"Lenin" dan "Kematian"--- Kata-kata ini bermusuhan. "Lenin" dan "Kehidupan"--- Mereka berkawan. Maiakovskii, Penyair dan Penggemar Lenin
5 Januari 1924, Vladimir Ilyich Ulyanov, yang lebih dikenal dengan julukan Lenin meninggal dunia. Ditanggal itu seoranag pendiri Uni Soviet menghembuskan nafas terakhirnya.Â
Seorang jurnalis mengingat kembali hari itu dalam sebuah catatan: "Pada pukul 4.00 tepat, semua siaran radio, semua telegram, menyalurkan satu pesan tunggal, 'kawan-kawan, Illich sedang diturunkan ke dalam makamnya!' Segala hal berhenti di seluruh Rusia selama lima menit. Kendaraan berhenti, kereta berhenti. kapal berhenti, dan orang-orang hikmat."
Tapi harapan tidak. Maiakovskii, seorang penyair yang sangat mengidolakan Pemimpin Soviet tersebut percaya bahwa Lenin hidup di masa lalu, kini, dan juga di masa depan. Sebuah kiasan dan kemustahilan, namun penduduk Soviet yang hidup di masa itu, masa dimana teknologi dan sience tumbuh berkembang, percaya akan kemungkinan hidup abadi secara harfiah di dunia.
Leonid Krasin, seorang menteri Republik Soviet kala itu, yakin bahwa akan datang masanya ilmu pengetahuan akan berkembang pesat dan menjadi sedemikian hebat hingga bisa menghidupkan kembali tokoh besar dalam sejarah peradaban dunia, yakni Lenin, Tokoh yang mempu menggerakkan jutaan orang Rusia untuk melakukan sebuah Revolusi.
Pada Maret 1924, Leonid Krasin memulai satu kegiatan operasi dalam rangka mengawetkan tubuh Lenin. Komite Pemakaman ia rubah penamaanya menjadi Komite Pengabadian. Jasad sang pemimpin Revolusi Rusia dibalsam sebagaimana jasad Fir'aun di Mesir Kuno. Dengan besar  harapan bahwa bila dikemudian hari sience dan teknologi mencapai puncaknya, jasad yang dimumikan itu akan dapat bangkit kembali.
Nadezhda Krupskaia, istri dari Lenin yang masih hidup, ia menyatakan keberatanya jika jasad suaminya akan diawetkan dan diabadikan. Lima hari setelah Lenin meninggal, Nadezhda Krupskaia mengatakan lewat harian Pravda, kepada para buruh dan tani, agar dukacita atas kepergian Illich dinyatakan dengan hal hal yang bermanfaat untuk warga Soviet. Nadezhda Krupskaia menyerukan
"Jangan dirikan monumen atau apapun baginya,"
"Jika kalian ingin menghormati nama Vladimir Illich, bangunlah tempat perawatan bayi, kindergarten, rumah yatim, dan sekolah."
Tapi ketika hari-hari berkabung itu hampir tak ada yang mendengarkan seruanya tersebut.
Beberapa periode kemudian kata-kata dalam sajak Maiakovskii terbukti. Tubuh yang dibalsam itu pun dibaringkan di sebuah sarkofagus berbentuk sebuah piramida panjang dengan piano gelas. Piramida bening itu diletakkan di sebuah ruang di bawah sebuah platform pualam yang berwarna bata.
Di sana berdiri para pemimpin Partai Komunis untuk menyaksikan parade Jasad Pemimpin Revolusi Soviet di Lapangan Merah, di sisi luar Kremlin.Â
Di bawahnya, dalam gelap, Lenin terbaring disinari cahaya. Maiakovskii menyaksikan parade itu dan ia kecewa karena mumi dari idolanya itu bagaikan sebuah patung lilin dalam Museum Madame Tussaud.Â
Meskipun Mausoleum Lenin lebih lugas, namun miskin ornamen, ketimbang kuil agung buat Ho Chi-Minh di Hanoi. Usaha mengabadikan pemimpin Bolsyewik itu hanya sebuah ilusi yang tak menggugah semangat. Maiakovskii di kemudian hari memutuskan untuk bunuh diri karena kekecewaanya.
Tahun 1991 Uni Soviet runtuh dan bubar. Proyek Marxisme-Leninisme dinyatakan gagal. Kapitalisme mulai berdatangan. Sebuah restoran McDonald's dibuka di Moskow dengan ramai pengunjung. Di hari-hari pertama, antrean masuk ke tempat makan ala Amerika ini lebih panjang ketimbang deretan peziarah Lenin di Lapangan Merah.
Sebuah media masa kala itu memberitakan bahwa anggaran negara untuk laboratorium Mausoleum Lenin dipangkas menjadi 20 persen. Pada tahun 1997 bahkan Presiden Yeltsin mengusulkan sebuah referendum untuk memutuskan alangkah lebih baikkah bila makam itu ditutup dan tubuh Lenin dikuburkan di samping ibunya. Namun usul ini ditolak Parlemen, namun kemudian diusulkan supaya jenazah Lenin dibawa keliling dunia sebagai pameran, sehingga akan menghasilkan uang.
Sebuah revolusi yang hendak mengubah dunia dengan semangat keilmuan, sebuah revolusi sience dan teknologi modern waktu itu, ternyata tak bisa meneruskan diri, justru karena sebuah ilusi yang dibawa modernitas itu sendiri. Vladislav Todorov, seorang cendekiawan Bulgaria dari Institut Telaah Kesenian di Sofia, mengaaan
"dan kita menemukan satu renungan tentang monumen yang tak seharusnya didirikan itu, Mumi Lenin adalah titik di mana modernisasi berhenti"
Para saintis mengatakan bahwa modernitas merupakan peralatan untk membebaskan diri dari pesona magis di dunia, tapi di Lapangan Merah itu sesuatu yang magis lahir kembali di luar rencana. Mereka yakin sience dan teknologi mampu membebaskan manusia dari takhayul dan segala ideologi, karena ilmu bisa mengendalikan dunia.
Namun kemudian bukan pembebasan, melainkan justru kendali, yang tumbuh sebagai paradigma. Revolusi pun jadi represi, dan kesadaran kelas jadi ideologi, serta berhala baru pun berdiri. Ketika Marx mencatat sesatnya manusia dalam "reifikasi" (Verdinglichung), ia sebenarnya seperti nabi klasik yang memperingatkan malapetaka pemberhalaan.
Revolusi sering memakan katakatanya sendiri. Di sebuah sudut Kota Seattle di Negara Bagian Washington, AS, ada sebuah berhala Lenin di tepi jalan yang ramai. Area itu dibeli dan dibawa seorang turis Amerika dari sebuah kota yang ada di wilayah bekas Uni Soviet, setelah penduduknya memutuskan untuk membongkar patung setinggi dua meter itu.Â
Di Seattle, benda itu ditawarkan untuk dijual. Sampai tahun lalu, ia belum laku juga. Berhala pun, seperti segala hal yang dibendakan, dengan mudah menjelma komoditas, untuk ditukar pasar.
Itulah yang terjadi di dunia, sejak Lenin diawetkan di sebuah piramida kaca. Tapi di Indonesia, pada tahun 90-an, seperti sebuah keajaiban, mumi itu dihidupkan kembali. Bukan sebagai sesembahan melainkan sebagai teror dan orang membakar buku "komunis", berteriak "awas bahaya komunis", dan masuk lagi ke zaman yang tak berpikir, dengan sebuah takhayul, 1.000 kisah tentang hantu dari rimba yang sudah membatu, belantara yang tak lagi bernama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H