Pendidikan agama merupakan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan di semua sekolah sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan hak semua siswa untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang mereka anut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan mengenai penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah agama di Indonesia dan di luar negeri.Â
Secara khusus, studi ini diharapkan dapat menjadi dokumen kebijakan. Pertama, aspek pemenuhan hak siswa atas pendidikan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 12.1.a UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, dan Peraturan Menteri Agama No. 16/2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah; dan kedua, aspek Pengelolaan guru agama dan pembelajaran pendidikan agama untuk memenuhi standar nasional pendidikan sebagai kewenangan Kementerian Agama yang harus dilaksanakan secara optimal di satuan pendidikan.Â
Salah satu tanggung jawab Kementerian Agama Republik Indonesia di bidang pendidikan yang belum mendapat perhatian adalah pengelolaan pendidikan agama di satuan pendidikan sekolah Indonesia di luar negeri: dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pada Pasal 12 ayat 1 butir a, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan agama yang dianutnya. agama yang dianutnya dan berhak mendapatkan pendidikan agama dari pendidik yang seagama.Â
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa 'semua satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis wajib menyelenggarakan pendidikan agama'. Dan pada ayat 2 disebutkan bahwa 'Pendidikan keagamaan dikelola oleh Menteri Agama'.Â
Namun demikian, hingga saat ini pendidikan agama pada satuan pendidikan di luar negeri diselenggarakan tanpa arahan, bimbingan, pengawasan dan evaluasi dari Kementerian Agama. Pendidikan agama pada satuan pendidikan sekolah di luar negeri dikelola sesuai dengan preferensi pimpinan dan guru dari satuan pendidikan yang bersangkutan.Â
Jika satuan pendidikan sekolah di luar negeri kebetulan memiliki pimpinan dan guru yang berminat terhadap pendidikan agama, maka sekolah tersebut akan mendapatkan layanan pendidikan agama yang memadai. Namun, jika tidak ada pimpinan atau guru yang tertarik dengan pendidikan agama di satuan pendidikan di luar negeri, maka sekolah tersebut tidak akan menerima layanan pendidikan agama yang memadai.Â
Meskipun jumlah siswa di sekolah Indonesia di luar negeri tidak banyak, namun mereka adalah warga negara Indonesia dan akan menentukan arah kemajuan bangsa Indonesia di masa depan. Umumnya, murid-murid sekolah Indonesia di luar negeri adalah anak-anak Indonesia yang orang tuanya bekerja di luar negeri.Â
Orang tua murid sekolah Indonesia di luar negeri umumnya bekerja sebagai buruh, pegawai swasta, dan ada juga yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Indonesia di kedutaan besar dan konsulat Indonesia di luar negeri.Â
Keberadaan sekolah Indonesia di luar negeri memungkinkan anak-anak Indonesia di luar negeri untuk bersekolah sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia. Jumlah sekolah Indonesia di luar negeri saat ini berjumlah 15 buah yang tersebar di beberapa negara. Nama-nama sekolah Indonesia di luar negeri umumnya adalah nama negara tempat sekolah tersebut berada.
Setiap negara di dunia memiliki kebijakan yang berbeda dalam hal pendidikan dan agama. Di beberapa negara dengan kebijakan sekuler, pendidikan agama dilarang sebagai bagian dari kurikulum sekolah umum.Â
Namun, di negara-negara ini sekolah umum diberikan kebebasan untuk memberikan pendidikan agama. Berbeda dengan Indonesia, pendidikan agama sangat didukung oleh negara. Dukungan ini dapat dilihat melalui kebijakan negara bahwa pendidikan agama harus menjadi kurikulum sekolah yang ada.Â
Secara umum, ideologi yang dianut oleh negara menentukan praktik pendidikan agama. Ada beberapa model hubungan antara ideologi negara dan pendidikan agama. Model pertama adalah negara sekuler, yang melarang pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan membolehkan pendidikan agama di sekolah-sekolah swasta. Negara-negara dengan ideologi ini antara lain Jepang dan Amerika Serikat.Â
Model kedua adalah negara dengan ideologi sekuler tetapi mayoritas penduduknya menganut agama tertentu. Negara-negara seperti ini mengizinkan pendidikan agama di sekolah negeri dan swasta. Contoh negara dengan ideologi ini antara lain Jerman dan Austria.Â
Model ketiga adalah di mana ideologi nasional dimiliki oleh agama tertentu. Model ini mengharuskan pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah umum.Â
Dalam model ini, pendidikan agama yang dimaksud adalah pendidikan agama Islam. Contoh negara dengan model ini adalah Pakistan dan Malaysia. Model keempat adalah untuk negara-negara yang tidak sekuler dan juga tidak religius, seperti Indonesia. Model ini mengharuskan masuknya pendidikan agama dalam kurikulum sekolah negeri dan swasta. Namun, pendidikan agama ini tidak terbatas pada agama Islam saja, tetapi mencakup semua agama yang diakui di Indonesia.
Sekolah Indonesia di luar negeri umumnya dibangun oleh masyarakat Indonesia di luar negeri. Keberadaan sekolah ini didukung oleh pejabat kedutaan dan konsulat Indonesia di luar negeri dan kemudian secara resmi didukung oleh Pemerintah Indonesia di Jakarta melalui Kementerian yang mengurusi Pendidikan Nasional.Â
Dalam perkembangannya, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri ini merekrut tenaga pendidik dan tenaga kependidikan melalui kedutaan besar mereka untuk menerapkan kurikulum mereka. Sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri umumnya juga menunjuk atau mendatangkan guru agama yang memberikan pelajaran agama bagi anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri.Â
Guru-guru agama ini membantu menentukan arah warna kurikulum pendidikan agama di sekolah. Melalui pengetahuan, pengalaman, pandangan dan aliran keagamaan yang mereka miliki, para guru agama menentukan warna dan jenis pandangan dan aliran keagamaan para murid. Masalahnya sampai saat ini adalah bahwa Kementerian Agama, badan yang bertanggung jawab atas pengelolaan pendidikan agama secara teknis dan substantif, belum pernah melakukan studi tentang pengelolaan pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri.
Dari pembahasan di atas, pertama dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pendidikan agama di sekolah-sekolah asing tidak dikontrol oleh Kementerian Agama dalam hal pengajaran, perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Karena pengadaan guru agama dilakukan oleh Badan Kerja Sekolah (BKS) di bawah Wakil Duta Besar RI di KBRI yang bersangkutan dengan sistem penunjukan, maka kompetensi guru agama bervariasi dan tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang ditentukan.Â
Hal ini berbeda dengan pola umum perekrutan guru dan kepala sekolah melalui seleksi oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, pembelajaran agama di sekolah-sekolah di luar negeri belum optimal dan sumber belajar yang digunakan belum sesuai dengan standar Kementerian Agama.Â
Ketiga, corak pemahaman siswa terhadap agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman guru agama terhadap perbandingan pengelolaan pendidikan agama antara sekolah Indonesia dan sekolah luar negeri. Pandangan keagamaan yang eksklusif, berprinsip dan transnasional dengan kecenderungan anti-demokrasi dan anti-nasionalis lebih mungkin masuk ke sekolah-sekolah asing.
Pertama, Kementerian Agama harus segera terlibat aktif dalam pengelolaan pendidikan agama dan menyusun pedoman pendidikan agama untuk sekolah-sekolah di luar negeri; kedua, Kementerian Agama harus segera berkoordinasi dan berpartisipasi dalam penyusunan MOU antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pengelolaan sekolah-sekolah di luar negeri pada tahun 2015; ketiga, Kementerian Agama harus segera mendorong lahirnya atase agama untuk sekolah-sekolah di luar negeri. segera mendorong lahirnya atase agama di kedutaan-kedutaan besar di negara-negara yang memiliki jumlah WNI yang cukup besar, agar pelayanan keagamaan dapat diberikan sesuai dengan amanat undang-undang.
Implementasi pendidikan agama di Luar Negeri tidak sejalan dengan teori psikososial Erik Erikson secara langsung. Erikson menekankan perkembangan identitas individu melalui serangkaian tahap psikososial, sedangkan Luar Negeri cenderung memiliki pendidikan agama yang lebih terfokus pada nilai-nilai tradisional dan moral, tanpa menekankan identitas pribadi sebagaimana dalam teori Erikson. Kesimpulannya, pendidikan agama di Luar Negeri lebih cenderung mencerminkan nilai-nilai kolektivitas daripada poin-poin spesifik dalam teori psikososial Erik Erikson.
Implementasi pendidikan agama di Luar Negeri dapat tidak sepenuhnya selaras dengan teori psikososial Erik Erikson. Teori Erikson menekankan perkembangan individu melalui delapan tahap psikososial, yang mencakup pencarian identitas dan pencapaian ego. Pendidikan agama di Luar Negeri mungkin lebih fokus pada nilai-nilai moral dan keberlanjutan tradisi daripada pengembangan identitas personal yang ditekankan oleh Erikson. Meskipun mungkin ada sejumput pertautan antara nilai-nilai agama dan tahapan tertentu dalam teori Erikson, integrasi keduanya tidak selalu sejalan.
Ananda kania s
1512300061
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H