System ini praktis menimbulkan celah untuk memunculkan praktek korupsi, karena suatu usul/program bisa diterima maupun ditolak. Deal-deal an yang menjrus kepada aspek pragmatisme pribadi otomatis tidak dapat dihindarkan. Sudah banyak sekali kasus korupsi terkait penyalahgunaan anggaran PNPM terkuak ke media massa. Bahkan temuan audit berdasar SIM LHP BPKP menyebutkan bahwa kasus terbanyak ditemukan adalah penyimpangan dan penyalahgunaan (6.646 kasus). Sedangkan kasus yang sudah diseleseikan sebanyak 5.174 kasus. Dan yang mengejutkan adalah masih terdapat total 128 triliun uang negara yang belum dikembalikan akibat penyelewengan tersebut.
Model pendampingan PNPM yang tidak menempatkan desa sebagai pihak yang memiliki otoritas penuh dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan ini sesungguhnya jauh dari semangat UU Desa, serta berbeda dengan pendampingan model pendamping desa. Pendamping desa berdasarkan Permendesa No.3 tahun 2015 mengatur bahwa peran dan fungsi pendamping desa hanya sebatas mendampingi dan membimbing aparatur desa dalam merumuskan program yang sesuai dengan prirotas yang ditetapkan, dan atau sesuai dengan azas manfaat. Pendamping desa tidak memiliki kewenangan dalam menjatuhkan keputusan atas diterima atau ditolaknya suatu program. Masyarakat desa dan para pemerintah desa secara demokratis menyetujui program apa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan itulah pemerintah menganggap PNPM Mpd yang sudah habis masanya harus diganti dengan pendamping desa yang sesuai dengan semangat UU Desa. Namun kembali lagi-lagi pemerintah masih berbaik hati untuk mengakomodir eks PNPM yang ingin menjadi pendamping desa dengan syarat mengikuti rekrutmen yang telah ditetapkan.Â
Pasalnya, pemerintah juga tidak buta akan kemampuan para eks PNPM yang memang memiliki keahlian dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Sehingga dengan mengikuti proses rekrutmen pendamping desa (PD), para eks PNPM tersebut dapat mengisi posisi yang dianggap paling tepat dengan bidang yang mereka kuasai. Bahkan sampai hari ini dari data Kemendes PDTT, Tenaga Ahli (TA) Kabupaten yang lolos rekrutmen PD sebagian besar berasal dari eks PNPM.
Sayang, gayung tak besambut. Tawaran yang telah diberikan pemerintah ditolak mentah-mentah oleh beberapa oknum yang mengaku atas nama besar PNPM. Perpanjangan kontrak hingga 5 tahun ditolak pemerintah, para oknum eks PNPM tersebut kini menolak mengikuti rekrutmen PD. Naifnya, ketika sebagian besar eks PNPM telah mengikuti seleksi dan diterima sebagai PD, mereka (para oknum) meminta dimasukkan sebagai PD tanpa harus melalui proses rekrutmen. Inilah yang terus digaungkan hingga hari ini.Â
Padahal, jika memang memiliki kemampuan serta kapabilitas sebagai pendamping desa, eks PNPM tidak perlu khawatir dalam mengikuti prosesi rekrutmen. Dan jika menemukan kecurangan (jika memang ada) di lapangan terkait rekrutmen PD –sebagaimana yang dielu-elukan selama ini sebagai basis kekhawatiran mengikuti seleksi- mereka dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwenang.
Dan terakhir, parahnya, kicauan para oknum eks PNPM ini dimanfaatkan oleh segelintir pejabat pemerintahan yang bermaksud menunggangi isu ini sebagai momen dengan tujuan-tujuan politis tertentu. Tentu attitude semacam ini tak elok di tengah kegigihan presiden Jokowi yang mengusung kabinet kerja. Lalu siapa dia yang saya maksud? Kita bahas di artikel selanjutnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H