Mohon tunggu...
anak bapaknya
anak bapaknya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Refleksi Bank Syariah

2 Agustus 2015   20:31 Diperbarui: 2 Agustus 2015   20:31 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari ini cukup hangat topik tentang BPJS haram, di negara yang semi-syariah seperti negara kita, sepertinya memang konsekuensi bahwa akan selalu ada perdebatan halal haram seperti ini.

MUI sendiri tidak memutuskan bahwa BPJS haram, cuma tidak sesuai syariah. Saya cukup bingung, apa yang diharapkan dengan menegaskan suatu hal tidak sesuai syariah, tapi menolak menegaskan itu haram, whatever..

Peng-haram-an BPJS berujung ke rekomendasi pembentukan BPJS syariah, mengikuti institusi yang sudah ada seperti bank syariah dan asuransi syariah…

Yang ingin saya sampaikan di tulisan ini, seperti apa sebenarnya istitusi syariah yang sudah ada selama ini, terutama bank syariah. Yang selalu jadi jawaban banyak orang ketika menunjuk bank biasa sebagai bisnis riba.  Dengan satu contoh di bawah, saya harap pembaca bisa menangkap seperti apa “bisnis syariah” itu bekerja

Saya langsung ke bisnis yang yang menghasilkan untung buat bank, yaitu kredit, yang selalu diakui bahwa bunga kredit itu riba.

Di kredit konvesional, memang menggunakan konsep bunga. Komponen bunga itu sendiri adalah cost of fund, biaya tetek bengek dari regulator, dan margin untuk bank. Jika suatu perusahaan meminjam uang ke bank untuk membangun pabrik, sebutlah nilainya 10 miliar, dicicil selama 5 tahun. Anggap aja bunganya 10% flat per tahun, maka berapa total pembayaran yang diterima bank selama 5 tahun:

 

Pokok               : 10 miliar

Total bunga     : 10% x 10 miliar x 5 tahun = 5 miliar

Total pokok dan bunga selama 5 tahun = 15 miliar

Nasabah mecicil pokok dan bunga ini setiap bulan sebesar 250 juta.

 

Bagaimana konsep bank syariah bekerja untuk pembiayaan di atas?

Di bank syariah, fasilitas untuk pembiayaan di atas adalah dengan murabahah (sebagian besar pembiayaan syariah dengan murabahah ini). Prinsip murabahah adalah jual beli, jadi tidak ada konsep bunga di sini, dan tidak ada riba.

Bagaimana teknisnya: Nasabah datang ke bank syariah bilang mau bikin pabrik seharga 10 milar. Dengan konsep bank syariah, bank yang akan membelikan pabrik tersebut ke untuk nasabah. Jadi on paper, bank beli pabrik itu seharga 10 miliar, lalu langsung menjual lagi pabrik itu ke nasabah sebesar 15 miliar.

Dari mana angka 15 miliar itu datang? Ya tentu saja persis sesuai hitungan di atas, alias berdasarkan hitungan bunga 10% selama 5 tahun. Setelah bank “jual” pabrik itu ke nasabah, bank mengizinkan nasabah mecicil harga pabrik sebesar 15 miliar itu sebesar 250 juta. Di konsep syariah, untunglah tidak ada aturan dalam jual beli si pembeli akan bayar seperti apa dan berapa lama…

Anyway, kurang lebih seperti itu lah cara pembiayaan “jual beli” di bank. Secara angka, sama sekali tidak ada bedanya dengan bank biasa. Cukup munafik jika kita berpendapat bahwa ada perbedaan secara substansial, karena yang beda cuma kemasan. Pokoknya bunga itu riba, jadi jangan pakai konsep yang ada bunganya. That’s all..

Bagaimana dengan kampanye jika bank syariah itu tidak terpengaruh naik turunnya suku bunga, karena tidak ada konsep bunga di sana…

Kembali lagi ke contoh di atas. Pada bank konvesional, mungkin saja di tahun pertama bank memberikan bunga 10%. Tapi di tahun kedua karena krisis, dana murah mahal, bank terpaksa menaikkan bunga ke nasabah menjadi 12.5% per tahun. Jadilah, mulai tahun ke dua nasabah mencicil 270 juta ke bank. Total pokok dan bunga selama 5 tahun menjadi 16 miliar.

Bagaimana jika suku bunga naik di tahun kedua pada konsep bank syariah, sementara “harga” pabrik sudah ditetapkan 15 miliar didepan.

Inilah “trik” bank syariah. Harga “jual beli” pabrik tersebut bukanlah ditetapkan 15 miliar di awalnya dengan perhitungan bunga 10%, namun berdasarkan suku bunga maksimal. Sebutlah bank berasumsi suku bunga tidak akan lebih dari 20%, maka dengan hitungan bunga 20%, maka total bunga selama 5 tahun adalah 10 miliar. Dan total pokok dan bunga berdasarkan asumsi bunga 20% adalah 20 milar. 

Jadi di perjanjian jual beli, “harga” parbrik “dijual” oleh bank bukanlah 15milar, namun 20 miliar. Tapi, setela jual beli selesai, untuk pembayarannya bank memberi diskon 5 miliar, sehingga nasabah mencicil dengan hitungan pembelian 15 miliar, bukan 20 miliar.

Di tahun kedua ketika suku bunga naik dari 10% menjadi 12.5%, yang dilakukan bank syariah adalah mengurangi “diskon” tersebut, dari 5 miliar menjadi 4 miliar, sehingga total harga pembelian menjadi 16 miliar, alias sama dengan hitungan bunga naik 12.5% di tahun kedua.

Semua diizinkan, selama harga jual beli awal di 20 miliar tidak berubah. Yang berubah itu potongan diskon dari penjual, “krik krik”

See, seperti itulah cara pembiayaan syariah bekerja. Adalah hal yang berbeda antara hal yang dilarang (haram), halal, dan tidak diatur.. Bank syariah bermain di hal yang tidak diatur tersebut untuk mendapatkan hasil yang sama dengan hal yang dilarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun