Istilah"soft law" masih terdengar asing bagi masyarakat secara umum. Hal ini tidak terlepas dari masih sedikitnya studi literatur  di Indonesia yang membahas  mengenai soft law. Pada artikel ini saya akan mencoba mengambarkan secara sederhana apa yang dimaksud dengan soft law pada hukum internasional.
Apa bila kita berbicara mengenai soft law, maka topik yang akan dibahasa adalah seputar sumber hukum internasional khususnya perjanjian internasional. Â
Dasar hukum yang digunakan sebagai landasan perjanjian internasional adalah Konvensi Wina 1969. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat para pihak. Pasal ini mencerminkan bahwa semua perjanjian internasional memiliki kekuatan hukum mengikat.Â
Akan tetapi dalam praktik hubungan internasional saat ini, beberapa negara tidak selalu menciptakan perjanjian yang mengikat secara hukum. Beberapa perjanjian internasional dibuat menggunakan komitmen politik, sehingga tidak menimbulkan adanya suatu tanggungjawab hukum. Perjanjian yang tidak memiliki kekuatan mengikat semacam ini dikenal dengan istilah "soft law".
"Soft law" merupakan  fenomena baru bagi sumber hukum tradisional yang dikenal sejak lama.  Pembentukan perjanjian internasional membutuhkan waktu yang lama, serta negosiasi rumit demi mencapai kesepakatan. "Soft law" tidak terikat pada aturan Konvensi Wina 1969 sehingga proses pembentukkannya relatif lebih cepat dan mudah.Â
Fenomena ini adalah jawaban atas kesulitan yang dihadapi negara-negara untuk membentuk suatu perjanjian internasional. Berdasarkan perkembangan  tersebut maka, para sarjana hukum kemudian mulai membagi perjanjian internasional ke dalam 2 bentuk, yaitu "soft law "(hukum lunak) dan "hard law" (hukum keras).Â
Perlu diingat bahwa tidak ada dasar hukum yang mengatur mengenai "soft law".  Sehingga  tidak ada definisi yang diterima umum mengenai "soft law". Beberapa ahli hukum mencoba mendefinisikan perbedaan antara "soft law" dan "hard law". Menurut Gregory C. Shaffer dan Mark A. Pollack:
"Hard law, as an ideal type, refers to legally binding obligations that are precise (or can be made precise through adjudication or the issuance of detailed regulations) and that delegate authority for interpreting and implementing the law. [t]he realm of 'soft law' begins once legal arrangements are weakened along one or more of the dimensions of obligation, precision, and delegation."
J. H. Van Hoof dalam bukunya mengatakan bahwa para ahli hukum dalam mazhab ini menyimpulkan bahwa,
"...instrumen-instrumen tersebut tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai peraturan hukum internasional (full-fledged rules of international law). Sebaliknya mereka menekankan bahwa instrumen-instrumen ini menekankan setidak-tidaknya sejumlah, kalau tidak sejumlah besar kriteria yang dibutuhkan sebagai suatu peraturan agar dianggap sebagai peraturan-peraturan hukum internasional, dan karenanya tidak dapat begitu saja dikesampingkan sebagai bukan hukum (non-law)."
Senada dengan pendapat di atas, Peter Malanzcuk mengatakan bahwa "soft law" merupakan: "Such guidelines, although explicitly drafted as non-legal ones, may nevertheless in actual practice acquire considerable strength in structuring international conduct".Â