Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sulitnya Mengubah Paradigma Lama

12 Januari 2023   20:28 Diperbarui: 12 Januari 2023   20:53 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Program Merdeka Belajar yang digelar Kemendikbud Ristek  sejak tahun 2019 lalu hingga saat ini telah memasuki episode ke 22. Mendikbud Ristek, Anwar Nadiem Makarim berharap program ini akan menjadi alat transformasi pendidikan di tanah air. 

Untuk mengakselari program merdeka belajar ini, lahir turunannya diantaranya program penggerak, kurikulum merdeka, Platform Merdeka Mengajar, digitalisasi pendidikan serta lainya. Lantas apakah transformasi yang diharapkan tersebut benar-benar telah bergulir? Catatan berikut sepertinya bisa dijadikan bahan evaluasi dan sekaligus refleksi untuk optimalisasi implementasi tahun 2023 mendatang.

Paradigma lama tentang lingkungan sekolah bagi sebagian siswa sangat identik dengan tugas berat yang harus diselesaikan, raut wajah guru yang "menakutkan", lingkungan sekolah yang "menyeramkan". 

Dalam kondisi seperti ini maka jangan berharap proses pembelajaran dapat berjalan efektif. Dalam perspektif merdeka belajar manajemen sekolah melalui sosok kepala sekolah harus mampu mentransformasikan lingkungan sekolah menjadi lingkungan yang menyenangkan, menantang sekaligus menjadi ruang yang dipenuhi kreativitas dan inovasi siswa sesuai dengan potensi dirinya. 

Nah, apakah perubahan tersebut sudah terjadi saat ini? Jujur harus diakui jika transformasi di satuan pendidikan masih belum menunjukan perubahan yang signifikan. Indikasi sosok kepala sekolah sebagai sosok pengatur masih sering ditemukan di sekolah.

Mereka belum mampu memerankan diri sebagai sosok pelayan siswa dan orang tua.  Sebagian besar guru, belum mampu mentransformasikan dirinya dirinya dari pelaksana kurikulum menjadi pemilik dan pembuat kurikulum. 

Ketika pembelajaran berlangsung belum semua guru mampu menjadikan dirinya sebagai katalis dan  fasilitator dari berbagai sumber pengetahuan melalui pengembangan pembelajaran sesuai kebutuhan siswa atau pembelajaran berdiferensiasi.

Jumlah guru penggerak di Bali memang masih relative kecil dibandingkan dengan jumlah guru keseluruhan. Namun demikian, jika dilihat dari mekanisme rekrutmen, pola pembinaan melalui Diklat yang harus dilalui oleh seorang guru penggerak, tak seorangpun yang meragukan kompetensi dan kapabelitas mereka. 

Selain harus mampu menjadikan dirinya sebagai role model perubahan di sekolah, ada tiga misi yang diharapkan diimplementasikan oleh guru penggerak. Sebagai katalisator untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila, mentor/ pelatih bagi guru lain, serta mengembangkan praktik baik dalam rangka mentransformasi ekosistem pendidikan.

 Sebagian diantara mereka ( guru penggerak ) telah mampu menjadi motor penggerak, paling tidak di lingkungan terdekatnya. Namun sayang, masih cukup banyak diantara mereka yang belum sepenuhnya mampu mengagregasi ketiga misi tersebut. Pergerakan mereka meriah di  ruang-ruang virtual dalam satu entitas yang sama. 

Peran guru penggerak ditunggu  ribuan guru di daerah pinggiran yang selama ini belum cukup beruntung. Keterbatasan sarana prasarana, menyebabkan guru di daerah pinggiran tersebut belum tersentuh dengan temuan-temuan baru bidang pendidikan. 

Kita tentu berharap, guru penggerak tidak hanya membanggakan kerennya pakaian seragam, namun benar-benar menjadikan dirinya sebagai agent of change atau agen perubahan paling tidak di lingkungan sekolah tempatnya bertugas, syukur-syukur memberikan implikasi positif pada komunitas yang lebih besar.

Data terakhir yang dikutip dari laman Kemdibud Ristek menunjukan jumlah sekolah di Bali yang telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sebanyak 2362 buah. 

Kurikulum Merdeka didisain bukan saja dalam rangka menghasilkan lulusan yang memiliki soft Skill yang mampu menjawab perkembangan sains dan tehnologi, berkarakter, namun juga menjadi katalisator untuk mengubah mindset dan paradigma guru. Pada titik ini, tampaknya Implementasi Kurikulum Merdeka di Bali masih mengalami permasalahan serius. 

Sebagian besar guru-guru masih belum mampu melepaskan diri dari zona nyaman pembelajaran konvensional. Tuntutan pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa sebagaimana tuntutan Kurikulum Merdeka belum terlaksana dengan baik. Proses pembelajaran di kelas masih didominasi guru. 

Fokus guru masih pada penuntasan Kurikulum, serta kecendrungan penilaian hanya pada aspek penilaian sumatif dan mengabaikan penilaian proses masih menjadi praktek keseharian sebagian guru-guru. Dalam kondisi seperti itu, maka Kurikulum Merdeka hanya dijadikan sebagai asesoris akademik dan hanya sebatas stempel penanda bahwa sekolah tersebut telah melakukan transformasi, meskipun transformasi semu.

Penulis,

engawas Sekolah di Disdikpora Bangli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun