[caption caption="( Foto : pixabay.com )"][/caption]
Kebohongan Amerika Serikat kepada publik dunia sudah berulang kali terjadi. Bahkan seperti sebuah kutukan yang telah menjadi tradisi turun temurun. Jejak kebohongan Gedung Putih ini sudah terlacak sejak Perang Dunia 1, Perang Dunia 2, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Balkan bahkan sampai konflik mutakhir seperti krisis Libya dan Suriah.
Namun anehnya, sebagian besar dari kita sebagai publik dunia tetap saja menelan mentah-mentah apa pun yang diberitakan -- tepatnya dipropagandakan -- oleh mereka beserta para media pendukung mereka. Fakta inilah yang melahirkan pertanyaan bagi saya, sebenarnya kita yang bodoh atau memang mereka yang jenius, sehingga begitu piawai memoles kebohongan sebagai kebenaran untuk memuluskan ambisi dan mencapai tujuan mereka?
Barangkali yang paling melekat di benak publik adalah bualan Presiden Amerika Serikat saat itu, George Walker Bush, tentang Saddam Hussein yang ditudingnya memiliki senjata pemusnah massal yang bisa mengancam perdamaian dunia. Oleh sebab itu, -- narasi yang terbangun adalah -- bagaimana pun juga Saddam harus digulingkan. Setelah dunia mempercayai bualan Bush dan mendukung agresi militer Amerika ke Irak, apa yang terjadi kemudian?
Tahun 2003 Irak diserbu dan dihancur-leburkan. Baghdad luluh lantak, ribuan jiwa melayang, Saddam terguling, dan senjata pemusnah massal itu tidak ditemukan! Bush atas nama Presiden AS ternyata telah terbukti berbohong. Untuk semua kebohongan itu dan segala akibatnya, sama sekali tidak ada pernyataan penyesalan atau permintaan maaf dari Gedung Putih. Bahkan PBB pun seperti orang lumpuh yang hanya bisa diam melompong menyaksikan kebohongan dan kepongahan Amerika sang agresor.
Presiden Amerika saat ini, Barack Obama, ternyata juga tidak bisa menghindar dari kutukan tradisi kebohongan Gedung Putih. Kiprah kebohongannya dimulai pada tahun 2011 dalam konflik Libya, negara terkaya di benua Afrika. Dengan dalih mendukung aspirasi rakyat Libya yang 'tertindas', dan bergandengan tangan dengan Al Qaida, NATO turun tangan melakukan 'intervensi kemanusiaan'. Tidak jauh berbeda dengan nasib Irak, Libya pun luluh lantak dan Presiden Muammar Qadafi terbunuh.
Kemudian seperti segerombolan srigala yang telah melumpuhkan sang mangsa, mereka lalu menikmati kemenangan sembari mengunyah-ngunyah mangsanya. Minyak murah Libya mengalir ke tanker-tanker sang pemenang perang, negeri Paman Sam itu. Pembangunan infrastruktur Libya yang hancur lebur jatuh ke tangan para juragan konstruksi dari negara-negara Barat. Dan kini Gedung Putih seakan juga tidak peduli dengan kekacauan yang timbul di Libya akibat agresi militer mereka.
Tidak cukup hanya di Libya, petualangan berdarah Obama akhirnya berlanjut memasuki Suriah. Masih dibawah kutukan tradisi kebohongan Gedung Putih, petualangan berbahaya di Suriah ini pun diawali dengan kebohongan yang berisi propaganda kekejaman Presiden Bashar Al Assad yang 'Syiah' -- padahal seorang Alawi -- terhadap penduduk Suriah yang Sunni. Padahal sebelum meletusnya pemberontakan bersenjata yang disponsori oleh Barat dan monarki Arab itu, tidak ada berita-berita yang menyebutkan kekejaman Al Assad.
Semenjak pemberontakan bersenjata berkecamuk di Suriah, propaganda yang bertujuan untuk memancing sentimen sektarian Sunni-Syiah itu dengan cepat disebarkan ke seluruh dunia oleh media Barat dan media-media radikal berkedok Islam. Propaganda sesat itulah yang memancing para ekstrimis seluruh dunia untuk berdatangan ke Suriah untuk meneror rakyat dan pemerintahan Al Assad.
Kebohongan berikutnya adalah tentang klasifikasi pemberontak moderat dan pemberontak radikal. Padahal kenyataannya, bisa dikatakan hampir seluruh kelompok pemberontak adalah radikal. Lihat saja ideologi mereka yang wahabi/salafi ekstrim, ideologi yang dianut para teroris dan merupakan ideologi resmi monarki Saudi Arabia yang berusaha diekspor ke seluruh penjuru dunia. Lagi pula, kalau yang namanya pemberontakan bersenjata, bagaimana bisa disebut dengan moderat? Free Syrian Army (FSA) misalnya, yang disebut pihak Barat sebagai oposisi moderat, ternyata sama kejamnya dengan ISIS. Begitu pula kelompok-kelompok pemberontak yang lain, ya 11/12 lah dengan ISIS atau Jabhat Al Nusra.
Kebohongan Amerika cs selanjutnya yang sangat konyol alias menggelikan adalah pembentukan koalisi pimpinan Amerika untuk menumpas ISIS. Bagaimana tidak konyol? Tujuan Amerika cs mendukung para pemberontak bersenjata adalah untuk menumbangkan pemerintah Suriah dibawah pimpinan Presiden Bashar Al Assad. Dan ISIS adalah faksi teroris pemberontak terkuat di Suriah. Bagaimana mungkin Amerika cs menyia-nyiakan dan menepis tangan pemberontak terkuat yang hendak menjatuhkan Al Assad? Dan bagaimana kenyataan dari hasil aksi koalisi konyol pimpinan Amerika cs melawan ISIS selama ini? ISIS malah semakin kuat dan daerah yang dikuasainya malah semakin luas!
Melihat kebohongan Amerika cs dalam memerangi ISIS yang ternyata malah memperkuat ISIS, Presiden Suriah Bashar Al Assad meminta bantuan langsung kepada Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menumpas ISIS dan para teroris pemberontak yang lain. Dengan bantuan gempuran Angkatan Udara Rusia, ISIS dan teroris pemberontak yang lain menjadi kalang kabut dan terdesak. Kelompok-kelompok teroris pemberontak itu semakin banyak menelan kekalahan di medan pertempuran sehingga semakin banyak pula daerah-daerah yang sebelumnya mereka kuasai beralih kembali ke dalam kontrol tentara pemerintah Suriah.
Gerak maju tentara Suriah yang didukung Iran, Rusia dan gerilyawan Hizbullah Libanon itu ternyata sangat menggelisahkan para pendukung teroris pemberontak, terutama Amerika-Israel, Turki dan Arab Saudi. Rasa gelisah itu muncul karena kemenangan tentara Suriah akan memupus habis semua 'saham' yang telah mereka tanamkan pada kelompok-kelompok pemberontak Suriah.
Saham? Ya, Amerika, Saudi dan Turki merupakan pemegang saham terbesar dalam gerakan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah Suriah. Merekalah yang memprovokasi dan mendukung sepenuhnya pemberontakan bersenjata di Suriah, baik secara politis, finansial maupun persenjataan.
Rasa gelisah itu kemudian memantik kreatifitas Amerika cs untuk kembali menelurkan berbagai kebohongan demi menggagalkan kemenangan rakyat dan pemerintah Suriah terhadap para komplotan teroris pemberontak. Kebohongan-kebohongan itu mereka ciptakan dengan tujuan mengelabuhi masyarakat dunia dan menampilkan citra semu mereka sebagai 'pembela aspirasi' rakyat Suriah.
Kebohongan terakhir mereka adalah narasi kreatifitas mereka yang menuding bahwa gempuran jet-jet tempur Rusia banyak yang malah menyasar para 'pemberontak moderat' dan fasilitas-fasilitas sipil. Sementara pemberontak radikal seperti ISIS malah terabaikan, demikian tuding Amerika cs. Padahal kenyataannya, seperti para teroris pemberontak yang lain, ISIS pun terdesak hebat, apalagi nanti bila tentara Suriah berhasil memutus jalur suplai logistik dan persenjataan dari Turki.
Dengan dasar kebohongan terakhir ini, sekutu Amerika seperti monarki Saudi berniat hendak mengirimkan pasukan daratnya untuk 'melawan' ISIS. Sementara tentara Turki telah memasuki wilayah Suriah pada daerah yang secara sepihak mereka klaim sebagai 'daerah penyangga'. Dalih Turki adalah untuk mengawasi dan mencegah aliran logistik dari Turki pada ISIS. Lucu bukan? Kalau memang berniat hendak mencegah aliran logistik dari Turki, kenapa Amerika cs tidak berkonsentrasi di Turki untuk mencegahnya? Dan kenapa selama ini Turki tidak 'dijewer' karena membiarkan perbatasannya dengan Suriah dijadikan jalur suplai ISIS?
Itulah sebagian kebohongan-kebohongan Gedung Putih yang telah terlacak. Menyikapi kebohongan-kebohongan tersebut, akankah kita menumpulkan daya kritis kita dan kembali menelannya mentah-mentah? Kalau memang demikian, sebenarnya kita yang bodoh, atau mereka yang jenius?
Â
Artikel Terkait :
Akankah Resolusi 2249 DK PBB Disalahgunakan
Mengapa Poros Amerika-Saudi Berambisi Jatuhkan Al Assad
Masih Adakah Asa Untuk SuriahÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H