Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Buta Penghancur Kerukunan Beragama yang Harus Dilawan dan Ditaklukkan

13 September 2016   15:10 Diperbarui: 13 September 2016   15:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua Buta Penghancur Kerukunan Beragama (wayang.wordpress.com)

Contoh paling nyata implementasi konsep takfiri Salafi-Wahabi --yang nota bene adalah sebuah fanatisme buta-- di Indonesia adalah pengusiran komunitas Islam Syiah dari kampung halaman mereka di Sampang Madura pada tahun 2012 silam. "Kesalahan" orang-orang yang terusir itu hanya satu: karena mereka memeluk Islam Syiah! Pengusiran ini dilakukan oleh ulama-ulama lokal dan massa setempat yang ironisnya malah didukung pemerintah setempat dan MUI Jawa Timur.

Sedangkan contoh terakhir efek destruktif fanatisme buta yang terjadi di Indonesia adalah bagaimana sebuah informasi sesat yang beredar masif di media sosial dengan begitu mudahnya "membakar" massa di Tanjung Balai Sumatera Utara untuk bergerak membakar tempat ibadah pemeluk agama lain. Pengidap fanatisme buta bagaikan hamparan rumput kering --yang tentu saja tidak berakal-- yang mudah terbakar oleh gesekan sekecil apa pun. Apalagi bila tidak hanya sekedar tergesek, tapi juga tersiram "hujan bensin" yang tercurah dari tangan-tangan kotor penulis sesat di media sosial. Ditambah pula karakteristik sosial histeria massa yang mudah tersulut melakukan tindakan-tindakan anarkisme.

Buta Kedua: Buta Geopolitik

Maraknya dukungan sebagian komunitas Muslim Indonesia pada kelompok-kelompok teroris pemberontak di awal-awal konflik Suriah adalah bukti nyata "kebutaan" mereka pada perkembangan geopolitik di Timur Tengah sana. Tidak hanya di kalangan awam kita saja, bahkan presiden kita saat itu, SBY, ikut larut dalam histeria massa pendukung kelompok-kelompok teroris pemberontak Suriah. SBY saat itu melakukan blunder politik luar negeri yang fatal, satu suara dengan Barat dan pendukung teroris pemberontak yang lain, ia ikut menyerukan agar Presiden Suriah Bashar al Assad mengundurkan diri.

Kebutaan mereka terhadap konstelasi konflik Suriah tidak lepas dari andil besar media-media mainstream internasional pro Barat yang "dimakmumi" media mainstream nasional dan media radikal Salafi-Wahabi. Konflik yang sebenarnya murni berlatar belakang politik-ekonomi, oleh media-media itu diplintir sebagai konflik sektarian Sunni-Syiah. Secara tidak bertanggung jawab, al Assad dipropagandakan sebagai pemimpin Syiah yang menindas rakyatnya yang muslim Sunni. Akibatnya sebagian muslim -- tak terkecuali dari Indonesia -- yang termakan propaganda sesat ini berbondong-bondong mendatangi Suriah untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris pemberontak yang bertujuan menjatuhkan Presiden Suriah Bashar al Assad.

Padahal bagi mereka yang "melek" geopolitik, mereka tahu bahwa konflik Suriah meletus bukan karena konflik sektarian Sunni-Syiah, tapi karena adanya banyak faktor yang melatarbelakanginya. Faktor utama adalah karena al Assad selama ini tetap menjaga level konsistensi permusuhannya terhadap Zionis Israel dan tidak mau tunduk pada kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang pro Zionis. Maka dari itu Washington ingin menjatuhkannya dan menggantinya dengan rezim yang bersahabat dengan Israel. 

Selain itu faktor perebutan pengaruh di Timur Tengah antara Republik Islam Iran dan Kerajaan Saudi Arabia juga turut mewarnai konflik ini.  Dinasti Al Saud selalu memandang Iran sebagai ancaman terhadap kelangsungan kekuasaan dinasti yang telah berkuasa selama hampir satu abad itu. Penguasa monarki Saudi beranggapan model revolusi Islam yang diusung Ayatullah Imam Khomenei di Iran berpotensi besar untuk menumbangkan kekuasaan mereka. Bila revolusi semacam itu melanda Saudi, hampir bisa dipastikan itulah saat-saat tumbangnya dinasti beraliran Salafi-Wahabi ini

Sementara itu dalam pandangan Iran, melawan Zionis Israel yang menjajah dan menindas Palestina adalah sebuah keharusan. Untuk tujuan ini, Teheran selalu mendukung kelompok-kelompok muqawamah (perlawanan) terhadap Israel seperti Hamas Palestina dan Hizbullah Libanon. Pandangan politik yang sama ini menjadikan Iran dan Suriah sebagai dua sekutu yang erat dan kuat.

Belum lagi dengan faktor persaingan ekonomi antara Turki, Suriah dan Qatar terkait dengan rencana pembangunan pipa gas dari Iran ke Eropa yang melewati wilayah Suriah. Bila itu terealisasi, ekonomi Damaskus akan semakin kuat dan tentu saja ini berita buruk bagi para pesaingnya itu, terutama Tel Aviv dan para sekutunya.

Disamping itu masalah separatis Kurdi yang selama ini dianggap duri dalam daging juga menjadi alasan Turki untuk terjun dalam konflik Suriah. Ankara berharap bisa menuntaskan agenda Kurdi dengan jalan mengail di air keruh dalam kekacauan Suriah. Para agresor ini jelas-jelas sudah melanggar hukum internasional dengan menginjak-injak kedaulatan sebuah negara berdaulat seperti Suriah. Namun PBB hanya membisu tak berbuat apa-apa.

Jadi sebenarnya tidak ada konflik sektarian Sunni-Syiah di Suriah. Propaganda dusta itu sengaja ditiupkan oleh Barat dan para sekutu lokalnya untuk menjatuhkan pemerintahan Suriah. Dampak mengerikan propaganda sesat itu pun tak ayal menerpa semua negara, bahkan terhadap negara penyebar propaganda dusta itu sendiri. Rangkaian teror pun susul menyusul terjadi, di Turki, Perancis, Belgia, Jerman, Jakarta, bahkan Saudi sebagai sumber ideologi radikalisme dan terorisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun