Mohon tunggu...
Budi Anak Marhaen
Budi Anak Marhaen Mohon Tunggu... -

Karena hidup itu harus merawat dan kehidupan musti dibagi enaknya untuk sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hati-hati, Elektabilitas Jokowi Anjlok karena Dua Menteri Ini

22 Desember 2017   08:45 Diperbarui: 22 Desember 2017   10:21 1905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ekbis.sindonews.com

Hati-Hati, Elektabilitas Jokowi Anjlok Karena Dua Menteri Ini

Gatot Nurmantio (GN) kena kepret Jokowi. Jenderal bintang empat ini akhirnya diberhentikan dari jabatan Panglima TNI lima bulan sebelum masa pensiunnya. Terlihat jelas GN segera kehilangan "magnet"-nya begitu dicopot Jokowi. Tidak juga tampak gerakan-gerakan politik kelompok Islam yang marah atas pencopotan Jenderal bintang empat ini, seperti ditakutkan sekalangan orang.

Tentara tidak boleh berpolitik, dan harus selalu loyal kepada Presiden sebagai Simbol Negara. Langkah politik yang bagus dari Jokowi, untuk menjegal GN. Rakyat pun terlihat mendukung, setidaknya dengan tidak melakukan gerakan politik membela GN.

Namun anehnya elektabilitas Jokowi malah terus menurun. Elektabilitas Jokowi kabarnya sebenarnya sudah jatuh hingga ke level 30-an persen. Bila tidak dibantu oleh "kerja, kerja, kerja":  kampanye bagi-bagi sepeda, buku, kaos, dll dalam setiap kunjungan ke daerah, mungkin angka elektabilitas juragan meubel asal Solo ini lebih rendah lagi ke level 20-an persen.

Faktor utama yang mengurangi elektabilitas Jokowi adalah sebagian menteri Jokowi lebih merupakan liabliitas daripada aset. Ada beberapa menteri yang tidak efisien bekerja. Pertama adalah Menteri BUMN, sang "Lady in Waiting"(seperti dalam sejarah Kerajaan Inggris Abad Pertengahan). Kedua adalah Menteri Keuangan, sang capres wannabe.

Menteri BUMN lebih cocok menjadi Kepala KSP. Atau di luar saja mengoperasikan pengumpulan dana pilpres untuk Jokowi, tapi dengan tetap membiayai kubu oposisi. Masalahnya hubungan Menteri BUMN yang tidak baik dengan DPR menimbulkan persepsi negatif bagi internasional (termasuk investor). Mana ada di negara demokratis manapun, Menteri tidak diterima rapat oleh DPR, perwakilan rakyat selama 2 tahun?

Rakyat yang memilih anggota DPR adalah rakyat yang sama juga yang memilih Presiden. Wajar jadinya bila akibat keberadaan Menteri BUMN, elektabilitas Jokowi terus melorot.

Faktanya memang kinerja Menteri BUMN terhadap sektor yang dipimpinnya juga tidak istimewa, bahkan cenderung memburuk.  BUMN-BUMN konstruksi yang mendapatkan seluruh konsesi pembangunan infrastruktur malah terlihat harga sahamnya sudah anjlok semua sejak 2014. Garuda sebagai perusahaan yang paling kita banggakan, malah merugi dua tahun terakhir akibat salah kebijakan pembelian pesawat. Holding pun akan percuma saja bila nantinya malah menimbulkan birokrasi baru (malah menaikkan cost).

Sekarang kita ke Menteri Keuangan. Menteri Keuangan Jokowi saat ini merupakan generasi terakhir dari pengusung mazhab neoliberalisme di Indonesia selama hampir setengah abad (hanya diselingi mazhab konstitusi Gus Dur selama 21 bulan). Guru dan Mahaguru si Menteri Keuangan berasal dari kelompok yang sama  yang menggulingkan pemerintahan Bung Karno 50 tahun yang lalu.

Kelompok yang dijuluki Mafia Berkeley ini sukses menjabat wakil presiden pada era SBY yang kedua. Bukan tidak mungkin, di generasi terakhirnya yang menjabat sebagai Menteri Keuangan saat ini akan diproyeksikan untuk menjadi Wapres lagi atau bahkan Capres tahun 2019.

Menteri Keuangan harus berhati-hati dalam setiap langkah politiknya. Stigmanya sebagai pembobol Bank Century akan menjadi peluru yang ampuh pada saatnnya. Tapi saat ini, di tengah pemerintahan Jokowi yang (keinginannya) bercorak nasionalis, ia harus lebih banyak kompromi terhadap program-program yang bertentangan dengan mazhab ideologinya. Setidaknya ia berhasil memprioritaskan pembayaran debt service Rp 640 triliun di APBN (di atas anggaran infrastruktur dan pendidikan), menjaga marwahnya di dunia keuangan Internasional, bagi para pemegang bondholder.

Sudah benar Jokowi menghardik permasalahan anggaran yang tidak efisien pada Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Kehutanan, kami melihat Menteri Keuangan senyam senyum. Tapi masalah efisiensi bukan hanya anggaran.

Sebenarnya bila Jokowi lebih jeli lagi, sebenarnya Menteri Keuangan tidak efisien kerjanya karena kebanyakan kampanye, pidato di acara-acara, keliling kampus, selfie-selfie, dan nge-vlog. Menteri ini pun semakin populer di lembaga-lembaga survey sebagai calon presiden atau cawapres Jokowi.

Akibat keberadaan Menteri Keuangan yang tidak efisien ini juga ekonomi Indonesia tidak kunjung terpacu. Menteri Keuangan yang katanya ekonom kelas internasional ini pasrah saja dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan 5%, di bawah rata-rata pertumbuhan Asia 6,5%. Lagipula ini sesuai dengan mazhab neoliberalisme yang cenderung menginginkan kestabilan (stagnan) pertumbuhan dibanding dengan memacu pertumbuhan.

Belakangan ia malah keluarkan teori ngaco bahwa urbanisasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Lalu buat apa selama 3 tahun ini pemerintah Jokowi berusaha menggolkan dana desa, bila kelak penduduk desa disuruh jadi lumpen semua di kota??

Tentang pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan Jokowi bagus untuk 3-5 tahun mendatang. Hanya tidak cukup untuk mendongkrak ekonomi saat ini. Karena pembangunan ekonomi bukan hanya tentang infrastruktur. Ada permasalahan-permasalahan ekonomi (seperti daya beli, lapangan kerja, dan ketimpangan pendapatan) yang rakyat ingin rasakan solusinya dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun sisa pemerintahan Jokowi.

Jadi Jokowi harus hati-hati. Bila permasalahan stagnasi ekonomi --yang semakin telanjang di publik- tidak dibereskan dengan segera di sisa kurang dari 2 tahun, maka peluang Prabowo (atau Anies?) menyalipnya di 2019 semakin besar.

Atau bukan tidak mungkin nanti di 2019 akan terbentuk poros baru di luarnya, suatu kekuatan alternatif yang citranya bertolak belakang dari seluruh gaya yang sibuk dengan pencitraan SBY, Jokowi,dan Anies. Sosok ini akan lebih candid seperti Duterte di Filipina, atau dalam kadar yang lebih kecil, seperti Donald Trump di AS.  **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun