Mohon tunggu...
Ananda Puspakartika
Ananda Puspakartika Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Teaching, Traveling, and Journaling

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Pelarian Terakhir di Antara Kegelapan

4 Agustus 2024   17:07 Diperbarui: 4 Agustus 2024   17:11 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua berawal dari kedatanganku ke kota ini. Dari sinilah cerita dimulai, di bawah langit mendung dan awan kelabu. Begitu turun dari pesawat, rasa tak nyaman mulai muncul di benakku. Maklum, kedatanganku ke sini bukan untuk berlibur ataupun berwisata. Cape Town memang kota yang indah dan cantik, tapi kali ini terasa berbeda.

Perjalanan begitu panjang dan melelahkan. Kutarik koper besarku dan membetulkan letak tas ransel di pundakku yang terasa begitu berat. Gersang dan panas sangat menggambarkan kota ini saat ini. Namaku Raindra Majaya Saswanto, seorang warga negara Indonesia yang bekerja di salah satu organisasi dunia. Tidak terbayangkan bukan? Tapi mari bercerita secara perlahan.

Baru dua hari aku tiba, dunia berubah menjadi neraka. Virus mematikan menyebar dengan cepat, mengubah manusia menjadi makhluk haus darah. Cape Town yang indah kini menjadi kota mati.

Di tengah kekacauan itu, aku bertemu Imelya atau Imel. Dia peneliti muda yang sedang melakukan riset di Afrika Selatan. Kami bertemu di bandara dan sejak itu berjuang bersama untuk bertahan hidup.

Kini, kami berlari sekuat tenaga. Kugenggam tangan Imel erat-erat agar kami tidak terjatuh. Kami bersembunyi di belakang tangki-tangki besar. Nafasku tak beraturan, muka Imel begitu pucat pasi. Dia sangat ketakutan, bibir kecilnya gemetaran. Aku pun merasakan hal yang sama.

Lorong itu sempit, gelap, dan remang-remang. Dalam hati kecil kami berdoa agar para zombie itu tak ada yang merasakan keberadaan kami. Namun tanpa sengaja, kaki Imel menyenggol kayu yang ada di samping tangki. Suara itu menyebabkan makhluk beringas itu dapat mengetahui keberadaan kami.

Tak lama kemudian, dari jauh tampak beberapa sosok tubuh yang berjalan terseok-seok menghampiri kami. Tanpa berpikir panjang aku berbisik pada Imel, "Mel, sepertinya kita harus berlari lagi dan pergi dari tempat ini. Di sebelah sana ada truk besar, kita akan berlari ke sana. Aku akan terus memegang tanganmu. Ingat, jangan lepaskan tanganmu dariku apa pun yang terjadi."

Imel mengangguk, matanya memancarkan ketakutan sekaligus tekad. "Aku mengerti, Rain. Ayo kita lakukan."

"Dalam hitungan ketiga, kita berdiri dan langsung berlari," kataku. "Satu... dua... tiga!"

Kami melesat dari persembunyian. Belum sampai pada truk itu, seorang mayat hidup sudah menghadang. Dengan cepat kuhantam wajahnya menggunakan satu tangan. Kami berhasil mencapai truk, namun kejutan menanti. Dari dalam truk, mayat-mayat hidup bermunculan. Sepertinya mereka baru saja terkena virus.

"Rain, harus ke mana lagi?" teriak Imel mulai panik. Aku berpikir keras, mataku menyapu sekeliling dengan cepat. Di ujung jalan, sebuah rumah dengan pintu terbuka menarik perhatianku.

"Kita ke rumah di ujung jalan itu. Ayo!" seruku.

Setibanya di rumah, aku meminta Imel untuk menunggu di luar sebentar sementara aku memeriksa keadaan dalam. Tanganku menggenggam erat kayu yang kubawa. Pandangan mataku menyapu sekeliling rumah dengan saksama. Berantakan -- itulah kata yang menggambarkan keadaan rumah ini. Kursi terbalik, barang-barang berserakan. Mungkin baru saja terjadi pertarungan antara pemilik rumah dan para zombie.

"Cepat masuk, ini aman," panggilku pada Imel yang masih mematung di depan pintu.

Kami duduk di lantai dekat jendela, bersandar pada tembok. Imel menyandarkan kepalanya di bahuku, kelelahan jelas terpancar dari wajahnya.

"Rain, aku sangat mengantuk. Aku ingin tidur," lirih Imel.

"Tidurlah, Mel. Aku akan menjagamu," kataku sambil tersenyum, berusaha menenangkannya meski hatiku sendiri gelisah.

Saat Imel terlelap, pikiranku melayang. Entah sampai kapan kami harus terus berlari dan bersembunyi. Tapi satu hal yang pasti: aku ingin melindungi gadis yang kini tertidur di sampingku. Kami memegang erat harapan untuk bertahan hidup dan menemukan jalan keluar dari kota yang penuh kengerian ini.

Suara geraman samar terdengar dari kejauhan. Aku menggenggam erat kayu di tanganku, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Malam masih panjang, dan besok... siapa yang tahu apa yang akan menanti kami?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun