Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak 2015: Tidak Memilih, Masihkah Sebuah Pilihan?

30 November 2015   08:19 Diperbarui: 30 November 2015   08:44 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Aqila SN ( dok. pribadi )

 

Pilkada serentak secara nasional yang pelaksanaanya dijadwalkan pada tanggal 9 Desember 2015 semakin dekat. Penggalangan dukungan dan kekuatan masing-masing calon pun semakin gencar dilakukan. Secara terus terang atau pun diam-diam, berbagai pihak terus melakukan lobi-lobi politik. Segala bentuk 'bujuk rayu' semakin santer ditiupkan ke masyarakat untuk menjatuhkan pilihan pada sang calon.

Sebagai warga negara yang terdata dalam daftar pemilih, nampaknya sampai saat ini masih banyak yang belum bisa menentukan calon mana yang akan dipilih. Banyak isu bersliweran -- terutama yang bernuansa negatif -- mengenai sosok sang calon yang makin menambah kebimbangan para calon pemilih. 

Di daerah saya pun seperti itu. Melihat track record dan latar belakang politik kedua calon bupati (cabup) yang akan bertarung, saya sendiri sebenarnya kurang begitu antusias menyambut pilkada nanti.  Kedua cabup sebenarnya berangkat dari dinasti politik yang sama. Namun sebuah 'konflik' telah memecah dinasti itu menjadi 2 kubu yang sekarang saling berhadapan untuk memperebutkan kursi bupati.

Dari perbincangan dengan teman-teman di sebuah grup WA, seorang teman memberikan 'feeling' nya tentang siapa yang sebaiknya saya pilih. Feeling itu tentunya berdasarkan pada pemahaman dan afiliasi politik teman saya tersebut. Bagi saya,  saran teman tersebut cukup bermanfaat untuk menambah referensi mengenai konstelasi politik lokal menjelang pilkada nanti.

Kita semua pasti menyadari, dalam setiap perhelatan demokrasi di belahan bumi manapun, tidak mungkin akan bisa didapatkan pemimpin yang ideal. Realitas politik akan memaksa kita untuk memilih calon terbaik dari yang ada. Bahkan pada titik tertentu, kadang kita harus memilih yang terbaik dari yang buruk-buruk.

Tugas memilih yang terbaik dari kontestan pilkada bukanlah pekerjaan mudah. Sebagai pemilih, setiap orang pasti mempunyai kriteria atau parameter tersendiri mengenai calon pemimpin. Mengingat pentingnya sosok pemimpin untuk memimpin umat, wajar bila agama -- Islam -- memberikan beberapa parameter yang bisa diukur untuk memilih seorang calon pemimpin. 

Parameter-parameter yang digariskan agama meliputi : sidiq (jujur, tidak korup), amanah (dapat memegang dan menjalankan amanat yang diberikan rakyat), fatonah (cerdas dalam setiap pengambilan kebijakan dan tindakan), dan tabligh (menyampaikan kebenaran dan transparansi dalam setiap kebijakan).

Parameter-parameter tersebut mungkin bisa kita terapkan terhadap seorang calon inkumben. Kita bisa mengamatinya dalam 5 tahun pemerintahannya dan kemudian memberikan penilaian pada setiap parameter dengan skala 0 sampai dengan 10 misalnya. 

Namun untuk seorang calon baru yang secara selentingan pun sama sekali kita tidak pernah mendengar nama atau kiprahnya, saya kira parameter-parameter diatas agak sulit untuk diterapkan. Dengan demikian, kampanye dan debat calon dalam penyampaian visi-misi akan menjadi sarana utama calon pemilih untuk menilainya. 

Pertanyaannya kemudian, berapa banyak calon pemilih yang bisa meluangkan waktunya untuk menghadiri atau mengikuti perkembangan berita kampanye atau debat calon? Atau seberapa besarkah mereka calon pemilih mempunyai interest dan kepedulian untuk mengenali calon-calon pemimpinnya?

Disamping itu, calon-calon pemimpin bermental rendah yang berusaha memenangkan pilkada dengan segala cara juga sangat berperan besar mereduksi kualitas demokrasi itu sendiri. Politik uang adalah cara paling ampuh yang biasanya ditempuh. Kontestan pilkada butuh suara sedangkan calon pemilih juga tidak peduli atau tidak berkeberatan bila hak suaranya ditukar dengan sekian puluh ribu rupiah. Maka terjadilah praktik jual beli suara yang kotor itu.

Praktik kotor seperti itu jelas akan berdampak pada kinerja pemerintahan daerah yang terbentuk nantinya. Tingginya 'biaya politik' untuk mendukung pencalonan mereka -- termasuk biaya untuk membeli suara -- akan berusaha mereka tebus dalam masa pemerintahan yang mereka jalankan. Inilah lingkaran setan yang selalu mengungkung dan menghambat kemajuan bangsa kita.

Bila keadaan sudah seperti ini, bagaimana sebaiknya sikap kita? Sebagian masyarakat bahkan menjadi apatis karenanya. Memilih atau tidak memilih menurut mereka sama saja, yang tidak akan bisa mengubah keadaan. Bagi saya pribadi, keadaan seperti ini memang terasa dilematis. Namun saya menyadari, inilah konsekuensi sistem demokrasi yang kita anut. Tidak ada yang bisa memaksa kita untuk memilih siapa. Bahkan sistem demokrasi tidak melarang seseorang untuk tidak memilih.

Pada akhirnya semua berpulang pada kita sebagai pemilih. Seberapa penting kita memandang kehadiran seorang pemimpin. Dan menurut kita,  parameter-parameter minimal apa yang harus dimiliki seorang pemimpin. Semua ini tergantung pada nurani dan kesadaran berbangsa dan bernegara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun