"Ali, Ali, Ali!" Suara penonton begitu bergemuruh dan membahana ketika di layar tv 14 inch di ruang tengah rumah saya, terlihat sang petinju legendaris, Muhammad Ali, sedang menari-nari lincah sambil melayangkan jab-jabnya yang menyengat ke arah lawan. Float like a butterly, sting like a bee. Itulah ciri khas bertanding Ali. Dengan penampilannya yang hebat dan menghibur di atas ring dan dipadukan dengan kepiawaiannya merangkai kata-kata untuk menjatuhkan mental sang lawan, pada masa itu Ali muncul sebagai petinju yang sangat fenomenal. Karir bertinjunya langsung meroket dan sulit bagi siapa pun untuk membendungnya.
Saya masih duduk di bangku SD ketika nama sang petinju legendaris itu dielu-elukan penonton tv di lingkungan rumah saya. Saat itu pesawat tv masih merupakan barang langka dan dipandang mewah. Sebelum kami memiliki pesawat tv, saya bersama kakak-kakak kadang rela berpayah-payah berjalan kaki lebih dari 1 km untuk menonton acara tv di gedung DPRD di kota kami yang memang diperuntukkan untuk umum. Bahkan karena masih langkanya tontonan ketika itu, sebuah acara tv yang isinya hanya menampilkan iklan-iklan produk barang, bagi kami merupakan sebuah acara yang amat menarik dan teramat sayang bila dilewatkan.
Meskipun umumnya saat itu pesawat tv masih berlayar hitam-putih, namun bagi masyarakat, itu sudah lebih dari cukup sebagai sebuah media tontonan yang menghibur. Apalagi bila Muhammad Ali sedang bertanding, tv-tv di tempat umum dan rumah-rumah pemilik tv pasti akan kebanjiran penonton. Semua orang seperti terhinoptis dan sangat antusias untuk menonton sang legenda. Namanya pun akan diteriakkan orang-orang dengan penuh semangat: "Ali, Ali, Ali!"
Muhammad Ali memang petinju besar. Namanya begitu melegenda. Ia tidak hanya dikenal di dunia tinju saja, namun nama dan kebesarannya telah melampaui semua sekat dan batasan-batasan yang ada. Ali memang menginginkan kesetaraan bagi seluruh umat manusia, dan ia sangat membenci sekat-sekat yang seringkali menimbulkan diskriminasi.
Dengan keyakinannya itu, ia bahkan rela masuk penjara dengan menolak wajib militer untuk dikirimkan ke perang Vietnam. Bagi Ali, perang Vietnam adalah penindasan kaum kulit putih pada kaum kulit berwarna. Sang legenda itu menolak perang dengan keras. Akibatnya seluruh gelarnya dicopot. Namun kelak setelah keluar dari penjara, Ali mampu merebut gelarnya kembali. Dengan menjadi seorang juara dunia, Ali berharap suaranya akan lebih didengar publik dunia demi memperjuangkan kesetaraan yang diidamkannya itu.
Muhammad Ali kini telah tiada. Setelah berjuang melawan penyakit parkinson selama 32 tahun, petinju besar itu akhirnya memenuhi panggilan Tuhan-nya. Ali telah berpulang kepada Sang Khalik dengan membawa semua amal kebaikannya. Semoga Allah melipatgandakan semua amal kebaikannya, mengampuni dan merahmatinya.
Dunia berduka. Nama dan kebesarannya akan tetap dikenang. Kebesaran yang akan tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah peradaban dunia. Ali memang pantas untuk dikenang. Ia tokoh yang inspiratif. Ia membuat banyak orang mempunyai harapan akan kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang saling menghormati dan menghargai satu sama lain, yang penuh toleransi dan kesetaraan, kehidupan yang tidak diskriminatif dan tidak ada penindasan yang satu terhadap yang lain. Inilah tekad mulia Ali yang harus terus kita perjuangkan dan gelorakan bersama.
Bagi saya, Muhammad Ali sudah memulai jalan kebesarannya ketika ia memilih nama yang sarat dengan makna itu, "Muhammad Ali", -- saat ia mengikrarkan diri sebagai seorang muslim -- untuk menggantikan nama lamanya, Cassius Clay. Muhammad dan Ali (bin Abi Thalib) adalah dua nama agung dan terdepan dalam dunia Islam dan sejarah peradaban manusia. Muhammad adalah nabi terbesar dan terakhir, nabi penutup para nabi. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke-4 dalam sejarah Islam Sunni dan Washi atau Imam pertama dalam keyakinan Islam Syiah. Dua nama agung inilah yang kemudian dipadukan menjadi satu dalam diri nama sang legenda: Muhammad Ali.
Kendati ada sebagian orang-orang berjiwa kerdil di beberapa negara yang mengolok-olok namanya, namun kebesaran dan keagungan nama Muhammad sang Nabi terakhir tetap tak terkurangi sedikitpun. Dunia tetap mengakui Nabi Muhammad sebagai manusia terbesar sepanjang masa. Bahkan Michael H. Hart, seorang penulis Barat dengan jujur menempatkan nama nabi agung itu sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang masa dalam bukunya, "The 100". Hart menilai Nabi Muhammad sebagai tokoh yang paling sukses dalam dua peran kepemimpinannya sekaligus. Yakni sebagai pemimpin dalam dimensi agama dan juga pemimpin dalam dimensi duniawi. Kesuksesan dua dimensi kepemimpinan Rasulullah itulah yang menurut Hart menjadikan pengaruh dan karismanya begitu abadi dan tak tertandingi oleh tokoh dunia manapun.
Sebagaimana Nabi Agung Muhammad, Imam Ali bin Abi Thalib juga dikenal sebagai insan berakhlak mulia yang berilmu tinggi dan berlisan fasih. Mengenai ketinggian ilmu Imam Ali, Nabi pernah bersabda, "Ana madînatul ilmi wa ‘Aliyyun bâbuhâ. Faman arôdal madînah, fal ya,tihâ min bâbihâ" Yang artinya, "Akulah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Siapa yang ingin mendapatkan ilmuku, maka datanglah dari pintunya." Hadits ini dikenal sebagai hadits Madinatul Ilmi dan merupakan salah satu hadits favorit saya.
Selain menunjukkan bahwa Imam Ali adalah pewaris ilmu Nabi Muhammad, hadits madinatul ilmi juga menunjukkan hubungan kedekatan Nabi Muhammad dan Imam Ali sebagai guru dan murid. Dan ini menunjukkan keutamaan khusus Imam Ali yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain.
Disamping ketinggian ilmunya, Imam Ali juga dikenal sebagai pemuda pemberani. Imam Ali adalah panglima perang Islam yang tak terkalahkan. Atasnyalah Rasulullah bersabda, "“La fatâ illa Ali” (tiada pemuda kecuali Ali).
Dalam perang Khandaq, seorang jawara kafir Quraisy yang amat ditakuti, Amr bin Abdu Wudd, yang dikenal sangat piawai berperang, berhasil melompati parit di sekeliling Madinah dengan kudanya. Dengan pongah ia menantang kaum Mukminin untuk menghadapinya satu lawan satu. Saat itu tidak ada satu pun kaum mukminin yang berani menyambut tantangannya. Imam Ali kemudian meminta ijin pada Nabi untuk menghadapinya. Duel antara representasi kaum mukminin dan kaum kafir pun terjadi. Dengan sekali tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar (Sang Penembus), Imam Ali berhasil menyudahi perlawanan Amr bin Abdu Wudd.
Begitu pula dalam perang-perang yang lain, Imam Ali tak pernah terkalahkan. Bahkan dalam perang Khaibar, dengan kekuatannya sendiri, ia mampu merobohkan gerbang utama benteng Khaibar. Berkat kepemimpinan Imam Ali, Kaum Yahudi yang saat itu menikam umat Islam dari belakang akhirnya dapat ditundukkan.
Namun kendati kedua guru dan murid itu memiliki karisma dan kekuatan yang dahsyat, keduanya sangat welas asih kepada sesama. Hal ini terlihat jelas dalam peristiwa Fathu Makkah. Penaklukan kota Mekah oleh kekuatan Islam saat itu berlangsung dengan cara damai tanpa setetes darah pun tertumpah. Guru dan murid itu sangat mengasihi dan menyayangi kaum yang lemah namun sangat keras terhadap kaum yang berlaku zalim. Keduanya tidak pernah memulai perang lebih dahulu. Perang yang dilakukan keduanya hanyalah respon terhadap lawan yang menyerang terlebih dahulu.
Barangkali berkah kedua nama agung (Nabi Muhammad dan Imam Ali) itulah yang mengalir pada diri sang legenda Muhammad Ali. Kedua guru dan murid (Nabi Muhammad dan Imam Ali) itu dikenal luas dengan karisma, kecerdasan, keberanian dan kefasihannya. Bisa jadi karisma, kecerdasan, keberanian dan kefasihan yang dimiliki Muhammad Ali merupakan karunia Tuhan karena perpaduan dua nama agung itu. Wallahu'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H