Dibanding tahun-tahun sebelumnya, dapat dikatakan tahun 2016 menjadi yang paling berkesan di dunia perbulutangkisan Indonesia. Bagaimana tidak, gagalnya Indonesia meraih medali emas empat tahun silam di olimpiade London 2012 dibayar lunas oleh pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad dan Liliana Natsir di olimpiade Rio 2016 kali ini. Tanpa kehilangan satu set pun dari babak penyisihan grup, pasangan yang kerap disapa Owi/Butet itu mempersembahkan kado terindah untuk Indonesia yaitu medali emas tepat pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 dengan mengalahkan pasangan Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying dalam dua set langsung dengan skor 21-14 dan 21-12.
Bukan hanya dari ajang empat tahunan tersebut, perbulutangkisan kita juga mendapat rapor yang cukup memuaskan dari ajang Superseries tahunan BWF. Pada tahun ini Indonesia berhasil meraih 9 gelar juara dari total 13 ajang superseries yang diselenggarakan BWF yaitu mulai dari All England Superseries Premier sampai dengan World Superseries Master Final di Dubai yang baru saja berakhir dua pekan lalu. Â Gelar juara terbanyak masih menjadi milik China dengan total 17 gelar juara, sedangkan Indonesia dan Jepang berada di bawahnya dengan 9 gelar juara. Pencapaian Indonesia tersebut patut disyukuri karena meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya meraih 4 gelar juara. Ganda putra dan ganda campuran masih menjadi andalan meraih gelar sementara di sektor tunggal kondisi tidak urung membaik.
Dapat dikatakan tahun 2016 ini menjadi mimpi buruk bagi cabang tunggal putra Indonesia. Bayangkan, tidak ada satupun pemain tunggal putra kita yang menempati peringkat 20 dunia di akhir tahun, rangking tertinggi hanya milik pemain senior Tommy Sugiarto yang berperingkat 21 dunia. Praktis dari ajang Superseries dan Grand Prix sepanjang tahun ini, hanya satu gelar yang dapat diraih yaitu Singapore Superseries melalui pemain veteran Sony Dwi Kuncoro yang notabennya sudah bukan pemain pelatnas. Hasil tersebut tentunya tidak dapat terlepas dari penampilan pemain-pemain muda harapan seperti Ihsan Mulana Mustofa dan Antoni Sinisuka Ginting yang masih belum bisa lepas dari masalah inkonsistensi, sementara Jonathan Christie yang banyak dirundung cedera.
Tidak jauh berbeda dari tunggal putra, pada cabang tunggal putri Lindaweni Fanetri yang bermasalah dengan cederanya membuat tidak ada satu gelar pun dapat diraih sektor ganda putri dari ajang Superseries maupun Grand Prix. Kini Lindaweni yang telah memutuskan pensiun dari bulu tangkis membuat tumpuan harapan tunggal putri kita pada pemain-pemain muda seperti Fitriani, Hana Ramadini dan Greogia Mariska. Khusus untuk Fitriani dan Hana Ramadini, pengalaman yang mereka ikuti di ajang Grand Prix tahun ini diharapkan dapat memupuk mental dan percaya diri berlaga di tahun depan. Dengan terpilihnya Susi Susanti sebagai Ketua Pembinaan dan Prestasi (Binpres) PBSI periode 2016-2020 diharapkan cabang ini dapat lebih berbicara banyak di kompetisi BWF tahun depan.
Cabang ganda putra masih menjadi andalan meraih gelar di ajang Superseries maupun Grand Prix, terbukti 3 gelar superseries dan 5 gelar grand prix diraih tahun ini. Berakhirnya duet legendaris Hendra Setiawan/Muhammad Ahsan dengan ditandai keluarnya Hendra Setiawan dari pelatnas PBSI di akhir tahun tidak terlalu menjadi masalah bagi PBSI, pasalnya pasangan ganda putra junior mereka seperti Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo tengah naik daun dengan menyabet tiga gelar superseries tahun ini dan berhasil menembus peringkat dua dunia di akhir tahun. Regenerasi pemain pada cabang ini terbilang cukup sukses dengan juga munculnya nama-nama seperti Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto sebagai pemain muda masa depan dimana tahun ini mereka berhasil meraih juara di Chinese Open Taipei Masters GP.
Tahun ini, cabang ganda putri masih mengandalkan pasangan senior Greysia Polii/Nitha Krishinda Maheswari yang sampai akhir tahun masih berada di peringkat 5 dunia. Secara keseluruhan penampilan di sektor ganda putri tidak begitu mengecewakan, satu gelar Malaysia Open Superseries Premier diraih Greysia/Nitha dan gelar Vietnam Open GP berhasil diraih Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri. Nitha yang sedang dalam masa pemulihan setelah operasi menjadikan junior mereka memiliki kesempatan lebih untuk menunjukkan kemampuannya. Sejauh ini ada tiga pasangan ganda putri yang sedang menanjak penampilannya dari awal tahun dan mampu menembus peringkat 20 dunia di akhir tahun yaitu Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri (15), Anggia Shitta/Mahadewi Istirani (16) dan Tiara Rosalia/Riski Amelia (18).
