Mohon tunggu...
Misbahul Anam
Misbahul Anam Mohon Tunggu... Guru - Guru swasta, belajar selamanya

Change Your Word, Change Your World

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terapi Jiwa: Menulis

4 Februari 2024   11:18 Diperbarui: 4 Februari 2024   11:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis menjadi sebuah pilihan dan terapi jiwa-jiwa yang sedang berdendang suka maupun duka. Aksara adalah sebuah energi yang tidak pernah mati. Saat penulis aksara sudah tidak berada di dunia, akan tetapi jejaknya masih dapat ditemukan melalui rangkaian aksara yang digoreskan. Aksara yang sarat makna terkandung ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan jiwa dan raga.

Menulis membuat hati dan pikiran menjadi ringan dan wajah menjadi cerah. Emosi yang meluap-luap di dada dapat disalurkan pelan-pelan dengan menulis. Menulis juga dapat mengonrtrol dinamika emosi; marah, kesal, kecewa, sedih, dan bahagia bisa tersapu oleh tarian pena dalam genggaman jemari.

Mengungkapkan perasaan dengan menulis mempunyai beberapa kelebihan, misalnya bisa dikoreksi, dihapus, maupun ditambah sebelum ditayangkan. Berbeda dengan mengungkapkan perasaan dengan berbicara, selain tak bisa dikontrol (saat emosi meluap) juga lebih banyak yang terucap daripada intisari dari yang hendak disampaikan. Apalagi bila salah ucapan akan sulit dikoreksi manakala lawan bicara sedang tidak baik-baik saja.

Tulisan menjadi sebuah bukti otentik, maka dari itu dalam menulis harus cemat dan penuh kehati-hatian. Demikian juga ungkapan perasaan lewat ucapan, pernyataan yang dilontarkan akan sulit ditarik, kecuali dengan permintaan maaf yang sungguh-sungguh di hadapan saksi. Mengungkapkan perasaan lewat tulisan dan lisan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing masing. Pada prinsipnya harus memperlakukan keduanya dengan penuh kehati-hatian.

Kisah inspiratif

Alkisah ada anak perempuan kecil yang dikarunia tubuh gendut, sebut saja panggilannya, Ndut. Sejak kecil banyak yang suka karena bentuk tubuhnya.

"Wah, lucunya. Gendut banget putrinya, Bu."

"Ya. Gemesin banget. Pengin nyubit pipi gembulnya."

Orang-orang pasti akan merasa gemas melihat anak chubby dan imut ini. Mereka mungkin akan mulai menowel, mencium, bahkan mencubit pipinya. Wajar bila ibu sangat bangga punya anak yang sangat menggemaskan ini.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Bagaikan pelangi yang hanya muncul sejenak sesaat hujan reda. Warna pelangipun segera memudar dan hilang saat mentari mulai bersinar. Demikian juga yang dialami Ndut. Ndut dianggap lucu dan menggemaskan hanya sampai kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah. Lepas masa itu, kelucuan Ndut berhenti total. Meski tetap gendut dan chubby, selain bapak dan ibunya, tak ada lagi yang menganggapnya lucu, apalagi menggemaskan.

"Hei, lihat, ada bagong tuh."

"Gentong, kok ada di sini, sih?"

"Ikan paus, ngapain kamu di sini? Balik ke laut sana."

Parah, kan? Bisa dibayangkan bagaimana seandainya kalian jadi Ndut. Betapa panas telinganya. Betapa hancur perasaannya. Betapa porak-porandanya kepercayaan dirinya. It's real. It happens to her. Semua olok-olok itu terjadi padanya. Tega mereka. Tak terpikirkan di benak mereka para pembully dari setiap ejekan yang diucapkan, ada selapis kepercaan diri yang robek. Lapis demi lapis kepercayaan Ndut kian lepas dari dirinya.

Kondisi seperti ini menjadikan rumah sebagai tempat ternyaman di dunia bagi Ndut. Di rumah tentu terhindar dari olok-olok dan ejekan orang lain. Mengurung diri di rumah bila tak ada hal sangat penting di luar, menjadi sebuah kebiasaan. Setiap pulang sekolah, rumah adalah benteng teraman dari bully orang luar.

Sampai pada usia remaja, Ndut tetap saja tidak mudah melepaskan rasa minder di dirinya. Kenyataan memang badannya tetap saja tebal ke samping. Dalam kesendiriannya di rumah, buku menjadi pelampiasan untuk mengusir rasa bosan. Kebetulan ayahnya seorang pegawai swasta di bidang pendidikan, sehingga sering membelikan Ndut berbagai macam buku; cerita, dongeng, sejarah, dan lain sebagainya. Ayahnya tahu masalah yang sedang dihadapi Ndut. Oleh sebab itu, tanpa banyak kata nasihat, bukulah yang paling pas buat menemani aktifitas di rumah selepas sekolah.

Kebiasaan membaca buku ini lambat laun, seiring bertambahnya usia, Ndut mulai mencoret-coret kertas sekedar menulis penyemangat diri, curhatan, penggalan kisah dalam buku, suasana batin yang ia alami, mulai ia goreskan pada lembar-lembar kertas. Kadang suasana hati sedang kurang nyaman, mulai ia adukan dalam tulisan, rasa ingin bersosialisasi dengan teman-tamannya, ia ungkapkan dengan tulisan, rasa iri dengan temmnya yang mulai mempunyai teman dekat, ia lukiskan dalam puisi sekenanya. Segala tentang yang ada dalam batin dan suasana di luar sana tidak pernah lepas mulai ia torehkan dalam kertas-kertas, meski tidak tersimpan dan kadang terbuang ke tempat sampah. Setidaknya sudah mengurangi rasa kurang percaya diri.

Usia kuliah merupakan tonggak kekuatan mulai mengembalikan kepercayaan diri. Baginya membaca dan menulis adalah aktivitas yang tepat saat tidak padat jam kuliah. Coretan dan goresan tinta semua hal yang ia torehkan di lembaran kertas, mulai beralih ke buku dengan lebih teratur dan tersimpan dengan baik. Di buku catatan, ya karena pada saat itu untuk menulis dengan laptop sepertinya mustahil, karena sekedar mulis atau mencetak lembaran saja harus ke warung internet atau ke rental komputer.

Salah satu ujian terberat saat jadi mahasiswa manakala ia mengerjakan skripsi. Melelahkan jiwa raga. Ia sempat mengalami kebuntuan panjang. Masalahnya datang silih berganti, datang dan pergi. Sampai akhirnya skripsi mengalami deadlock, macet toal, mandek di Bab I. Satu persatu sahabatnya lulus mulai meninggalkannya. Sedih, putus asa, dan merasa sendirian adalah perasaan keseharian. Tertatih, meratapi kemacetan skripsinya.

Tiap hari ia tuliskan kata-kata pengobar semangat di buku kecilnya. Bait-bait kalimat positif ia torehkan. Digoreskannya keyakinan bahwa satu hari nanti "aku pasti meraih predikat sarjana. Aku tak boleh menyerah, tak boleh putus asa". Itu kalimat yang sering ia tuliskan. Ia meyakinkan diri bahwa Allah itu sangat dekat, dan akan menolong hamba-Nya yang mau berjuang dan berusaha.

Saat itu ia hanya punya waktu tiga bulan. Relatif singkat untuk menyelesaikan sebuah skripsi. Namun ia yakin harus bisa, tidak boleh kena DO. Ia berjuang sekuat tenaga yang bisa diupayakan. Beberapa teman angkatannya akhirnya ada yang menyerah, kena DO. Dengan rasa syukur yang luar biasa, akhirnya pertolongan Allah ia dapatkan. Usaha yang sungguh-sungguh dijawab Allah dengan rahmat dan pertolongan-Nya, lolos!. Betapa bahagia, lega, dan terharu bercampur jadi satu menerima nikmat ini.

Ia baca lagi jejak tulisan-tulisannya di buku biru. Berhiaskan kalimat sederhana, kalimat biasa, namun sarat makna dan doa. Banyak kenangan dan peristiwa tertulis di sana. Terkadang ia tersenyum sendiri saat membacanya. Senyum bahagia, karena bisa melewati masa-masa sulit itu dan lolos dari ancaman DO. "Terima kasih ya Allah", gumamnya.

Sekarang ia menekuni kembali setelah sekian lama berlalu, ia gali kembali setelah tertimbun oleh tumpukan kepentingan dan kewajiban, hobi lamanya: menulis. Menulis telah menjadi sahabat dan pengobar semangat. Menulis adalah bagian dari hidupnya. Saat tak ada teman untuk berbagi, saat tak ada bahu untuk bersandar, cukup ia palingkan wajah ke buku kecilnya. Buku-buku itu adalah sahabat yang tek pernah sekalipun mengeluh ataupun membantah saat ribuan kata tersusun di dalamnya. Menulis telah banyak membantu untuk tetap tegar dan berjuang mewujudkan angan dan asa.

Akhirnya...

Ayo, mulai menulis! Bebaskan dirimu dari segala kemurungan dan kegelisahan. Tuangkanlah semua itu melalui tulisan. Jadilah saksi bahwa menulis itu membebaskan dan memunculkan solusi atas permasalahan. Tidak usah menunggu nanti. Kalu bisa cepat, mengapa memilih lambat? Ciptakan kebahagiaan sendiri. Menulislah maka kau akan bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun