Mohon tunggu...
A.A Ketut Jelantik
A.A Ketut Jelantik Mohon Tunggu... Penulis - Pengawas Sekolah

Pernah bekerja sebagai wartawan di Kelompok Media Bali Post, menulis artikel di sejumlah media cetak baik lokal maupun Nasional, Redaktur Buletin Gita Mandala Karya Utama yang diterbitkan APSI Bali, Menulis Buku-buku Manajamen Pendidikan, Editor Jurnal APSI Bali, dan hingga saat ini masih ditugaskan sebagai Pengawas Sekolah Jenjang SMP di Kabupaten Bangli-Bali serta Fasilitator Sekolah Penggerak angkatan 3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sulitnya Mengubah Paradigma Lama

12 Januari 2023   20:28 Diperbarui: 12 Januari 2023   20:53 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tentu berharap, guru penggerak tidak hanya membanggakan kerennya pakaian seragam, namun benar-benar menjadikan dirinya sebagai agent of change atau agen perubahan paling tidak di lingkungan sekolah tempatnya bertugas, syukur-syukur memberikan implikasi positif pada komunitas yang lebih besar.

Data terakhir yang dikutip dari laman Kemdibud Ristek menunjukan jumlah sekolah di Bali yang telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka sebanyak 2362 buah. 

Kurikulum Merdeka didisain bukan saja dalam rangka menghasilkan lulusan yang memiliki soft Skill yang mampu menjawab perkembangan sains dan tehnologi, berkarakter, namun juga menjadi katalisator untuk mengubah mindset dan paradigma guru. Pada titik ini, tampaknya Implementasi Kurikulum Merdeka di Bali masih mengalami permasalahan serius. 

Sebagian besar guru-guru masih belum mampu melepaskan diri dari zona nyaman pembelajaran konvensional. Tuntutan pembelajaran yang sesuai kebutuhan siswa sebagaimana tuntutan Kurikulum Merdeka belum terlaksana dengan baik. Proses pembelajaran di kelas masih didominasi guru. 

Fokus guru masih pada penuntasan Kurikulum, serta kecendrungan penilaian hanya pada aspek penilaian sumatif dan mengabaikan penilaian proses masih menjadi praktek keseharian sebagian guru-guru. Dalam kondisi seperti itu, maka Kurikulum Merdeka hanya dijadikan sebagai asesoris akademik dan hanya sebatas stempel penanda bahwa sekolah tersebut telah melakukan transformasi, meskipun transformasi semu.

Penulis,

engawas Sekolah di Disdikpora Bangli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun