Secara umum, ideologi yang dianut oleh negara menentukan praktik pendidikan agama. Ada beberapa model hubungan antara ideologi negara dan pendidikan agama. Model pertama adalah negara sekuler, yang melarang pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan membolehkan pendidikan agama di sekolah-sekolah swasta. Negara-negara dengan ideologi ini antara lain Jepang dan Amerika Serikat.Â
Model kedua adalah negara dengan ideologi sekuler tetapi mayoritas penduduknya menganut agama tertentu. Negara-negara seperti ini mengizinkan pendidikan agama di sekolah negeri dan swasta. Contoh negara dengan ideologi ini antara lain Jerman dan Austria.Â
Model ketiga adalah di mana ideologi nasional dimiliki oleh agama tertentu. Model ini mengharuskan pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum sekolah umum.Â
Dalam model ini, pendidikan agama yang dimaksud adalah pendidikan agama Islam. Contoh negara dengan model ini adalah Pakistan dan Malaysia. Model keempat adalah untuk negara-negara yang tidak sekuler dan juga tidak religius, seperti Indonesia. Model ini mengharuskan masuknya pendidikan agama dalam kurikulum sekolah negeri dan swasta. Namun, pendidikan agama ini tidak terbatas pada agama Islam saja, tetapi mencakup semua agama yang diakui di Indonesia.
Sekolah Indonesia di luar negeri umumnya dibangun oleh masyarakat Indonesia di luar negeri. Keberadaan sekolah ini didukung oleh pejabat kedutaan dan konsulat Indonesia di luar negeri dan kemudian secara resmi didukung oleh Pemerintah Indonesia di Jakarta melalui Kementerian yang mengurusi Pendidikan Nasional.Â
Dalam perkembangannya, sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri ini merekrut tenaga pendidik dan tenaga kependidikan melalui kedutaan besar mereka untuk menerapkan kurikulum mereka. Sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri umumnya juga menunjuk atau mendatangkan guru agama yang memberikan pelajaran agama bagi anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri.Â
Guru-guru agama ini membantu menentukan arah warna kurikulum pendidikan agama di sekolah. Melalui pengetahuan, pengalaman, pandangan dan aliran keagamaan yang mereka miliki, para guru agama menentukan warna dan jenis pandangan dan aliran keagamaan para murid. Masalahnya sampai saat ini adalah bahwa Kementerian Agama, badan yang bertanggung jawab atas pengelolaan pendidikan agama secara teknis dan substantif, belum pernah melakukan studi tentang pengelolaan pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia di luar negeri.
Dari pembahasan di atas, pertama dapat disimpulkan bahwa pengelolaan pendidikan agama di sekolah-sekolah asing tidak dikontrol oleh Kementerian Agama dalam hal pengajaran, perencanaan, pengawasan dan evaluasi. Karena pengadaan guru agama dilakukan oleh Badan Kerja Sekolah (BKS) di bawah Wakil Duta Besar RI di KBRI yang bersangkutan dengan sistem penunjukan, maka kompetensi guru agama bervariasi dan tidak memenuhi kualifikasi dan kompetensi yang ditentukan.Â
Hal ini berbeda dengan pola umum perekrutan guru dan kepala sekolah melalui seleksi oleh Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, pembelajaran agama di sekolah-sekolah di luar negeri belum optimal dan sumber belajar yang digunakan belum sesuai dengan standar Kementerian Agama.Â
Ketiga, corak pemahaman siswa terhadap agama sangat dipengaruhi oleh pemahaman guru agama terhadap perbandingan pengelolaan pendidikan agama antara sekolah Indonesia dan sekolah luar negeri. Pandangan keagamaan yang eksklusif, berprinsip dan transnasional dengan kecenderungan anti-demokrasi dan anti-nasionalis lebih mungkin masuk ke sekolah-sekolah asing.
Pertama, Kementerian Agama harus segera terlibat aktif dalam pengelolaan pendidikan agama dan menyusun pedoman pendidikan agama untuk sekolah-sekolah di luar negeri; kedua, Kementerian Agama harus segera berkoordinasi dan berpartisipasi dalam penyusunan MOU antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang pengelolaan sekolah-sekolah di luar negeri pada tahun 2015; ketiga, Kementerian Agama harus segera mendorong lahirnya atase agama untuk sekolah-sekolah di luar negeri. segera mendorong lahirnya atase agama di kedutaan-kedutaan besar di negara-negara yang memiliki jumlah WNI yang cukup besar, agar pelayanan keagamaan dapat diberikan sesuai dengan amanat undang-undang.