Mohon tunggu...
Chairil Anam
Chairil Anam Mohon Tunggu... -

life is a Journey

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kau Duniaku, A tribute to Indonesian Women

2 Agustus 2011   06:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Wanita adalah superhero nyata dalam hidup kita sehari. Mereka terlihat lemah, namun kenyataannya mereka mampu mengatasi goncangan hidup yang harus ditanggung. Dengan beban mental mulai dari melayani suami, membesarkan anak sampai harus mencari nafkah untuk membantu perekonomian keluarga.

Cerita pendek berikut akan saya persembahkan untuk para wanita yang tetap struggle dalam hidupnya. Laksana permata, meski terus dihimpit beban lebih dari kemampuan dan benturan-benturan yang meluluhlantakkan. Namun tetap konsisten bertahan dan makin menyempurnakan nilai dan kualitasnya. Jadilah permata wahai para wanita Indonesia.

***

"Bundaa... " teriak Rembulan, seorang anak SD kelas 4, berlari menuju Laila, single parent, ibunda Rembulan.

Laila duduk setengah berlutut. Membuka lebar kedua tangannya menyambut Rembulan yang ceria. "Bagaimana harimu, Sayang? Diajarin apa sama Bu Guru tadi?" Mendekap dan mencium Rembulan seakan tak bersua berbulan-bulan.

"Mmm, tadi ditanyain soal cita-cita Bun..." si anak kemudian mencari-cari sesuatu didalam tasnya. "Terus, diminta gambar pengen jadi apa nanti..."  selembar kertas dengan gambar bulatan didalamnya. "Nah, ini bundaaa..." si anak menunjukkan sebuah gambar. Bumi dalam genggaman kedua telapak tangan.

"Ada apa dengan Bumi sayang? kamu ingin jadi ahli bumi ya?"

"Bukan, bun..." sembari tersenyum pada si Ibu.

"Lalu apa sayang?" Laila berpikir, apa anaknya ingin jadi penyelamat lingkungan? atau apa sih.. Anak kecil suka aneh-aneh memang. Pikirnya.

"Cita-citaku jadi turis, Bun!"

"Ha? turis, sayang? Itu bukan pekerjaan, sayangku" diciumnya pipi Rembulan dengan penuh kegemasan, Rembulan mencoba menghindar kegemasan Laila.

"Tapi kan bisa kemana-mana di seluruh dunia, Bun. Dunia serasa dalam genggaman gitu, Bun.." Senyuman mengembang di bibir mungilnya.

"Huuuhhh..." hidung si anak dipencet-pencet. Gemas.

"Anakku, kamu akan keliling dunia, insyaAllah nak..."

"Hehehe... Bunda udah keliling dunia?"

"Belum sayangku, tapi aku sudah memiliki lebih dari apa yang berharga di dunia, kamu duniaku anakku" Menjadi orang tua tunggal untuk seorang anak semata wayang.

Bergumul dengan kerasnya dunia kerja. Mengimbangi dengan kelembutan pengasuhan anak. Tubuh Laila yang mungil tak mencerminkan sedikitpun semangat hidupnya. Apapun akan dia lakukan untuk membahagiakan Rembulan. Dia tidak lemah, dia kuat. Kuat hati. Dia tidak miskin, dia kaya. Kaya Hati. Berharap sang buah hati akan mendapat masa depan lebih cemerlang darinya.

"Hmmm, Bunda gombal, hahahaa" Rembulan membalas mencubit pipi Laila. Tawa ceria keduanya mengiringi langkah mereka yang kini berjalan pulang. Rembulan digendongnya.

"Bun, gimana ya biar aku bisa keliling dunia?" mencari tatapan mata si bunda, kepala Rembulan menghalang-halangi pandangan Laila.

"Hmm... Kamu harus tetap sholat dan berdoa. Minta diberi kemampuan oleh Allah untuk mencapai apa yang kamu pengen." yakin Laila.

'Karena citamu adalah harapan, harapan adalah doa, sampaikan harapanmu pada Tuhan, sementara Tuhan menyusun skenario terbaik untuk harapanmu, kamu tinggal berusaha dan tetap bersujud syukur atas hidupmu, paling tidak atas desahan nafasmu itu' Terngiang dalam telinga Laila. Ucapan Ibunya dulu kala saat dia masih muda. Ucapan yang menguatkannya menjalani masa-masa sulit dalam hidupnya. Untaian kata dari orang yang terus menjadi sumber inspirasinya, sebelum Rembulan datang menggantikan Ibunya yang mendahuluinya.

"Oh, gitu ya Bun, kalo gitu ayo sholat Bun..." Antusias. Tangan Rembulan mengguncang-guncangkan bahu Laila.

"Iya, nanti dirumah ya..." Laila menyakinkan Rembulan, melangkah dengan tenaga yang ada. Dalam dekapannya kini ada harta yang paling berharga baginya. Tuhan telah memberinya sesuatu yang ia butuhkan untuk mengarungi kegetiran hidup. Dia yakin, Tuhan Maha Baik, maka baiklah segala yang diberikan padanya.

Sementara Rembulan bermain-main dengan kubik kesukaannya. Laila masih teringat ucapan-ucapan Sang Ibundanya.

'Tak peduli betapa dunia mengacuhkanmu, karena dunia tak selamanya baik padamu, seperti malam berganti siang, siang berganti malam.' Ucapan Ibundanya yang masih teringat jelas membekas lekat dalam otaknya.

'Bila kau dapati dirimu di sisi gelap hidup, mintalah Tuhanmu jadi pencerahmu, agar jalanmu diterangi dengan cahaya petunjukNya. Bilakah kau disisi siang hidupmu, mintalah payung perlindungan dari kesilauan dunia. Agar gemerlap dunia tak melupakanmu untuk bersyukur.' Laila menghirup nafas dalam-dalam.

"Bunda, bundaa... Bagus ya itu" Rembulan menunjuk pada sebuah benda didalam toko. Lentera antik.

"Iya, bagus ya sayang, ya?" Laila berhenti sejenak untuk membiarkan Rembulan melihat pada lentera itu. Lalu kembali melangkah.

"Bundaa, kenapa musti ada matahari?"

"Biar bisa menyinari dunia sayang..."

"Lha bulan buat apa, Bun?"

"Biar bumi kita imbang sayang, buat penghias malam juga mungkin..." Senyum Laila. Dan ingatannya kembali menerawang kembali melintasi waktu dan peristiwa yang telah lalu.

'Mentari dicipta untuk menerangi dunia, maka jadilah kau layaknya mentari.' Laila menatap ke langit. Mencari sumber cahaya yang tersembunyi dibalik awan.

'Jika kau tak sanggup menjalani peran sebesar mentari, jadilah Bulan, yang mengindahkan malam yang sunyi, menerangi jalan para musafir malam.' Senyum Laila kembali mengembang.

'Bila masih tak sanggup jua, jadilah lentera dalam rumah gelap. meski tak mampu menyinari dunia yang luas. Setidaknya kau mampu menyinari orang sekitarmu.' Laila tersenyum, kedua pipinya makin membentuk lesungan kecil. Melangkah pasti menuju tempat yang paling nyaman bagi kebanyakan orang. Meski tak semewah hotel berbintang. Namun cukuplah kehangatan menjadi kemewahan didalamnya. Rumah.

Boleh jadi dunia menghantam kita, menghimpit kita, tapi tetaplah bertahan dan berjuang. Karena Tuhan tidak satu kali mendatangkan malam, malam takkan selamanya. Pun Siang tak sekali datang. Karena bumi berputar. Selalu ada terang usai hujan. Badai pasti berlalu kata Ibu Kartini. Selalu akan ada kemudahan setelah kesulitan, begitu yang dijanjikanNya. Maka tak ada alasan bagi kita untuk menyerah pada kesulitan. Karena sebagian besar yang perlu kita lakukan hanya menyelesaikan ujian, dan bersyukur atas kenikmatan.

*******

Terima kasih untuk Wanita Indonesia, atas inspirasinya .

*****

Lagu ini menemani saya menulis cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun