Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok dalam Episode: 'Raja Preman' di Sarang 'Penyamun'

27 April 2016   09:48 Diperbarui: 27 April 2016   11:52 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Hot Episode Raja Preman di Sarang Penyamun (Foto: unik6.blogspot.com)

Menjadi 'musuh' parpol memang tidak ringan -- kalau tidak boleh dibilang berat. Apalagi bila dikepung dan dikeroyok beramai-ramai oleh para elit parpol. Kondisi seperti itulah sekarang hari-hari yang sedang dijalani oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Berseteru dengan elit parpol lokal DKI seperti Abraham Lunggana alias Lulung atau M. Taufik mungkin sudah makanan sehari-hari bagi Ahok. Namun menjelang Pilgub DKI 2017 saat ini, para elit politik nasional pun mulai bergentayangan turun ke DKI untuk mengepung dan menjegal sang gubernur petahana. Seperti dikatakan Lulung, misi mereka hanya satu yaitu : ABAH, asal bukan Ahok.

Adalah Megawati, sang ketua umum PDIP, yang mulai melesatkan 'anak panah pertama' permusuhan ke arah Ahok. Anak panah pertama itu dilesatkan Megawati dalam kibaran umbul-umbul yang disebutnya 'deparpolisasi'. Penyebabnya sederhana, gara-gara memutuskan maju lewat jalur independen, Ahok ditudingnya telah merendahkan peran parpol dalam kancah perpolitikan tanah air. 

Padahal pilkada adalah sebuah gawe politik penting dalam tatanan demokrasi di Indonesia setelah jatuhnya rezim Orde Baru.  Lha kok bisa-bisanya Ahok 'mencampakkan' peran partai politik dalam gawe yang amat penting itu? Bukankah ini namanya deparpolisasi, demikian alur logika Mega yang terbaca publik.

Namun bila langkah Ahok maju ke Pilgub DKI 2017 lewat jalur independen dinilai Mega sebagai aksi deparpolisasi, dengan alur logika yang sama dengannya, publik justru mempunyai penilaian berkebalikan dengan sang ketua umum partai yang dulu sempat 'dikuyo-kuyo' oleh rezim Soeharto itu. Bukan Ahok yang melakukan deparpolisasi, justru parpol itu sendirilah yang selama ini secara beramai-ramai melakukan bunuh diri alias deparpolisasi. 

Bukankah mereka sendiri yang telah menghancurkan integritas dan kredibilitas partai politik dimana mereka bernaung dan mencari sesuap nasi? Bukankah tindakan korupsi -- dan sikap tercela lain -- para punggawa atau anggota parpol itu sendiri yang menyebabkan simpati atau dukungan rakyat makin terkikis? Nah, dengan menggunakan alur logika yang dipakai Mega, publik menunjukkan justru parpol itu sendirilah yang melakukan deparpolisasi. Mega telah keliru dalam tudingannya terhadap Ahok.

Begitu 'serangan deparpolisasi' bisa ditepis, jurus lama bernama 'kasus Sumber Waras' mulai bergelombang menghantam Ahok. Tak tanggung-tanggung, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon -- yang dulu tersangkut Trump Gate bersama mantan Ketua DPR Setya Novanto -- terjun langsung melancarkan jurus maut ini. Para kacung politik yang bertopengkan agama pun ikut bergerak menekan KPK agar meningkatkan status penyelidikan kasus Sumber Waras menjadi penyidikan. Bila sampai KPK menetapkan Ahok sebagai tersangka, tamatlah peluangnya untuk maju dalam Pilgub DKI, demikian pikir mereka. Untungnya KPK tetap independen dan bergeming menghadapi tekanan politik bertubi-tubi itu.

Selain itu, setelah terjungkalnya Sanusi ke dalam tahanan KPK akibat keserakahannya menerima suap proyek reklamasi, 'jurus Reklamasi' itu pun turut dilancarkan para penyerang untuk menghantam sang gubernur petahana ini. Ahok dituding tidak peduli pada kelestarian lingkungan. Kendati kita semua tahu bahwa proyek reklamasi itu sudah berlangsung bertahun-tahun jauh sebelum Ahok menjadi gubernur, namun tetap saja para penyerang itu menimpakan semua kesalahan pada Ahok. 

Sebelumnya, sejak mendeklarasikan diri untuk maju dalam Pilgub DKI 2017, dedengkot Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra pun sudah sering kali menyerang Ahok, terutama terkait dengan kebijakannya untuk menertibkan wilayah Jakarta. Yusril -- 'dibantu' dengan Ratna Sarumpaet -- memainkan jurusnya dengan menyentil Ahok yang dianggapnya tidak manusiawi dalam penggusuran-penggusuran yang dilakukannya, apalagi dengan menyertakan aparat TNI, demikian tuding Yusril. 

Dituding Yusril demikian, Sang Gubernur pun membela diri bahwa Pemprov DKI telah menyediakan rusun untuk menampung mereka. Disamping itu kebanyakan bangunan mereka berada di tanah negara yang bukan hak mereka dan keberadaan  bangunan itu juga mengganggu tata kelola air DKI yang menyebabkan terjadinya banjir tahunan.  Bila bangunan-bangunan liar itu tidak dibongkar, mustahil banjir di ibukota akan bisa diatasi.

Dan yang terakhir, sang dedengkot politik dari PAN, Amien Rais, agaknya mulai terusik dan gatal tangan untuk turun gunung dan kemudian ikut mengepung dan  mengeroyok Ahok. Mungkin Amien merasa kecewa dengan masih tegarnya Ahok menghadapi gempuran para pengepung dan penyerangnya selama ini. Apa boleh buat, setelah sempat naik gunung kembali setelah gagal mengantarkan Prabowo meraih obsesi dan impiannya, sosok politikus tua ini terpaksa harus turun gunung lagi untuk ikut menghentikan Ahok yang mempunyai elektabilitas tinggi di Jakarta. 

Amien memilih jurus 'orang arogan tak pantas jadi pimpinan'. Namun Ahok tak gentar menghadapinya. Dengan sigap ia membalasnya dengan 'jurus sudah tua jadi pikun'. Pasalnya, menurut mantan bupati Belitung Timur ini,  saat dirinya  masih menjadi bupati di sana, Amien menilainya sebagai pemimpin yang demokratis dan reformis sehingga Amien mengganjarnya dengan sebuah pin penghargaan sebagai simbol pejuang demokrasi dan reformasi. 

Secara alamiah, atmosfir politik memang akan memanas menuju gawe politik besar seperti pemilu. Karena disitulah puncak  pergumulan politik untuk berebut kekuasaan. Demikian pula Pilgub DKI 2017 yang sedemikian strategis dalam peta politik Indonesia karena posisi Jakarta sebagai ibukota negara yang tentu saja merupakan tempat pandang pertama bangsa lain memandang Indonesia. Tak heran para spekulan dan petualang politik berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk memperebutkannya.

Kendati demikian, saya tetap percaya pada kedigdayaan sang gubernur petahana DKI ini untuk menghadapi semua pengepung dan penyerangnya. Ketika bicara tentang premanisme yang sudah sedemikian mengakar di sebagian wilayah Jakarta, Ahok pernah menyebut bahwa dirinya adalah 'Raja Preman'. Kata bersayap itu diucapkannya untuk menunjukkan bahwa ia tidak takut pada premanisme karena 'level kesangaran' yang dimilikinya untuk mengatur Jakarta jauh di atas para preman itu.

Dan sebutan apa yang pantas untuk para gerombolan penyerang yang beraninya main keroyokan itu? Ingat kisah Ali Baba dan 40 Penyamun dalam Dongeng 1001 Malam? Atau kisah Anak Perawan di Sarang Penyamun dalam novel yang ditulis Sutan Takdir Alisyahbana? Ya, 'penyamun' mungkin sebutan yang paling pas untuk gerombolan itu. Dan para 'penyamun' politik itu sekarang berbondong-bondong menyerbu Jakarta dan berlagak menjadikan Jakarta sebagai sarang mereka. Tujuan mereka hanyalah untuk menjegal Ahok menuju Pilgub DKI 2017. 

Namun mereka lupa, Ahok bukanlah anak kemarin sore atau 'Anak Perawan' di sarang penyamun. Ahok adalah 'Raja Preman' dalam ganasnya belantara politik Jakarta. Kita lihat saja, seberapa ampuh jurus para 'penyamun' itu mampu mengusik sang 'Raja Preman'? Maka episode politik yang tersaji kini menjadi berjudul 'Raja Preman' di Sarang 'Penyamun'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun