Kereta malam yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Kantuk pun gegas sirna. Kedua anak kecil ini memasuki gerbongnya dalam pengawasan ayah-ibu. Duduk di kursi sesuai yang tertera di tiket mereka.
Keluarga kecil ini sama dalam asa dan doa cemas: kereta segeralah pergi. Mesin mulai dinyalakan. Seakan menggetarkan sekujur tubuh yang lelah. Peluit panjang pun disiulkan. Kedua anak kecil ini saling bertatapan, kemudian beralih pandang ke ayah-ibu. Terlemparlah senyum semringah. Dari lambat hingga pada kecepatan yang konstan, kereta meninggalkan stasiun keberangkatan: entah Jatinegara, Pasar Senen, atau Gambir.
Dahulu, kedua anak ini, khususnya yang sulung, bisa hafal stasiun-stasiun yang dilewati dan/atau disinggahi sejenak oleh kereta yang ditumpangi. Makan malam di kereta dengan bekal, masakan ibu, terasa eco-nikmatnya. Bekal tandas. Perut kedua anak kecil ini menggembung. Susu cokelat kotak menyusul, kian mencairkan suasana kenyang. Syahdu. Beberapa helai koran bekas yang disiapkan ayah pun digelar. Ditata sedemikian rupa. Kedua anak kecil berpakaian serba panjang plus berkaus kaki ini pulas.
Semilir angin dari kisi-kisi jendela kaca yang getas, kolong-kolong kereta, dari mana pun, membuat keduanya tidur sampai subuh. Lantas bangun, tanpa alarm artifisial. Mengucek-mengucek mata. Dibantu ayah atau ibu menuju toilet dengan keawasan penuh demi tak menginjak anggota tubuh penumpang lainnya yang terpaksa tidur mengemper di sepanjang gerbong. Gegas balik ke kursi mereka. Menatap keluar dari balik jendela. Tak sabar memandang hamparan sawah, ditingkah cahaya mentari yang menyusup dari balik kabut tipis yang kian lama raib dari pandangan. Orang-orang tani sudah berkubang dalam lumpur sawah, menyebar benih, memupuk, atau sekadar mengecek kondisi tanaman padi mereka. Sementara, langit pagi kian terang. Beberapa warga lokal (anak sekolah, buruh, kantoran, ibu-ibu yang hendak ke pasar, bakul ini-bakul itu) kedapatan menanti dengan sabar dari balik palang-palang di perlintasan sebidang.
Bahkan, sering jua keluarga kecil ini mendapati senyum pagi atau lambaian dari banyak di antara mereka. Meski, pernah, di suatu masa, ayah-ibu mewanti-wanti kami guna berhati-hati kala marak kasus pelemparan batu.
Senja berganti malam. Malam bertukar pagi. Hamparan sawah berlalu. Kereta mulai mengangkangi Sungai Progo. Musim penghujan, meluap. Musim kemarau datang, banyak area tampak mengering. Kereta melambat. Makin melambat hingga benar-benar setop. Tahu-tahu, perjalanan panjang, melelahkan, tetapi sekaligus menyenangkan ini, mesti usai. Kereta malam beristirahat di Stasiun Lempuyangan. Atau, di Stasiun "Tugu" Yogyakarta.
Anak kecil ini beranjak besar; sudah duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Saban musim libur sekolah tiba, anak lelaki ini berkereta dengan kakeknya. Mengunjungi nenek di Yogyakarta. Kakek adalah seorang veteran. Bayangkan, baginya, melepas rindu kepada istri dan beberapa anak serta cucu kandungnya yang tinggal di udik, ibarat melunasi utang. Abai cuaca. Tak menghiraukan apatah kereta begitu padatnya dijejali lautan massa.
Anak kecil ini (demikian ayah-ibu) percaya total. Anak lelaki, sulung mereka, sentosa dalam pengawasan sang kakek. Berbekal masakan ibu, tak lupa susu cokelat kotak, anak dan kakek berkereta malam.
Berhubung kali ini bepergian dengan veteran, anak ini beroleh privilese. Naik kereta gratis, tetapi tanpa tiket. Artinya, tanpa kursi. Jadi, bebas duduk di mana pun selagi kursi itu kebetulan ada yang kosong. Kalau penuh? Duduk menyempil di antara dua kursi, pun jadi. Persoalan lain menyeruak, "kursi-kursi spesial" itu ternyata adalah tempat istirahat pramugara/i kereta. Si anak kecil ini ingat betul. Suatu malam, seorang pramugari membangunkan kakek. Kakek paham betul, artinya "kursi spesial" itu bukan "hak" kami lagi. Dengan lembut, kakek membangunkanku. Menggendongku. Kami pindah ke gerbong makan. Melanjutkan tidur.
Kini
Itu dahulu. Silam. Kala gerbong kereta dihuni dengan kepulan rokok, sesesak pedagang dan pengamen yang betul-betul mencari sesuap nasi, tetapi banyak jua yang keluar batas.