Mohon tunggu...
Artha Ikrar Satryawan
Artha Ikrar Satryawan Mohon Tunggu... Lainnya - analog ph. bookworm. (copy)typist.

Écrire c'est vivre... •°

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Naik Kereta Api Indonesia: Dahulu, Kini, Nanti

31 Oktober 2024   03:39 Diperbarui: 31 Oktober 2024   07:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Juk, gejak-gejuk, gejak-gejuk

Kereta berangkat

Juk, gejak-gejuk, gejak-gejuk

Hatiku gembira

Sebagaimana sepenggal lirik Kereta Malam yang saya nukil di atas, demikianlah suasana batin ini bilamana "dipaksa" bertutur kata ihwal kereta. Tentu saja yang dimaksud adalah Kereta Api Indonesia (KAI).

Dan, sebagai cerita, saya akan menuturkannya dari perspektif anak-anak. Mengapa? Sahaja belaka. Sebab, dunia anak-anak adalah alam kehidupan yang berlimpah kepolosan. Ia, kiranya belum terkontaminasi dengan apa dan siapa pun yang bisa membuat tulisan--yang dikarang dengan ria tadi--menjadi condong. Entah ke Ignatius Jonan, Edi Sukmoro, Didiek Hartantyo. Sebagai anak-anak, saya tahunya KAI bisa terpelesat ihwal kemajuannya.

Dahulu

Naik kereta api, tut-tut-tut... Siapa hendak turut?

Naik kereta kelas ekonomi bagi seorang anak kelahiran 1980-an sungguh menyiksa. Karcis mini seukuran-mirip kartu domino itu acap diperoleh dengan untung-untungan. Apabila mau mudah, banyak calo, liar menjajakan. Namun, anak sekecil ini, dari kedua orang tuanya, sudah tahu betul betapa itu bukan aksi terpuji. Berdiri dalam antrean yang mengular, meski melelahkan, sejatinya bahagia.

Tiket diperoleh, urusan belumlah pungkas. Bermain-main di area peron dengan adik semata wayang, menjadi pengusir kantuk dan kebosanan. Bukan apa-apa, kerap kali kereta datang telat. Tepatnya, sangat terlambat.

Kereta malam yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Kantuk pun gegas sirna. Kedua anak kecil ini memasuki gerbongnya dalam pengawasan ayah-ibu. Duduk di kursi sesuai yang tertera di tiket mereka.

Keluarga kecil ini sama dalam asa dan doa cemas: kereta segeralah pergi. Mesin mulai dinyalakan. Seakan menggetarkan sekujur tubuh yang lelah. Peluit panjang pun disiulkan. Kedua anak kecil ini saling bertatapan, kemudian beralih pandang ke ayah-ibu. Terlemparlah senyum semringah. Dari lambat hingga pada kecepatan yang konstan, kereta meninggalkan stasiun keberangkatan: entah Jatinegara, Pasar Senen, atau Gambir.

Dahulu, kedua anak ini, khususnya yang sulung, bisa hafal stasiun-stasiun yang dilewati dan/atau disinggahi sejenak oleh kereta yang ditumpangi. Makan malam di kereta dengan bekal, masakan ibu, terasa eco-nikmatnya. Bekal tandas. Perut kedua anak kecil ini menggembung. Susu cokelat kotak menyusul, kian mencairkan suasana kenyang. Syahdu. Beberapa helai koran bekas yang disiapkan ayah pun digelar. Ditata sedemikian rupa. Kedua anak kecil berpakaian serba panjang plus berkaus kaki ini pulas.

Semilir angin dari kisi-kisi jendela kaca yang getas, kolong-kolong kereta, dari mana pun, membuat keduanya tidur sampai subuh. Lantas bangun, tanpa alarm artifisial. Mengucek-mengucek mata. Dibantu ayah atau ibu menuju toilet dengan keawasan penuh demi tak menginjak anggota tubuh penumpang lainnya yang terpaksa tidur mengemper di sepanjang gerbong. Gegas balik ke kursi mereka. Menatap keluar dari balik jendela. Tak sabar memandang hamparan sawah, ditingkah cahaya mentari yang menyusup dari balik kabut tipis yang kian lama raib dari pandangan. Orang-orang tani sudah berkubang dalam lumpur sawah, menyebar benih, memupuk, atau sekadar mengecek kondisi tanaman padi mereka. Sementara, langit pagi kian terang. Beberapa warga lokal (anak sekolah, buruh, kantoran, ibu-ibu yang hendak ke pasar, bakul ini-bakul itu) kedapatan menanti dengan sabar dari balik palang-palang di perlintasan sebidang.

Bahkan, sering jua keluarga kecil ini mendapati senyum pagi atau lambaian dari banyak di antara mereka. Meski, pernah, di suatu masa, ayah-ibu mewanti-wanti kami guna berhati-hati kala marak kasus pelemparan batu.

Senja berganti malam. Malam bertukar pagi. Hamparan sawah berlalu. Kereta mulai mengangkangi Sungai Progo. Musim penghujan, meluap. Musim kemarau datang, banyak area tampak mengering. Kereta melambat. Makin melambat hingga benar-benar setop. Tahu-tahu, perjalanan panjang, melelahkan, tetapi sekaligus menyenangkan ini, mesti usai. Kereta malam beristirahat di Stasiun Lempuyangan. Atau, di Stasiun "Tugu" Yogyakarta.

Anak kecil ini beranjak besar; sudah duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Saban musim libur sekolah tiba, anak lelaki ini berkereta dengan kakeknya. Mengunjungi nenek di Yogyakarta. Kakek adalah seorang veteran. Bayangkan, baginya, melepas rindu kepada istri dan beberapa anak serta cucu kandungnya yang tinggal di udik, ibarat melunasi utang. Abai cuaca. Tak menghiraukan apatah kereta begitu padatnya dijejali lautan massa.

Anak kecil ini (demikian ayah-ibu) percaya total. Anak lelaki, sulung mereka, sentosa dalam pengawasan sang kakek. Berbekal masakan ibu, tak lupa susu cokelat kotak, anak dan kakek berkereta malam.

Berhubung kali ini bepergian dengan veteran, anak ini beroleh privilese. Naik kereta gratis, tetapi tanpa tiket. Artinya, tanpa kursi. Jadi, bebas duduk di mana pun selagi kursi itu kebetulan ada yang kosong. Kalau penuh? Duduk menyempil di antara dua kursi, pun jadi. Persoalan lain menyeruak, "kursi-kursi spesial" itu ternyata adalah tempat istirahat pramugara/i kereta. Si anak kecil ini ingat betul. Suatu malam, seorang pramugari membangunkan kakek. Kakek paham betul, artinya "kursi spesial" itu bukan "hak" kami lagi. Dengan lembut, kakek membangunkanku. Menggendongku. Kami pindah ke gerbong makan. Melanjutkan tidur.

Kini

Itu dahulu. Silam. Kala gerbong kereta dihuni dengan kepulan rokok, sesesak pedagang dan pengamen yang betul-betul mencari sesuap nasi, tetapi banyak jua yang keluar batas.

Aroma beraneka. Banjir peluh. Barang pindah kepemilikan selagi lengah. Tubuh-tubuh manusia yang lelah. Anggota tubuh bersenggolan bahkan, bukan tak mungkin, kaki dengan mudahnya terinjak/terlindas orang lain.

Tubuh-tubuh kereta yang menua. Kebersihan yang jauh panggang dari api, entah di tubuh kereta itu sendiri, maupun di stasiun-stasiun besar sekalipun. Jadwal-jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta yang ngaret; tersendat. Kerumunan penumpang, termasuk di Kereta Rel Listrik (KRL). Entah sudah berapa nyawa celaka, terbujur sia-sia, gegara jatuh, atau tersengat listrik. Itu masih ditambah maraknya kasus kecelakaan kereta.

Itu dahulu. Silam. Di bawah kepemimpinan Jonan, dilanjutkan Sukmoro, KAI bersalin rupa 180. Reformasi adalah keniscayaan. Yang buruk sirna. Wajah KAI berubah drastis. Anak kecil ini nyaris pangling.

Sementara, di bawah kepemimpinan Hartantyo, badai pagebluk terlampaui. Bahkan, anak ini penasaran, apa rasanya kereta berkecepatan 350 km/jam. Atau, mengisi tumblernya yang kosong dengan air bening yang tersaji. Rasanya selimut yang wangi, alih-alih koran bekas menjadi lapik tidurnya. Kereta kelas ekonomi kok ada New Generation-nya, kayak Gen Z saja. Rasa penasaran yang bakal menetap bilamana belum dialami sendiri.

Bisa mandi tenang sebab barang bawaan aman di loker penyimpanan. Didiek Hartantyo "ada-ada saja" inovasinya bagi perkeretaapian Indonesia. Itu yang ada dalam imaji si anak atas pengalaman ulang-alik berkereta api.

Nanti

Nun. Nanti. Entah seperti apa gerangan KAI. Setiap pemimpin ada eranya, setiap masa ada pemimpinnya. Siapa pun ia, Hartantyo sudah mendidik, betapa visi klir dan kuat, diiringi konsistensi, bisa menerobos "kegelapan".

Asal tak jemawa, dengan kerendahan hati sedia mendengarkan pelbagai kritik konstruktif demi kemajuan, PT KAI kiranya bisa kontinu membuat "adaptif, solutif, kolaboratif untuk Indonesia" bukan slogan belaka.

Dan, segala kemajuan tersebut tentu saja tiada bisa berjalan seorang diri. Ia mesti beroleh dukungan morel dan cinta para pengguna layanannya, termasuk dari anak kecil yang kini enggak malu-malu lagi menyoal ci(n)ta.

Kereta ini tak gentar, terus melaju, aku (tak) takut...

Salam,

St. Bogor--St. Bekasi, 30 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun