Langit sore di Kota Jakarta selalu memancarkan keindahan jingga yang menenangkan. Josephine atau yang biasa dipanggil Epin, seorang mahasiswi perhotelan yang berusia 20 tahun, duduk di balkon kamar kost-nya yang sederhana, menikmati semilir angin dengan aroma hujan. Namun, kali ini bukan hanya suara hujan yang menemani kesendiriannya. Ada dia---Royce, seorang lelaki tampan dengan senyum teduh yang kini duduk di sampingnya.
Royce bukanlah manusia biasa. Epin tahu itu sejak pertama kali mereka bertemu. Sejak kecil, Epin memiliki kemampuan melihat hantu, sebuah anugerah sekaligus kutukan yang membuatnya sering merasa terasing. Tapi pertemuannya dengan Royce, yang menghuni rumah tua di dekat kampusnya, mengubah segalanya.
"Lo disini terus perasaan..." tanya Epin suatu hari, matanya menyipit memandang Royce.
"Eh bisa liat ya ternyata, kenalin gue Royce panggil Roy aja hahaha" jawab Royce sambil tersenyum.
"Bisa lah kocak. Nama gue Josephine tapi biasa dipanggil Epin. Eh pertanyaan gue belom dijawab nih" ucap Epin.
"Ahaha iya gue gabisa pergi, ada yang nahan gue di dunia ini" jawab Royce.
Hari-hari mereka pun diisi dengan pembicaraan ringan hingga diskusi mendalam tentang kehidupan, kematian, dan mimpi yang tak terselesaikan. Epin merasa nyaman bersama Royce, lebih dari yang pernah ia rasakan dengan manusia lain. Royce menjadi tempat dimana ia mencurahkan kegelisahan yang tak pernah ia ungkapkan.
Seiring waktu, hubungan mereka berkembang. Epin merasa jatuh cinta pada Royce, meski tahu bahwa cinta mereka tidak mungkin terwujud. Royce selalu hadir di sampingnya, memberikan dukungan dan kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dari manusia lain. Mereka berbagi cerita, tawa, dan bahkan air mata.
"Roy, coba lo beneran ada disini" bisik Epin suatu malam,
"Kita punya dunia kita sendiri, Pin. Gue disini terus kok, aman aja Pin hehehe..." Royce tersenyum.
Beberapa minggu kemudian, hidup Epin mulai terasa berat. Epin mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Kemampuan melihat hantu semakin kuat, tetapi hal itu juga membuatnya semakin kesepian. Mimpi buruk menghantuinya, dan ia mulai kehilangan fokus pada kuliahnya.
Sampai suatu hari, orang tua Epin menyarankan untuk menutup mata batinnya. Ibu Epin kenal dengan seorang paranormal yang dikenal mampu menutup mata batin seseorang selamanya. Epin pun mulai mempertimbangkan untuk mengambil langkah itu.
"Gue bakal kehilangan banyak hal, tapi gue juga tau gue gak bisa hidup begini terus." gumamnya kepada Royce di balkon.
"Pin... lo harus bisa milih, lo harus prioritasin diri lo sendiri. Gue bakal dukung lo terus kok Pin." jawab Royce dengan nada lembut. Namun, tatapan matanya mengisyaratkan luka yang dalam.
Hari itu tiba. Di sebuah ruangan kecil dengan lilin menyala, Epin menjalani ritual penutupan mata batin. Selama proses itu, air matanya tak berhenti mengalir. Ia tahu, keputusan ini berarti akhir dari pertemuannya dengan Royce.
Sebelum semuanya selesai, Royce muncul untuk terakhir kalinya. Wajahnya dipenuhi kehangatan yang menenangkan.
"Josephine, lo udah ngasi warna ke dunia gue yang kelabu," bisiknya. "Makasih banyak lo udah sayang sama gue, meskipun gue hanyalah bayangan."
Ritual selesai. Saat Epin membuka matanya, Royce sudah tidak ada. Dunia di sekitarnya kini terasa lebih sepi, lebih sunyi. Ia tak lagi merasakan kehadiran makhluk dari dunia lain.
Bertahun-tahun berlalu. Epin menjalani hidup normal, tanpa gangguan dari dunia yang tak terlihat. Tapi, di malam-malam tertentu, saat hujan turun, ia duduk di balkon dan menatap langit. Dalam hatinya, ia selalu berharap bahwa di suatu tempat, Royce masih menunggunya. Dan di balik bayangan awan, Epin merasakan kehangatan yang familiar, seakan Royce tak pernah benar-benar pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H