Dituding Yusril demikian, Sang Gubernur pun membela diri bahwa Pemprov DKI telah menyediakan rusun untuk menampung mereka. Disamping itu kebanyakan bangunan mereka berada di tanah negara yang bukan hak mereka dan keberadaan  bangunan itu juga mengganggu tata kelola air DKI yang menyebabkan terjadinya banjir tahunan.  Bila bangunan-bangunan liar itu tidak dibongkar, mustahil banjir di ibukota akan bisa diatasi.
Dan yang terakhir, sang dedengkot politik dari PAN, Amien Rais, agaknya mulai terusik dan gatal tangan untuk turun gunung dan kemudian ikut mengepung dan  mengeroyok Ahok. Mungkin Amien merasa kecewa dengan masih tegarnya Ahok menghadapi gempuran para pengepung dan penyerangnya selama ini. Apa boleh buat, setelah sempat naik gunung kembali setelah gagal mengantarkan Prabowo meraih obsesi dan impiannya, sosok politikus tua ini terpaksa harus turun gunung lagi untuk ikut menghentikan Ahok yang mempunyai elektabilitas tinggi di Jakarta.Â
Amien memilih jurus 'orang arogan tak pantas jadi pimpinan'. Namun Ahok tak gentar menghadapinya. Dengan sigap ia membalasnya dengan 'jurus sudah tua jadi pikun'. Pasalnya, menurut mantan bupati Belitung Timur ini,  saat dirinya  masih menjadi bupati di sana, Amien menilainya sebagai pemimpin yang demokratis dan reformis sehingga Amien mengganjarnya dengan sebuah pin penghargaan sebagai simbol pejuang demokrasi dan reformasi.Â
Secara alamiah, atmosfir politik memang akan memanas menuju gawe politik besar seperti pemilu. Karena disitulah puncak  pergumulan politik untuk berebut kekuasaan. Demikian pula Pilgub DKI 2017 yang sedemikian strategis dalam peta politik Indonesia karena posisi Jakarta sebagai ibukota negara yang tentu saja merupakan tempat pandang pertama bangsa lain memandang Indonesia. Tak heran para spekulan dan petualang politik berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk memperebutkannya.
Kendati demikian, saya tetap percaya pada kedigdayaan sang gubernur petahana DKI ini untuk menghadapi semua pengepung dan penyerangnya. Ketika bicara tentang premanisme yang sudah sedemikian mengakar di sebagian wilayah Jakarta, Ahok pernah menyebut bahwa dirinya adalah 'Raja Preman'. Kata bersayap itu diucapkannya untuk menunjukkan bahwa ia tidak takut pada premanisme karena 'level kesangaran' yang dimilikinya untuk mengatur Jakarta jauh di atas para preman itu.
Dan sebutan apa yang pantas untuk para gerombolan penyerang yang beraninya main keroyokan itu? Ingat kisah Ali Baba dan 40 Penyamun dalam Dongeng 1001 Malam? Atau kisah Anak Perawan di Sarang Penyamun dalam novel yang ditulis Sutan Takdir Alisyahbana? Ya, 'penyamun' mungkin sebutan yang paling pas untuk gerombolan itu. Dan para 'penyamun' politik itu sekarang berbondong-bondong menyerbu Jakarta dan berlagak menjadikan Jakarta sebagai sarang mereka. Tujuan mereka hanyalah untuk menjegal Ahok menuju Pilgub DKI 2017.Â
Namun mereka lupa, Ahok bukanlah anak kemarin sore atau 'Anak Perawan' di sarang penyamun. Ahok adalah 'Raja Preman' dalam ganasnya belantara politik Jakarta. Kita lihat saja, seberapa ampuh jurus para 'penyamun' itu mampu mengusik sang 'Raja Preman'? Maka episode politik yang tersaji kini menjadi berjudul 'Raja Preman' di Sarang 'Penyamun'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H