Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spirit Cinta Sejati Dalam Hijrah Nabi

12 Oktober 2015   12:53 Diperbarui: 13 Oktober 2015   11:32 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momen hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah diabadikan sebagai awal tahun kalender Hijriah, 1 Muharram. Momen bersejarah ini selalu diperingati kaum Muslimin sebagai tonggak introspeksi menuju perbaikan diri dan umat. Namun sebenarnya ada dimensi lain yang seakan terabaikan dalam peristiwa bersejarah itu. Sebuah dimensi mendasar mengenai keteladanan cinta sejati. Sebuah spirit tentang cinta sejati.

Ustad Jalal menarasikan dengan bagus spirit cinta sejati itu dalam sebuah bukunya. Berikut kutipannya yang sedikit saya edit.

Ketika itu suasana kota Makkah semakin genting. Musuh-musuh Nabi saw bersepakat untuk menyerbu rumah Nabi saw di malam hari. Semua kabilah mengirimkan wakil-wakilnya. Mereka punya misi yang sama: menghabisi Nabi yang mulia. 

Pada malam itu, Rasulullah saw menawarkan kepada Ali apakah ia bersedia untuk berbaring di tempat tidur beliau. Ali balik bertanya, "Apakah dengan begitu engkau selamat, ya Rasulullah?" Nabi menjawab, "Betul!"

Mendengar itu Ali melonjak gembira. Ia merebahkan diri, bersujud syukur kepada Yang Maha Kasih karena diberi kesempatan untuk mempersembahkan nyawanya buat keselamatan Rasulullah saw yang dicintainya. Baginya, peluang untuk berkorban bagi Nabi saw adalah anugrah yang agung. 

Ia segera mengambil selimut hijau dari Yaman. Ke dalam selimut Nabi saw itu, dengan bahagia Ali memasukkan tubuhnya. Ia tidur dengan tenteram.

Menjelang subuh, para pembunuh dari berbagai kabilah datang dengan menghunus pedang-pedang mereka. Mereka yakin bahwa yang tidur itu adalah Muhammad saw. 

"Bangunkan dia lebih dahulu, supaya ia merasakan pedihnya tebasan pedang," teriak mereka. 

Ketika mereka melihat Ali bangun, dengan kecewa mereka segera meninggalkan tempat untuk mencari Nabi saw. Malaikat Jibril turun di dekat kepala Ali dan Mikail di dekat kakinya. 

Jibril berkata, "Luar biasa. Siapa yang seperti engkau, hai putra Abu Thalib?" Allah membanggakan dia di hadapan para malaikatnya. 

Lalu turunlah Al-Baqarah 207: Di antara manusia ada orang yang menjual dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun terhadap hamba-hamba-Nya.

Ayat ini turun untuk mendefinisikan cinta sebagai kesediaan untuk menjual diri, memberikan yang paling berharga untuk sang kekasih. Inilah kecintaan sejati, yang dibanggakan oleh para malaikat. 

Dengan cinta seperti itu, makna cinta berikutnya muncul dengan sendirinya; yakni, berusaha memelihara dan mempertahankan kecintaannya. Cinta direkamkan dalam-dalam di lubuk hatinya. Bahkan pada saat sakaratul maut sekali pun, nama Rasulullah saw tidak pernah lepas dari mulut dan jantung sang pecinta.

 

Sumber: Jalaluddin Rakhmat, Rindu Rasul: Meraih Cinta Ilahi melalui Syafaat Nabi, Jakarta: Rosda, 2001.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun