Mohon tunggu...
Anang Wicaksono
Anang Wicaksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadikan menulis sebagai katarsis dan sebentuk kontemplasi dalam 'keheningan dan hingar bingar' kehidupan.

Mengagumi dan banyak terinspirasi dari Sang Pintu Ilmu Nabi. Meyakini sepenuhnya Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, pembawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semesta alam. Mencintai dan bertekad bulat mempertahankan NKRI sebagai bentuk negara yang disepakati para founding fathers kita demi melindungi dan mengayomi seluruh umat beragama dan semua golongan di tanah tumpah darah tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Carut Marut Manajemen BBM: Warisan Kelam Untuk Jokowi

28 Agustus 2014   03:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:19 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelangkaan BBM bersubsidi terjadi lagi di berbagai kota di Indonesia. Untuk mendapatkannya masyarakat terpaksa harus memburu ke SPBU yang masih menyediakannya. Itu pun harus dilakukan dengan antrian memanjang yang sangat menguras waktu dan tenaga. Sebuah gambaran betapa manajemen BBM kita masih terbelit carut marut yang tak kunjung usai. Inilah warisan kelam turun temurun bagi Presiden/Wapres terpilih 2014-2019 Jokowi-JK yang harus bekerja keras untuk membereskannya.

Sejarah pernah mencatat Indonesia sebagai salah satu produsen minyak dunia yang cukup disegani. Negeri yang dikenal kaya akan sumber daya alam ini sempat tergabung dalam organisasi pengekspor minyak dunia (OPEC). Saat itu produksi minyak dalam negeri berlimpah. Sangat mencukupi untuk kebutuhan konsumsi BBM di dalam negeri dengan harga yang murah. Sisanya dalam jumlah yang masih cukup besar diekspor ke pasar dunia.

Masa keemasan minyak Indonesia terjadi pada tahun 1970-1980-an. Ketika itu akibat krisis yang terjadi di Timur Tengah, harga minyak dunia sempat meroket. Indonesia mendapat keuntungan yang sangat berlipat-libat. Para pakar menyebut peristiwa itu sebagai "oil boom". Itulah sekelumit kenangan indah ketika Indonesia masih menjadi salah satu "raja minyak" dunia.

Namun seiring waktu, predikat dari eksportir perlahan-lahan bermetamorfosis menjadi importir. Faktor utama penyebabnya adalah pesatnya kenaikan konsumsi BBM kita yang tidak diimbangi dengan peningkatan eksplorasi sumber-sumber  minyak baru. Peningkatan konsumsi tidak diimbangi dengan peningkatan produksi.

Bahkan dalam 10 tahun terakhir produksi minyak Indonesia  terus mengalami penurunan hingga dibawah 900 ribu barel per hari. Akibatnya terjadilah defisit stok BBM. Untuk menutupi defisit kebutuhan BBM, Indonesia terpaksa harus mengimpor BBM dengan harga pasar dan menjualnya di dalam negeri dengan harga bersubsidi. Hal inilah yang membuat APBN kita tertekan karena harus menanggung beban subsidi BBM yang dari tahun ke tahun nilainya makin membesar.

Tujuan pembangunan adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pertumbuhan ekonomi otomatis akan meningkatkan pemakaian energi, baik di sektor industri, transportasi dan rumah tangga.

Namun alih-alih memanfaatkan batubara dan gas alam yang sumbernya cukup berlimpah di dalam negeri dengan biaya pengolahannya yang relatif juga murah, kita malah menggantungkan pola konsumsi energi kita pada BBM yang produksinya semakin menurun. Sungguh ironis. Parahnya, tingkat ketergantungan kita pada BBM sudah sedemikian masif dan diperkirakan ke depan akan semakin masif bila tidak ada langkah konkret pemerintah untuk mengendalikannya.

Sebenarnya pemerintah telah berupaya untuk memindahkan pola konsumsi energi dari BBM ke energi yang lain. Seperti di sektor rumah tangga misalnya, pemerintah cukup berhasil memindahkan pola konsumsi dari BBM (dalam hal ini minyak tanah) ke gas. Namun di sektor transportasi dan industri, upaya pemerintah mengalihkan pola konsumsi energi ini terlihat kurang serius.  Tidak ada pembangunan infrastruktur yang berarti untuk proses pengalihan pola konsumsi energi.

Adanya kebijakan untuk mensubsidi jenis BBM tertentu dan tidak mensubsidi jenis BBM yang lain ternyata malah meningkatkan angka ketergantungan kita pada BBM. Manajemen pengawasan juga sulit diterapkan sehingga berakibat terjadinya salah sasaran subsidi. Banyak pengamat yang mengatakan bahwa 70% subsidi jatuh pada golongan ekonomi menengah ke atas.

Faktor lain yang mendongkrak peningkatan konsumsi BBM kita adalah karena buruknya transportasi massal. Akibatnya masyarakat lebih senang membeli mobil atau sepeda motor untuk keperluan transportasi mereka. Di satu sisi hal ini sangat menguntungkan industri otomatif, namun di sisi yang lain juga mempercepat peningkatkan konsumsi BBM.

Sementara dari segi produksi minyak bumi, kita masih mengandalkan sumur-sumur minyak tua yang sumbernya semakin berkurang. Untuk pengolahannya kita masih menggunakan kilang-kilang minyak tua yang hasilnya juga semakin jauh dari optimal. Dengan kondisi seperti ini, tak heran produksi BBM kita semakin menurun sehingga kita pun semakin tergantung pada impor BBM untuk memenuhi konsumsi BBM dalam negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun