Mohon tunggu...
Ahmad Mutiul Alim
Ahmad Mutiul Alim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tertarik pada semua gejala sosial dan agama. Suka Travelling, Musik, dan Olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gawat... Ini Motif Licik Eks PNPM Tolak Seleksi Pendamping Desa

8 April 2016   19:19 Diperbarui: 15 Mei 2016   22:37 2749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di negeri ini, banyak sekali lakon-lakon pemerintahan yang berjualan atas nama rakyat. Yang penting atas nama rakyat, apa saja dihalalkan. Boro-boro rakyat merasa terwakili, makin hari tingkah laku mereka –yang katanya berjuang atas nama rakyat- makin menggelikan. Penulis bukan dalam rangka untuk menyoroti kinerja pemerintah secara umum, melainkan melampiaskan rasa muak terhadap segelintir oknum yang doyan membuat negeri ini makin gaduh, dan sekali lagi atas nama rakyat. Kegaduhan inilah yang sangat kontras di tengah kabinet kerja yang diusung oleh presiden Jokowi, sehingga pantas kiranya kita pelototi biar tidak makin bandel.

Sebut saja akhir-akhir ini isu mengenai para bekas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan menarik untuk dibahas. Berbasiskan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa, eks PNPM yang kini tidak dilibatkan lagi oleh pemerintah, membuka suara dan meminta perpanjangan kontrak. 

Dan tidak main-main, mereka meminta perpanjangan kontrak hingga 5 tahun. Sederet alasan pun diungkapkan, mulai dari sudah paham dan mengenal seluk-beluk masyarakat desa secara mendalam, hingga mengklaim diri paling berpengalaman dalam hal mengurus desa. Klaim eks PNPM ditambah sikap pemerintah yang tak bergeming mengundang tanda tanya besar. 

Jika memang sudah ada tenaga yang berpengalaman dalam mengurus desa, mengapa tidak sebaiknya melanjutkan, atau mengakomodir permintaan eks PNPM? Malah, pemerintah meluncurkan program baru yang dinamakan pendamping desa, yang memicu protes dari para eks PNPM, bahkan menolak untuk melakukan proses seleksi pendamping desa yang dilakukan secara terbuka tersebut.

Protes para eks PNPM cukup beralasan. Sejak diluncurkan pada April 2007 oleh Presiden SBY, PNPM digadang-gadang sebagai program pemberdayaan masyarakat serta pengentasan kemiskinan. Namun, tanda tanya mengapa PNPM tidak berlanjut di era presiden Jokowi sebenarnya cukup mudah untuk dijelaskan.

Sejak diluncurkan April 2007, PNPM Mandiri Pedesaan mendapatkan kontrak hingga 31 Desember 2014. Di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), per tanggal 31 Desember, kontak PNPM secara otomatis habis berdasarkan Berita Acara Serah Terima (BAST) Nomor: 100/1694/SJ dan Nomor: 01/BA/M-DPDTT/IV/2015 yang ditanda tangani Kemendagri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Pada 15 Januari 2015 kemudian dikeluarkan surat Dirjen PMD Kemendes PDTT yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati dan Walikota lokasi program  tentang pengendalian penyelesaian kegiatan PNPM Mpd 2014, diantaranya penyelesaian masalah kegiatan masyarakat yang dananya  ada di UPK (Unit Pengelola Kegiatan). Penyelesaian kegiatan ini pun berlangsung dengan menggunakan dana APBD,bukan lagi menggunakan anggaran dari pemerintah pusat (Oh ya, perlu diketahui bahwa kegiatan PNPM Mpd menggunakan anggaran yang bersumber dari world bank alias ngutang, bukan dari APBN).

Setelah turun instruksi penyelesaian seluruh kegiatan PNPM, Kemendes PDTT kembali mengaktifkan eks PNPM per Juli hingga Oktober 2015. Menurut Ahmad Erani Yustika, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), pengaktifan eks PNPM ini dilakukan dalam rangka mengawal dana desa yang saat itu sudah dicairkan oleh Kementerian Keuangan ke 74.093 desa sebesar 20,7 triliun. Jumlah kucuran besar itulah yang menjadi alasan Kemendes PDTT mengaktifkan kembali eks PNPM, agar penggunaan dana desa sesuai dengan prioritas penggunaan. Hal ini juga dilakukan dalam rangka mempersiapkan rekrutmen pendamping desa yang baru dibuka Juli 2015. Sehingga, diasumsikan akhir Oktober seluruh rangkaian seleksi telah diselesaikan, dan pendamping desa sudah siap ditempatkan.

Proses seleksi pendamping desa ternyata masih menemui jalan panjang. Hingga akhir Desember, proses rekrutmen masih belum selesai secara total. Menurut informasi yang dirilis media-media nasional, lamanya proses rekrutmen disebabkan oleh membludaknya peminat yang ingin mengisi posisi pendamping desa yang dikabarkan mendapat gaji hingga 14 juta. Otomatis, provinsi-provinsi besar seperti Jawa barat dan Jawa Tengah kelimpungan menyelesaikan seluruh prosesi seleksi dari tenggat waktu yang diberikan. Oleh karena itu, PNPM Mpd kembali diperpanjang hingga 31 Maret 2016. Bahkan informasi terkini dari Dirjen PPMD menyebutkan bahwa kontrak PNPM diperpanjang kembali hingga akhir Juni 2016. Rekrutmen pendamping desa yang telah melewati proses panjang pun akhirnya berhasil dirampungkan dan siap ditempatkan per Maret 2016.

Menyadari kontraknya sudah habis dan jasanya tidak akan dipakai lagi oleh pemerintah, para eks PNPM mulai vokal menyerukan perpanjangan kontrak yang lebih panjang, sampai 5 tahun. Padahal secara resmi kontrak mereka berakhir pada 31 Desember 2014, namun karena masih ada perpanjangan hingga 31 Maret 2016 inilah yang mungkin membuat protes tersebut baru dimunculkan sekarang, ketika pendamping desa sudah benar-benar akan ditempatkan. Dengan membawa pengalaman selama kurang lebih 7 tahun dalam mendampingi desa serta merasa paling mengerti seluruh persoalan tentang desa, PNPM MpdNamun pemerintah tetap pada pendiriannya, tidak ada perpanjangan untuk eks PNPM. Hal ini tidak lain karena semangat PNPM berbeda dengan semangat UU Desa yang menjadi landasan dalam pembangunan dan pemberdayaan desa.

UU Desa No.6 Tahun 2014 merupakan semangat baru bagi desa dalam melakukan pembangunan dan pemberdayaan. Hakikatnya, UU Desa menekankan pembangunan partisipatoris, yakni peran masyarakat desa yang aktif baik dalam tataran konsep, berupa ide dan gagasan maupun tataran praktis, yakni keterlibatan langsung di lapangan. Sekilas tidak ada yang berbeda antara konsep pendamping desa dengan PNPM yang berjalan sebelumnya. PNPM sebelumnya juga menekankan keterlibatan aktif masyarakat desa, dimana tak jauh berbeda dengan konsep yang saat ini diusung oleh UU Desa. Namun jangan salah, PNPM pada masanya punya peran yang tidak efektif dalam tugasnya melakukan pembangunan dan pemberdayaan. 

Tidak efektif yang dimaksud adalah masyarakat desa melalui kades yang memiliki program untuk desa, harus mengajukan kepada PNPM yang bertempat di kecamatan. Untuk meloloskan program yang diajukan oleh kades, petugas PNPM kemudian melakukan pertimbangan-pertimbangan (secara subjektif) hingga akhirnya usul program diterima atau diloloskan. 

System ini praktis menimbulkan celah untuk memunculkan praktek korupsi, karena suatu usul/program bisa diterima maupun ditolak. Deal-deal an yang menjrus kepada aspek pragmatisme pribadi otomatis tidak dapat dihindarkan. Sudah banyak sekali kasus korupsi terkait penyalahgunaan anggaran PNPM terkuak ke media massa. Bahkan temuan audit berdasar SIM LHP BPKP menyebutkan bahwa kasus terbanyak ditemukan adalah penyimpangan dan penyalahgunaan (6.646 kasus). Sedangkan kasus yang sudah diseleseikan sebanyak 5.174 kasus. Dan yang mengejutkan adalah masih terdapat total 128 triliun uang negara yang belum dikembalikan akibat penyelewengan tersebut.

Model pendampingan PNPM yang tidak menempatkan desa sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan ini sesungguhnya jauh dari semangat UU Desa, serta berbeda dengan pendampingan model pendamping desa. Pendamping desa berdasarkan Permendesa No.3 tahun 2015 mengatur bahwa peran dan fungsi pendamping desa hanya sebatas mendampingi dan membimbing aparatur desa dalam merumuskan program yang sesuai dengan prirotas yang ditetapkan, dan atau sesuai dengan azas manfaat. Pendamping desa tidak memiliki kewenangan dalam menjatuhkan keputusan atas diterima atau ditolaknya suatu program. Masyarakat desa dan para pemerintah desa secara demokratis menyetujui program apa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Berdasarkan pertimbangan itulah pemerintah menganggap PNPM Mpd yang sudah habis masanya harus diganti dengan pendamping desa yang sesuai dengan semangat UU Desa. Namun kembali lagi-lagi pemerintah masih berbaik hati untuk mengakomodir eks PNPM yang ingin menjadi pendamping desa dengan syarat mengikuti rekrutmen yang telah ditetapkan. 

Pasalnya, pemerintah juga tidak buta akan kemampuan para eks PNPM yang memang memiliki keahlian dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Sehingga dengan mengikuti proses rekrutmen pendamping desa (PD), para eks PNPM tersebut dapat mengisi posisi yang dianggap paling tepat dengan bidang yang mereka kuasai. Bahkan sampai hari ini dari data Kemendes PDTT, Tenaga Ahli (TA) Kabupaten yang lolos rekrutmen PD sebagian besar berasal dari eks PNPM.

Sayang, gayung tak besambut. Tawaran yang telah diberikan pemerintah ditolak mentah-mentah oleh beberapa oknum yang mengaku atas nama besar PNPM. Perpanjangan kontrak hingga 5 tahun ditolak pemerintah, para oknum eks PNPM tersebut kini menolak mengikuti rekrutmen PD. Naifnya, ketika sebagian besar eks PNPM telah mengikuti seleksi dan diterima sebagai PD, mereka (para oknum) meminta dimasukkan sebagai PD tanpa harus melalui proses rekrutmen. Inilah yang terus digaungkan hingga hari ini. 

Padahal, jika memang memiliki kemampuan serta kapabilitas sebagai pendamping desa, eks PNPM tidak perlu khawatir dalam mengikuti prosesi rekrutmen. Dan jika menemukan kecurangan (jika memang ada) di lapangan terkait rekrutmen PD –sebagaimana yang dielu-elukan selama ini sebagai basis kekhawatiran mengikuti seleksi- mereka dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang.

Dan terakhir, parahnya, kicauan para oknum eks PNPM ini dimanfaatkan oleh segelintir pejabat pemerintahan yang bermaksud menunggangi isu ini sebagai momen dengan tujuan-tujuan politis tertentu. Tentu attitude semacam ini tak elok di tengah kegigihan presiden Jokowi yang mengusung kabinet kerja. Lalu siapa dia yang saya maksud? Kita bahas di artikel selanjutnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun