FRAUD merupakan salah satu risiko yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu perusahaan. Istilah Fraud mungkin masih terdengar asing di Indonesia, namun bentuk-bentuk tindakan kategori fraud  meliputi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti pencurian, penggelapan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, gratifikasi, penyuapan.
Suatu tindakan disebut fraud saat muncul kerugian yang disertai dengan adanya niat menguntungkan diri Fraudster (pelaku fraud). Unsur niat inilah yang membedakan tindakan fraud dengan kelalaian yang mengakibatkan kerugian. Kerugian yang penulis maksud meliputi materiil dan imateriil, seperti nama baik/ brand.
Secara umum tindakan fraud dapat dikategorikan dengan tindakan pidana karena bertentangan dengan undang-undang. Namun apakah langkah melaporkan setiap tindakan fraud ke kepolisian sudah tepat dan solusi terbaik? Penulis akan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menguraikan singkat hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat terjadi fraud dari sisi top manajemen (baik aspek bisnis maupun hukum).
Perlu digarisbawahi posisi manajemen sebagai pengelola perusahaan, menuntutnya bersikap tegas terhadap pemberantasan fraud wajib dilakukan. Banyak kasus yang menunjukkan gagalnya pengendalian fraud dalam perusahaan mengakibatkan kebangkrutan, salah satu kasus yang paling populer adalah Enron Scandal (2001) yang melibatkan management.Â
Penindakkan kasus fraud dapat diselesaikan melalui 2 cara: litigasi (proses hukum) dan non litigasi. Ada baiknya upaya penyelesaian kasus fraud memprioritaskan proses non litigasi terlebih dahulu. Berikut adalah pertimbangan manajemen yang perlu diambil apabila proses fraud melalui jalur non litigasi
- Keuntungan Non-litigasi
- Proses lebih cepat dibandingkan litigasi
- Efisiensi biaya yang dikeluarkan perusahaan
- Menutup exposure kasus dari publik yang dapat merusak nama baik perusahaan ataupun kepercayaan investor
    2. Kerugian Non-litigasi
- Tidak memiliki kekuatan hukum (kurang efektif dalam pelaksanaannya), sehingga apabila fraudster melakukan wanprestasi dari hasil mediasi maka perusahaan tetap harus melakukan upaya litigasi yang artinya 2x kerja
- Muncul tekanan dari pihak eksternal yang dirugikan dan menuntut perusahaan ikut bertanggung jawab
- Kurang memberikan efek jera, pelaku fraud hanya dapat dikenakan sanksi administrasi sesuai peraturan perusahaan saja (SP, PHK, dsb)
Ada beberapa tips apabila perusahaan menghadapi tekanan dari eksternal yang meminta dilakukan proses litigasi terhadap pelaku fraud. Pertama, pastikan terlebih dahulu tindakan fraud yang dilakukan mengakibatkan kerugian kepada perusahaan atau tidak. Berdasarkan pengalaman penulis, ada kalanya karena pelaku fraud adalah seorang karyawan perusahaan maka pihak eksternal meminta pertanggungjawaban perusahaan juga. Padahal belum tentu tindakannya tersebut beririsan dengan pekerjaan yang dilakukannya. Bahkan tidak jarang kerugian yang diakibatkan pelaku hanya terjadi pada pihak eksternal karena semata-mata rasa kepercayaan para pihak saja.
Kedua, setelah memastikan perbuatan fraud, pelaku fraud dan nilai kerugiannya tetap upayakan lakukan mediasi antara pelaku fraud, perwakilan perusahaan, dan pihak eksternal. Langkah ini direkomendasikan bukan hanya untuk mengupayakan ganti rugi secara kekeluargaan namun juga menjaga nama baik perusahaan apabila ada tekanan-tekanan dari eksternal yang mampu mengancam nama baik perusahaan. Namun jika langkah-langkah yang sudah dilakukan masih tidak memberikan solusi maka langkah terbaik adalah proses litigasi.
Berikut adalah keuntungan dan kerugian dari proses litigasi terhadap fraudster:
- Keuntungan Litigasi
- Berkekuatan hukum tetap, apabila fraudster tidak melakukan kewajibannya maka aparat yang berwenang dapat melakukan upaya eksekusi pidana/perdata
- Memberikan efek jera terhadap pelaku serta memberikan menunjukkan sikap tegas management kepada pelaku fraud. Diharapkan akan meminimalisir upaya fraud dari karyawan setelah melihat sanksi yang diberikan managementÂ
- Memberi rasa kepuasan dan kepastian kepada pihak yang dirugikan, baik pihak internal ataupun eksternal
    2. Kerugian Litigasi
- Perlunya biaya yang tidak sedikit
- Membutuhkan waktu dan proses litigasi yang cukup lama
- Exposure kasus ke publik, tidak menutup kemungkinan ada upaya menjatuhkan nama baik brand dari kompetitor lewat kasus fraud yang terjadi
- Tindakan fraud dalam perusahaan Finance/Pembiayaan digolongkan dalam kategori pidana umum KUHP. Berbeda dengan Bank yang memiliki UU Perbankan (UU 10/1998), di mana pelaku fraud dapat diberikan sanksi pidana yang lebih berat dibanding pidana umum dalam KUHP. Sampai saat ini belum ada UU khusus yang mengatur tentang perusahaan Finance/pembiayaan. Payung hukum anti fruad di Indonesia masih mengacu pada POJK 39/2019, sehingga tindakan fraud di perusahaan Finance/Pembiayaan tetap dikategorikan sebagai pidana umum dengan sanksi yang lebih lemah.
Proses hukum menunjukkan ketegasan perusahaan terkait penumpasan fraud. Dalam aspek internal perusahaan, karyawan akan lebih mempertimbangkan kembali untuk melakukan fraud. Dari sisi investor juga diberikan rasa keamanan akan investasinya bahwa manajemen bersungguh-sungguh menumpas fraud.
Kesimpulannya, setiap tindakan fraud wajib dibrantas dan diberikan sanksi tegas oleh management. Bukan hanya untuk mengembalikan kerugian akibat fraud namun juga menjaga nama baik perusahaan dan kepercayaan investor. Penulis tetap menekankan upaya non litigasi terhadap kasus fraud apabila mungkin dilakukan. Namun apabila memang proses litigasi harus dilakukan penulis menyarankan agar management betul-betul memahami fraud yang terjadi (siapa pelaku, apa yang dilakukan? siapa yang dirugikan?). Hal ini perlu dilakukan untuk betul-betul memanfaatkan efisiensi waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk penagangan kasus fraud. #SayNoToFraud
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H