Tahun ini Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Komnas Perempuan dan Anak (Komnas PA) serta pihak-pihak terkait terus mengawal RUU PKS hingga sah pada tahun ini. Di balik pengawasan tersebut, RUU PKS masih mendapatkan komentar sebagai produk sekuralisme liberalisme yang bertentangan dengan syariah. Syariah dalam hal ini adalah ketetapan yang ada dalam khilafah Islamiyah. Geliat penolakan ini tidak menjadi halangan bagi para aktivis perempuan dan komnas PA untuk terus mendorong disahkannya RUU PKS, sebab apa yang telah diatur dalam RUU PKS telah sesuai dengan tujuan syariah yang disebut sebagai Maqashid Syariah.
Pengesahan RUU PKS penting, mengingat tingginya kekerasan seksual di Indonesia tanpa memandang gender dan usia. Nyatanya di antara 2700 kekerasan seksual terhadap seksual 52% adalah kejahatan seksual terhadap anak, menurut data Komnas Perempuan dan Anak di tahun 2020. Kemudian dalam catatan tahun 2020 Komnas Perempuan dan Anak menyebutkan terdapat 11.105 kasus KDRT, 531 kasus pencabulan, 715 kasus pemerkosaan dan 520 kasus pelecehan seksual. Komnas PA memiliki mitra kerja seperti Pengadilan Agama, Kapolsek, Lembaga Advokasi dan lembaga lainnya. Lembaga mitra tersebut mendapat formulir dari Komnas PA dan tingkat respon pengembalian sebesar 35%.
Maqashid syariah secara terminologi adalah  tujuan-tujuan dari syariah yakni membawa kemaslahatan dan menolak mafsadah. Tujuan-tujuan tersebut kemudian dikenal sebagai lima pokok kemaslahatan, yaitu Hifzu Diin atau memelihara agama, Hifzu Nafs atau memelihara jiwa, Hifzu  'aql atau memelihara akal, Hifzu Nasl atau memelihara keturunan serta Hifzu Maal atau memelihara harta.
Al-Ghazali mendefinisikan Maqashid syariah bukanlah sekedar menolak mafsadah dan mengusahakan kemaslahatan, sebab hal tersebut adalah keharusan setiap hidup. Menurut Al-Ghazali kemaslahatan adalah kemampuan makhluk untuk menghasilkan tujuan-tujuan mereka. Dalam buku Al-Ghazali yang berjudul Al-Mustafa Fil Ilmi Ushul Fiqh menyebutkan bahwa setiap keputusan yang mengabaikan atau bahkan menafikan ke lima pokok kemaslahatan adalah mafsadah sehingga menolaknya adalah sebuah kemaslahatan.
Harmonisasi RUU PKS dan Maqashid Syariah
RUU PKS berisi tentang penjagaan religiusitas dengan adanya pasal 27 ayat 2 poin C yang menyebutkan orang yang berkewajiban memenuhi hak korban kekerasan seksual dalam menerima penanganan adalah tokoh agama sehingga dalam hal ini menjaga agama telah terpenuhi mengingat Islam adalah agama yang sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
RUU PKS sebagaimana BAB VI tentang hak korban, keluarga korban dan saksi pada pasal 21 sampai pasal 41 mengatur penjagaan jiwa atau Hifz Nafs. Pasal 22 menyebutkan bahwa hak korban meliputi hak penanganan, perlindungan dan pemulihan. Sebagaimana kita tahu bahwa korban kekerasan atau pelecehan seksual akan mengalami guncangan psikologis yang luar biasa sehingga dalam RUU PKS akan melindungi hak tersebut.
Penjagaan akal dalam RUU PKS sangat jelas. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai lex Spesialis yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual. RUU PKS adalah sebuah bukti kemajuan berpikir. Bahwa "Bagaimana mungkin kegentingan kekerasan seksual dibiarkan begitu saja?" adalah sebuah pertanyaan untuk membentuk kerangka berpikir naskah akademik RUU PKS. Pasal 81 RUU PKS akan mengatur pengadaan Komisi Nasional Anti Kekerasan yang akan mengawasi kajian-kajian tentang kekerasan seksual.
Penjagaan keturunan atau Hifzu Nasl begitu tegas termaktub dalam pasal 28 RUU PKS bahwa pemulihan sebelum dan sesudah proses peradilan kekerasan seksual meliputi penyediaan fasilitas pendidikan bagi korban dan anak korban. Lucunya, terdengar suara sumbang bahwa RUU PKS ini seperti memfasilitasi kekerasan seksual di Indonesia. Bahwa sebenarnya dengan adanya RUU PKS saja dapat membungkam suara sumbang tersebut, dengan kegelisahan yang sama: Bagaimana mungkin kegentingan kekerasan seksual dibiarkan begitu saja?
Menjawab kegelisahan tersebut, Komnas perempuan mengusahakan Maqashid syariah perspektif Al-Ghazali bahwa putusan hakim yang menafikan lima pokok kemaslahatan adalah sebuah mafsadah. Premis tersebut berlaku sebaliknya dengan menjawab lima pokok kemaslahatan yang disebutkan Al-Ghazali dalam kitab Al-mustafa fil Ilmi Ushul Fiqh.Â
Adapun menjaga harta dibuktikan pasal 47 RUU PKS tentang ganti kerugian di antaranya adalah uang ganti kerugian materiil dan imaterial yang secara umum disebutkan dalam pasal 28 berupa pemberian bantuan transportasi, biaya hidup dan biaya lainnya yang diperlukan, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, serta pemberdayaan ekonomi. Upaya perlindungan tersebut dilakukan mengingat adanya pandangan negatif masyarakat terhadap korban kekerasan seksual sebagai orang yang kotor dan tersingkirkan di ruang publik sehingga berdampak kepada pekerjaan korban. Penyediaan kebutuhan lainnya berdasarkan hasil identifikasi Pendamping dan/atau PPT.
Ulasan di atas adalah sebuah analisis urgensi RUU PKS dengan Maqashid Syariah. Maqashid Syariah sebagai tujuan dari syariah dalam RUU ini akan terwujud dengan melakukan pengawasan setelah disahkannya menjadi undang-undang. Harmonisasi pokok kemaslahatan dan RUU PKS adalah sebuah teori sebelum disahkannya RUU PKS. Realitas di lapangan adalah tugas kita bersama untuk tidak terlepas dari lima pokok kemaslahatan tersebut, terutama pada penjagaan agama, atau Hifz Diin sebagai sesuatu yang mendasar dan Dhorurat dalam keadaan apa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H