Ganda campuran mengukir prestasi meraih medali emas di ajang prestisius yaitu Olimpiade Rio 2016 dan juga menjadi cabang bulu tangkis yang paling banyak menyumbang gelar superseries di tahun ini. Total 3 gelar superseries mampu diraih pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan satu gelar All England Super Series Premier yang diraih Praveen Jordan/Debby Susanto. Pasangan junior mereka yaitu Ronal Alexander/Melati Daeva juga berhasil mempersembahkan satu gelar dari Indonesia Master GPG, tetapi pasangan ini masih belum bisa berbicara banyak di level superseries.
Menilik dari hasil yang dicapai perbulutangkisan pada tahun ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang berat untuk kepengurusan PBSI periode 2016-2020 untuk melanjutkan tren positif cabang-cabang andalan dan memperbaiki cabang-cabang yang prestasinya menurun.Â
Lantas apa saja yang menjadi PR besar PBSI?Â
Berikut merupakan beberapa PR besar PBSI dilihat dari kacamata pecinta bulu tangkis nasional.
> Percepatan Regenerasi Sektor Junior
Regenerasi pada pemain pelatnas sebenarnya sudah berjalan, tetapi masih terkesan lambat dan belum maksimal. PBSI dirasa perlu belajar dari regenerasi yang telah dilakukan oleh China atau Jepang. Di tahun ini kita pasti dikejutkan oleh kemunculan pemain-pemain muda China seperti Zheng Siwei, Chen Qinchen, Jia Yifan di usia yang baru 19 tahun dapat mengobrak-abrik dominasi pemain-pemain senior di ajang superseries. Di tahun lalu mereka adalah juara di BWF World Junior Championships 2015 dan di tahun depan tentunya akan ikut menjadi unggulan untuk meraih gelar di BWF World Championships. Jepang juga tak kalah dalam regenerasi, pemain top mereka Nozomi Okuhara dan Akane Yamaguchi juga merupakan jebolan BWF World Junior Championships. Ratchanok Intanon yang merupakan tunggal putri andalan Thailand juga merupakan juara di BWF World Junior Championships tiga tahun beruntun.
Melihat fakta tersebut tentunya PBSI sekarang dituntut harus lebih berfokus untuk memajukan sektor junior dan mencari pemain berbakat sedini mungkin. Keputusan Susi Susanti untuk menggalakkan kembali Pelatnas Pratama tentunya menjadi salah satu usaha PBSI untuk mempercepat regenerasi pebulutangkis nasional. Tentunya program tersebut harus dibarengi dengan roadmap, sarana prasarana, profesionalitas pengelolaan dan pemandu bakat yang berkualitas sehingga nantinya diharapkan dapat menjaring talenta-talenta berbakat dan setelah menjalani pelatnas menjadi pemain matang dan siap berlaga di BWF World Junior Championships.
> Evaluasi Metode Latihan
Kualitas pebulutangkis bukan hanya dilihat dari sisi teknik, bila dibandingkan dengan negara-negara tradisi bulu tangkis lainnya teknik yang dimiliki pemain-pemain kita tidak berbeda jauh, masalah ketahanan fisik masih menjadi hal yang sering dihadapi pemain kita apalagi di sektor tunggal yang memerlukan ketahanan fisik yang luar biasa. Tentunya PBSI harus mencari metode pelatihan yang paling tepat agar potensi yang dimiliki oleh atlet kita dapat maksimal dikeluarkan. Dari tahun ke tahun harus ada evolusi proses pelatihan di PBSI agar tidak lagi konvensional. Meningkatnya performa negara-negara seperti Jepang, India dan Thailand beberapa tahun ini tidak dapat terlepas dari metode latihan yang mereka gunakan sangat berkualitas bahkan beberapa sudah latihan menggunakan bantuan teknologi elektronik.
> Kualitas Pelatih
Indonesia memiliki segudang pelatih berkualitas dan berpengalaman, pelatih yang mempunyai trek record bagus dapat dipertahankan dan mencari pelatih berkualitas untuk cabang-cabang yang lemah. Â Lagi-lagi bukan hanya dari sisi teknik, seorang pelatih harus dapat menjadi master motivator sang pemain saat berada di dalam dan luar lapangan, dalam hal ini seorang pelatih harus dibekali oleh ilmu psikologi sehingga dapat memahami anak didiknya. Tentu kita semua masih ingat pengakuan Owi/Butet yang berkonsultasi ke psikolog sebelum berlaga di Olimpiade Rio 2016. Pertanyaannya adalah, mengapa hanya saat akan berlaga di Olimpiade? Seharusnya ada seorang dokter psikolog yang dimiliki PBSI untuk menjaga psikologi pemain sebelum dan sesudah bertanding.
>Pemilihan Pemain
Diharapkan di tahun depan pemain-pemain muda mendapat kepercayaan dan kesempatan lebih dari PBSI untuk menunjukkan kemampuannya. Daftar pemain yang diturunkan dalam suatu ajang Superseries atau Grand Prix pun harus benar-benar yang mempunyai kesiapan bertanding. Pelatih yang mengusulkan sang pemain juga harus professional tidak boleh ada nepotisme dalam pemilihan pemain yang diturunkan.
Yang tidak kalah penting adalah dukungan dari pemerintah dan seluruh masyarakat agar bulu tangkis lebih berprestasi di masa depan.Â
Kenapa harus bulu tangkis? Karena dengan bulu tangkis bendera nasional kita dapat berkibar di atas negara-negara lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H