Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tahun Baru 1437 Hijriah, Masih Adakah Asa untuk Suriah?

18 Oktober 2015   00:50 Diperbarui: 18 Oktober 2015   15:10 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun baru lazimnya membawa harapan baru. Sebuah asa untuk perbaikan diri dan umat. Dan untuk Suriah, masih adakah harapan untuk menemukan solusi mujarab yang akan melahirkan kedamaian dan ketenteraman, terutama untuk rakyat Suriah?

Akar Masalah Suriah : Intervensi Amerika cs Terhadap Urusan Internal Suriah

Perang Suriah sudah berkecamuk lebih dari 4 tahun. Kita pun sudah mengerti bahwa akar masalah dari krisis atau perang Suriah adalah nafsu besar Amerika Serikat dan sekutunya -- Inggris, Prancis, Jerman, Saudi Arabia, Qatar, Emirat Arab, Turki dan tentu saja Israel -- untuk menggulingkan Presiden Suriah, Bashar Al-Assad. Merekalah yang mendukung sepenuhnya para pemberontak baik dengan dana maupun senjata. Ini jelas merupakan intervensi terhadap sebuah negara berdaulat. Dan tentu saja melanggar hukum internasional. Namun mengapa PBB tak berdaya terhadap sikap semena-mena Amerika cs ini?

Jawabannya sederhana. Semenjak keruntuhan Uni Soviet pada dekade 1990-an yang lalu, Amerika Serikat merasa sebagai kekuatan tunggal yang bisa menentukan hitam-putihnya dunia. Dan seperti kita ketahui selama ini, donatur terbesar PBB adalah Amerika Serikat. Jika Amerika menahan donasinya, PBB jelas akan kelimpungan. Itu salah satu faktor penyebab saja mengapa badan dunia seperti PBB terlihat lemah di depan Amerika. Jadi sepertinya sulit berharap terlalu banyak pada PBB untuk menyelesaikan masalah Suriah.

Untuk menyelubungi syahwat tersebut, Amerika cs kemudian menciptakan propaganda-propaganda palsu yang berisi pembunuhan karakter terhadap Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Inti berbagai propaganda palsu tersebut sebenarnya sama, yakni "kekejaman" sang presiden terhadap rakyatnya sendiri. 

Semua propaganda palsu tersebut disebarluaskan ke segala penjuru dunia dengan tujuan membangkitkan rasa kebencian masyarakat internasional pada rezim Al-Assad. Dengan timbulnya rasa kebencian terhadap Al-Assad, Amerika cs berharap masyarakat internasional akan mendukung atau setidaknya "membiarkan" penggulingan rezim Suriah tersebut.

Untuk lebih meningkatkan dosis militansi pemberontakan, dengan licik Amerika cs meramu  propaganda palsu tersebut dengan isu sektarian Sunni-Syiah. Isu sektarian inilah yang laku keras di pasaran. Akibatnya kaum Muslimin lugu berwawasan sempit berbondong-bondong mendatangi Suriah untuk bergabung dengan para pemberontak terutama ISIS yang "katanya" hendak mendirikan khilafah Islam yang akan memerangi "rezim Syiah" Bashar Al-Assad.

Lantas, apa "daya tarik" Suriah sehingga mengundang nafsu komplotan imperialis Amerika  Serikat untuk datang dan mengobok-oboknya? Apakah Suriah seperti Irak atau Libya yang kaya minyak sehingga Bashar Al-Assad harus digulingkan sebagaimana Amerika dan sekutunya menggulingkan Saddam Husein dan Muammar Khadafi dan kemudian ladang-ladang minyaknya mereka kuasai? Bukan itu.

Dari segi ekonomi, Suriah merupakan simpul jalur perdagangan paling legendaris di dunia yakni Jalur Sutra. Jalur Sutra ini melalui banyak negara sehingga tak mungkin bagi satu pihak untuk menguasai jalur sepanjang itu. Posisi Suriah sebagai simpul jalur sutra jelas merupakan posisi strategis yang bernilai ekonomis tinggi terutama dengan adanya rencana pipanisasi gas dari Iran ke Eropa yang akan melewati Irak dan Suriah. Ditambah lagi dengan telah adanya kesepakatan penyaluran minyak dari ladang minyak di Kirkuk, Irak, ke pelabuhan Banias di Suriah. Potensi ekonomi yang dimiliki Suriah ini tentu saja cukup menggiurkan bagi para kapitalis Barat.

Dari segi politis, Suriah memang selalu berseberangan dengan Israel. Dengan tangan terbuka,  Bashar Al-Assad memberikan ijin pendirian kantor perwakilan Hamas di Damaskus. Presiden Suriah ini juga bersedia menampung para aktifis dan pengungsi Palestina korban agresi Zionis Israel. Al-Assad pula yang mendukung gerilyawan Hizbullah yang telah memukul mundur invasi tentara Zionis Israel dari wilayah Libanon Selatan dalam perang 34 hari pada tahun 2006 yang lalu. Sikap-sikap politik Al-Assad seperti inilah yang membuat Amerika dan Israel gusar.

