"Rain, harus ke mana lagi?" teriak Imel mulai panik. Aku berpikir keras, mataku menyapu sekeliling dengan cepat. Di ujung jalan, sebuah rumah dengan pintu terbuka menarik perhatianku.
"Kita ke rumah di ujung jalan itu. Ayo!" seruku.
Setibanya di rumah, aku meminta Imel untuk menunggu di luar sebentar sementara aku memeriksa keadaan dalam. Tanganku menggenggam erat kayu yang kubawa. Pandangan mataku menyapu sekeliling rumah dengan saksama. Berantakan -- itulah kata yang menggambarkan keadaan rumah ini. Kursi terbalik, barang-barang berserakan. Mungkin baru saja terjadi pertarungan antara pemilik rumah dan para zombie.
"Cepat masuk, ini aman," panggilku pada Imel yang masih mematung di depan pintu.
Kami duduk di lantai dekat jendela, bersandar pada tembok. Imel menyandarkan kepalanya di bahuku, kelelahan jelas terpancar dari wajahnya.
"Rain, aku sangat mengantuk. Aku ingin tidur," lirih Imel.
"Tidurlah, Mel. Aku akan menjagamu," kataku sambil tersenyum, berusaha menenangkannya meski hatiku sendiri gelisah.
Saat Imel terlelap, pikiranku melayang. Entah sampai kapan kami harus terus berlari dan bersembunyi. Tapi satu hal yang pasti: aku ingin melindungi gadis yang kini tertidur di sampingku. Kami memegang erat harapan untuk bertahan hidup dan menemukan jalan keluar dari kota yang penuh kengerian ini.
Suara geraman samar terdengar dari kejauhan. Aku menggenggam erat kayu di tanganku, bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Malam masih panjang, dan besok... siapa yang tahu apa yang akan menanti kami?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H