1. Penghapusan anggaran gaji honorer dilakukan untuk anggaran 2016
2. Anggaran tahun 2016 disusun oleh Pj Bupati (masa pilkada)
3. Sempat muncul wacana stop honorer dari elit politik (termasuk oknum DPRD) waktu anggaran 2016 dibahas
4. Terjadi politik bumi hanguskan tenaga honorer tanpa mempertimbangkan fakta bahwa Simalungun kekurangan tenaga pendidik, dan legislatif waktu itu adem-adem saja.
“Sekadar saran nih, buat kankawan guru honor : teruslah berjuang, semangat jangan kendur. Tapi, hati-hati sama par – politik, ditunggangi nanti kelenmacam kuda. Senang di dia, derita pula di kelen nanti”
Ombudsman apa Ombus-ombus?
Selesai se babak, kita masuk babak baru yo, eak eak eak. Jadi, cem yang udah awak bilangin di atas tadi, gara-gara penggiringan-penggiringan opini yang terus dimaenkan dalang yang bukan dalangnya wayang itu, banyaklah reaksi yang muncul. Ada yang bijak dan tetap objektif, tapi tak sedikit pula yang tendensius, bahkan asal bunyi aja macam ….. (isi sendiri).
Parahnya, biar kelen tahu, selevel ombudsman pun rupanya udah tak cuceng lagi menyikapi persoalan ini. Setahu awak, ‘terpelesetnya’ Ombudsman ini, mulanya waktu perwakilan Ombudsman Sumut, waktu itu kalau tak silap namanya Abyadi Siregar menerima laporan soal guru honor ini di hotel wak De eL, hotel Sapadia, minggu lalu hari kamis sore.
Singkat cerita, setelah dengar cerita dari beberapa guru honorer (sepihak ya, karena cerita orang Dinas Pendidikan kan tak di dengar dia), orang Ombudsman itu langsung mengeluarkan statemen, yang awak nilai kesannya men-judge. “Kok jahat kali Bupati JR Saragih itu? Kenapa jahat sekali DPRD nya?,” kata dia waktu itu . (Baca: Jahat kali JR Saragih itu)
Awak jadi mikir; segampang itu Ombudsman mengeluarkan pernyataan? Kayak menghakimi pula itu! (Woi, itu Ombudsman apa ombus-ombus?) Setelah awak kaji-kaji pun, kek nya, nggak ada lah alasan untuk membenarkan orang Ombudsman yang asal ngoceh itu. Yah, awak memang tak pande-pande kali, tapi awak tahu, ada aturan yang harus dipatuhi mereka.