Sementara itu para sekutu Amerika dari jazirah Arab umumnya adalah negara-negara berbentuk  monarki yang selama ini para pemimpinnya sudah merasa mapan dengan kekuasaan yang telah mereka genggam. Para penguasa despotik itu juga telah merasa hidup nyaman dengan gelimangan harta yang mereka nikmati. Namun rupanya mereka terus dihantui ketakutan bila revolusi 
Islam ala Iran akan melanda negara mereka dan menumbangkan sistem monarki yang selama ini telah memberi mereka kekuasaan dan kemewahan hidup.

Rasa ketakutan ini kemudian mendorong para penguasa monarki Arab untuk setidaknya mengurangi kekuatan Iran dengan jalan menjatuhkan rezim Bashar Al-Assad yang selama ini pro Iran. Disinilah terjadi titik temu antara kepentingan Amerika-Israel dengan kepentingan negara-negara monarki Arab penganut Wahabi.

Turki -- yang bukan termasuk kelompok monarki Arab -- sendiri memilih bersikap oportunis terkait konflik Suriah. Sebelum konflik meletus, Turki menjalin persahabatan yang cukup erat dengan Suriah. Namun ketika konflik pecah, bagaikan angin yang berbalik arah, tiba-tiba Turki mencampakkan persahabatan itu dan memilih berkoalisi dengan Amerika cs yang mendukung pemberontak Suriah. 

Patut diduga perubahan sikap ini terkait ambisi Erdogan untuk membawa Turki menjadi kekuatan baru Timur Tengah disamping Iran dan Israel, setelah "jatuhnya" rezim Suriah. Disamping itu persaingan pipanisasi minyak dan gas dengan Suriah juga merupakan salah satu faktor yang mengubah sikap rezim Turki. Dengan skenario jatuhnya Suriah ke tangan Amerika cs mereka nampaknya berharap keuntungan pipanisasi itu akan beralih ke tangan mereka.

Solusi Suriah : Jalur Diplomatik Atau Perang?

Kita semua tentunya tidak ingin Suriah akan bernasib sama dengan Afghanistan, Irak atau  Libya. Negara-negara bernasib malang itu telah diserbu dan dihancurkan oleh Amerika dan sekutunya dengan alasan yang lemah, dicari-cari, bahkan tuduhan bohong. Dan kini kita hanya bisa memandang iba dan prihatin pada kekacauan yang terjadi di Afghanistan, Irak dan Libya. Sementara para kapitalis Amerika dan sekutunya berpesta pora merampok minyak Irak dan Libya. Kita tidak ingin semua itu terjadi pada Suriah. Amerika dan sekutunya harus dihentikan.

Membiarkan komplotan imperialis yang dikomandani Amerika untuk terus melampiaskan "nafsu  semau gue" nya terhadap negara berdaulat lain adalah sebuah preseden buruk yang harus dihentikan. Dan sayangnya dunia internasional selama ini hanya melihat tak berdaya kendati Amerika Serikat sudah berulang kali mengintervensi negara berdaulat lain.

Solusi diplomatik tentunya adalah solusi terbaik dalam masalah antar negara. Langkah awal  adalah menekan Amerika cs untuk menghormati Suriah sebagai negara yang berdaulat. Dan suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus mengakui Bashar Al-Assad sebagai presiden sah Suriah. Bila langkah awal ini bisa terealisir barulah menginjak perundingan diplomatik yang tentu saja harus menyertakan Bashar Al-Assad selaku presiden sah Suriah sebagai pemain kunci perundingan.

Namun jika Amerika dan sekutunya tetap ngotot dengan nafsu besarnya untuk menjatuhkan  Al-Assad, maka solusi pertama adalah menciptakan bargaining power untuk meredam nafsu para agresor tersebut. Kendati agak terlambat, "turun tangan"-nya Rusia secara militer ke dalam kancah pertempuran Suriah dengan serangan udaranya mulai akhir September lalu adalah manifestasi dari solusi pertama tersebut. 

Kekuatan pengimbang yang dipimpin Rusia memang harus tampil all out untuk meredam nafsu Amerika cs. Dan setelah bargaining power poros Rusia-Iran-Cina-Suriah minimal seimbang atau lebih kuat daripada poros Amerika cs, solusi kedua adalah "memaksa" poros Amerika cs untuk memasuki jalur diplomatik. Perang harus segera dihentikan.

Perang sesungguhnya hanya akan meninggalkan luka yang perih serta mewariskan dendam dan kebencian yang tak akan pernah berujung. Sudah begitu banyak perang Suriah memakan korban jiwa maupun harta. Telah banyak yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan sayangi. Banyak anak yang menjadi yatim dan piatu. Tak kurang pula orang tua yang kehilangan anaknya. Tak terhitung yang kehilangan sanak kerabatnya. Dan semua ini tak mungkin bisa dikembalikan seperti semula sebelum prahara perang berkecamuk. 

Kita berharap semua pihak bisa menahan diri untuk selanjutnya duduk bersama di meja perundingan. Dan langkah awal dari semua itu, masyarakat internasional harus menekan Amerika dan sekutunya untuk menghormati kedaulatan Suriah dengan jalan menghentikan dukungan mereka terhadap pemberontak Suriah. Karena masalah pemberontakan adalah urusan internal sebuah negara yang tidak seharusnya diintervensi negara lain. Amerika dan sekutunya yang telah memulai menyalakan api, maka mereka pula yang pertama kali harus memadamkannya.

Masih ada asa untuk Suriah.
Peace for Syria..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun