Atas dalih mengikuti tren harga pada industri gas dan minyak dunia serta sesuai aturan yang berlaku berdasarkan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU), Pemerintah melakukan penyesuaian harga jelasnya kenaikan harga secara berkala. Kenaikan harga tersebut diumumkan per 10 Juli  2022. Kebijakan semacam ini terbiasa dilakukan manakala terjadi kenaikan harga di tingkat dunia meski pada fakatanya tidak terjadi sebaliknya.
Penyesuaian ini berdampak pada kenaikan harga sejumlah produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi. Kenaikan harga meliputi Pertamax Turbo, Pertamina dex, dan Dexlite yang porsinya sekitar 5% dari total konsumsi BBM Nasional, serta LPG non Subsidi seperti Bright gas yang konsumsinya sekitar 6% dari total konsumsi Nasional. Kenaikan ini mencapai rata-rata Rp.2.000 per liter, dan menurut pertamina lagi, harga tersebut masih kompetitif dibandingkan produk lain dengan kualitas yang setara.
Kenaikan harga pada BBM non subsidi ini memunculkan opini di masyarakat yang menganggap kenaikan BBM non subsidi tidak berdampak pada daya beli masyarakat, apalagi di sisi lain harga Pertamax yang juga non subsidi tidak ikut mengalami kenaikan padahal per 1 April 2022 untuk Pertamax sudah terlebih dulu mengalami  kenaikan Rp.3500 per liter. Pada Juli ini merupakan kali ketiga Pemerintah menaikan harga BBM di tahun berjalan 2022 yang dimulai pada per 3 Maret 2022.
Sungguh ironis, pemerintah dengan mudahnya melakukan kenaikan harga tanpa melihat kondisi masyarakat yang semakin susah, belum lepas dari ingatan bagaimana dampak kenaikan harga bahan pokok seperti minyak goreng yang hingga sekarang masih mencekik masyarakat, lalu ditambah lagi dengan kenaikan harga BBM.Â
Realitas di lapangan berbicara lain, faktanya, BBM dan Gas bersubsidi sendiri makin dibatasi persediaannya, masyarakatpun dipersulit untuk mengaksesnya ditengarai dengan cara pembelian yang diharuskan memakai aplikasi MY Pertamina dengan segala tetek bengeknya yang tentu bukan hal familiar bagi masyarakat pada umumnya. Maka secara logis kenaikan BBM non subsidi meskipun prosentasinya tidak sampai 10% dari total konsumsi nasional tetap saja akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat secara luas. Terutama pada inflasi dan pengeluaran biaya hidup masyarakat yang semakin tinggi. Â Pengeluaran yang semakin besar tentunya menambah beban pada kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin sulit.
Pemenuhan BBM dan gas yang lebih dari 70% ditopang dari impor menjadi salah satu sebab pemerintah harus selalu melakukan penyesuaian harga keekonomian dengan harga dunia, setiap regulasi harga dilakukan mengikut situasi dan kondisi global. Hal ini tentu berpengaruh pada besaran subsidi yang bakal dikeluarkan pemerintah yang pastinya membengkak. Lebih jauhnya berpengaruh pada pengeluaran APBN, maka alih-alih mennghemat APBN, namun di sisi lain pemerintah memaksa rakyat untuk membeli BBM dengan harga yang semakin naik. Kondisi ini justru menimbulkan permasalahn baru yang semakin kompleks.
Apa yang dirasakan masyarakat saat ini adalah buah dari paradigma kekuasaan yang keliru. Dalam konteks ekonomi kapitalistik, perekonomian ditopang dengan sistem ribawi dan rakyat tak lebih sebagai faktor produksi dan konsumen. Dan penguasa bertindak sebagai produsen bahkan perpanjangan tangan elit oligarki dari para kapitalis. Mereka lebih concern untuk memperkaya golongan tanpa menjadikan rakyat sebagai prioritas utama objek kesejahteraan. Rakyat hidup dalam tekanan kebutuhan ekonomi yang tinggi, dibebani dengan harga-harga yang semakin tidak rasional, jauh dalam jangkauan pendapatan masyarakat. Alhasil, tingkat kemiskinan, pengangguran dan problem sosial sebagai dampaknya tidak menemukan solusi, seperti benang kusut yang tak bisa diurai, kesejehteraan hanya mimpi di siang bolong. Tindakan penguasa apapun menaikan harga BBM dan Gas apapaun dalihnya adalah sebuah tindakan yang sewenang-wenang penuh kedzaliman.
Bagaimana Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, difahami bahwa minyak dan derivatnya seperti bensin, gas dll semuanya sudah ditetapkan dalam syariat Islam sebagai barang dengan kepemilikan umum, berdasarkan sabda rasulullah saw :
"Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api" . maka dalam konteks ini negara mengatur secara cermat produksi dan distribusi untuk aset-aset tersebut. Â Negara tidak boleh memungut harga dari rakyat karena produk semacam itu adalah kepemilikan umum , negara hanya boleh memungut tarif dari rakyat sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi produk tersebut ; tidak boleh menerapkan tarif (bea) lebih tinggi dari dua komponen biaya tersebut.
Hal ini sejalan dengan pandangan tentang Penguasa atau pemerintah dalam ajaran Islam, dalam hal duniawi bahwa mereka berkewajiban dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.. Poinnya adalah ialah jadi pelayan rakyat bukan pihak yang justru dilayani dengan segala gaji fantastis dan fasilitas yang mewah namun kondisi masyarakat jauh dari sejahtera. Kemaslahatan pada segala aspek kehidupan di tengah rakyatnya haruslah menjadi acuan dan prioritas utama para penguasa dalam menjalani roda pemerintahannya.
Seperti dikatakan Al Syafi'i, bahwa kedudukan pemerintah dalam hubungan dengan rakyatnya adalah seperti kedudukan wali dalam hubungannya dengan anak yatim (Al-Suyuti, 1993)
Jadi jikalau pemerintah atau penguasa abai dengan urusan rakyatnya, tak peduli dengan penderitaan rakyatnya dan lepas tangan dengan kesulitan rakyatnya, maka kita mempertanyakan untuk apa sebetulnya keberadaan mereka bukan?
Wallahu 'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H