisme buta bagaikan hamparan rumput kering --yang tentu saja tidak berakal-- yang mudah terbakar oleh gesekan sekecil apa pun. Apalagi bila tidak hanya sekedar tergesek, tapi juga tersiram "hujan bensin" yang tercurah dari tangan-tangan kotor penulis sesat di media sosial. Ditambah pula karakteristik sosial histeria massa yang mudah tersulut melakukan tindakan-tindakan anarkisme.

Buta Kedua: Buta Geopolitik

Maraknya dukungan sebagian komunitas Muslim Indonesia pada kelompok-kelompok teroris pemberontak di awal-awal konflik Suriah adalah bukti nyata "kebutaan" mereka pada perkembangan geopolitik di Timur Tengah sana. Tidak hanya di kalangan awam kita saja, bahkan presiden kita saat itu, SBY, ikut larut dalam histeria massa pendukung kelompok-kelompok teroris pemberontak Suriah. SBY saat itu melakukan blunder politik luar negeri yang fatal, satu suara dengan Barat dan pendukung teroris pemberontak yang lain, ia ikut menyerukan agar Presiden Suriah Bashar al Assad mengundurkan diri.

Kebutaan mereka terhadap konstelasi konflik Suriah tidak lepas dari andil besar media-media mainstream internasional pro Barat yang "dimakmumi" media mainstream nasional dan media radikal Salafi-Wahabi. Konflik yang sebenarnya murni berlatar belakang politik-ekonomi, oleh media-media itu diplintir sebagai konflik sektarian Sunni-Syiah. Secara tidak bertanggung jawab, al Assad dipropagandakan sebagai pemimpin Syiah yang menindas rakyatnya yang muslim Sunni. Akibatnya sebagian muslim -- tak terkecuali dari Indonesia -- yang termakan propaganda sesat ini berbondong-bondong mendatangi Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris pemberontak yang bertujuan menjatuhkan Presiden Suriah Bashar al Assad.

Padahal bagi mereka yang "melek" geopolitik, mereka tahu bahwa konflik Suriah meletus bukan karena konflik sektarian Sunni-Syiah, tapi karena adanya banyak faktor yang melatarbelakanginya. Faktor utama adalah karena al Assad selama ini tetap menjaga level konsistensi permusuhannya terhadap Zionis Israel dan tidak mau tunduk pada kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang pro Zionis. Maka dari itu Washington ingin menjatuhkannya dan menggantinya dengan rezim yang bersahabat dengan Israel. 

Selain itu faktor perebutan pengaruh di Timur Tengah antara Republik Islam Iran dan Kerajaan Saudi Arabia juga turut mewarnai konflik ini.  Dinasti Al Saud selalu memandang Iran sebagai ancaman terhadap kelangsungan kekuasaan dinasti yang telah berkuasa selama hampir satu abad itu. Penguasa monarki Saudi beranggapan model revolusi Islam yang diusung Ayatullah Imam Khomenei di Iran berpotensi besar untuk menumbangkan kekuasaan mereka. Bila revolusi semacam itu melanda Saudi, hampir bisa dipastikan itulah saat-saat tumbangnya dinasti beraliran Salafi-Wahabi ini

Sementara itu dalam pandangan Iran, melawan Zionis Israel yang menjajah dan menindas Palestina adalah sebuah keharusan. Untuk tujuan ini, Teheran selalu mendukung kelompok-kelompok muqawamah (perlawanan) terhadap Israel seperti Hamas Palestina dan Hizbullah Libanon. Pandangan politik yang sama ini menjadikan Iran dan Suriah sebagai dua sekutu yang erat dan kuat.

Belum lagi dengan faktor persaingan ekonomi antara Turki, Suriah dan Qatar terkait dengan rencana pembangunan pipa gas dari Iran ke Eropa yang melewati wilayah Suriah. Bila itu terealisasi, ekonomi Damaskus akan semakin kuat dan tentu saja ini berita buruk bagi para pesaingnya itu, terutama Tel Aviv dan para sekutunya.

Disamping itu masalah separatis Kurdi yang selama ini dianggap duri dalam daging juga menjadi alasan Turki untuk terjun dalam konflik Suriah. Ankara berharap bisa menuntaskan agenda Kurdi dengan jalan mengail di air keruh dalam kekacauan Suriah. Para agresor ini jelas-jelas sudah melanggar hukum internasional dengan menginjak-injak kedaulatan sebuah negara berdaulat seperti Suriah. Namun PBB hanya membisu tak berbuat apa-apa.

Jadi sebenarnya tidak ada konflik sektarian Sunni-Syiah di Suriah. Propaganda dusta itu sengaja ditiupkan oleh Barat dan para sekutu lokalnya untuk menjatuhkan pemerintahan Suriah. Dampak mengerikan propaganda sesat itu pun tak ayal menerpa semua negara, bahkan terhadap negara penyebar propaganda dusta itu sendiri. Rangkaian teror pun susul menyusul terjadi, di Turki, Perancis, Belgia, Jerman, Jakarta, bahkan Saudi sebagai sumber ideologi radikalisme dan terorisme.

Khususnya di Indonesia, dampak karena kebutaan geopolitik terhadap konflik Suriah harus diwaspadai dan segera ditanggulangi. Sekarang ini sudah banyak suara-suara dan tindak kebencian bernuansa sektarian yang ditujukan pada warga masyarakat pengikut mazhab minoritas seperti Syiah. Dan anehnya para penyebar kebencian dengan menggunakan isu sektarian dan pelaku takfiri masih bebas bergentayangan di Indonesia. Kita semua menunggu ketegasan pemerintah untuk menindak orang-orang yang merusak kerukunan beragama di Indonesia tercinta.

 

Penutup

Fanatisme buta dan buta geopolitik benar-benar harus kita buang jauh-jauh untuk mewujudkan kerukunan umat beragama. Karena fanatisme buta akan mendangkalkan bahkan mengubur habis rasa toleransi terhadap pemeluk agama atau keyakinan lain. Sedangkan buta geopolitik akan membuat kita menjadi sekumpulan orang bodoh yang mudah termakan dan terhasut berita atau propaganda dusta. Terlebih lagi di era media sosial yang sudah seperti "sebilah pisau tajam" yang --mau tidak mau-- harus kita pegang di era digital ini. 

Hati-hatilah, jangan sampai "pisau tajam" ini melukai atau membunuh orang lain, atau  malah melukai dan membunuh kita sendiri! Sekali lagi, hati-hatilah. Gunakan "pisau tajam" itu secara benar dan bijaksana.

 

 

 

http://twitter.com/anang3kids

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun