September 1997. Siang itu saya harus menelepon ke Singapura dari Jakarta.Â
Saat itu saya sedang sibuk-sibuknya menyiapkan hajat kunjungan 47 orang Coporate Secretary (Corsec) perusahaan go public Indonesia ke Bursa Efek Singapura dan Kuala Lumpur. Kunjungan juga dilanjutkan dialog dengan sejumlah perusahaan papan atas yang tercatat di bursa efek kedua negara itu. Kami menyebutnya studi banding.
"Hello, may I speak to Miss Vivien Chan. I'm calling from Jakarta".
Seorang perempuan muda dengan ramah menjawab.
"Please wait a moment Sir...!"
Telepon pun tersambung. Perempuan muda bernama Vivien Chan itu menerima dengan hangat. Ia menjelaskan bahwa kantornya sudah siap menerima tamu-tamu dari Jakarta.Â
Tak lama setelah itu saya harus menghubungi beberapa orang. Mereka adalah para Corsec itu, yang saat itu masih banyak dirangkap posisi oleh para direktur.Â
Saat itu handphone belum banyak. Jadi, setiap kali menelpon lebih banyak menggunakan telepon kabel Telkom yang disebut PSTN itu.
Begitulah hampir setiap hari menjelang acara itu, telepon masuk dan telepon keluar sangat gencar di tempat saya bekerja di Asosiasi Emiten Indonesia (AEI).
"Haloo..mbak. Apa bisa disambungkan dengan Pak Sutrisno?"
Dengan sigap resepsionis kantor penjaga telepon itu menjawab.
"Bapak dari mana....? Ada keperluan apa?"
"Aduh..... ketus amaat resepsisonis ini ya?", batin saya.Â
Padahal orang yang ingin saya telepon itu, sudah sering ketemu dan rapat dengannya. Orangnya ramah, low profile, down to earth, dan tentu saja baik hati. Saya pun sudah sering ke kantor itu.Â
Entah berapa ratus atau ribuan kali setiap menelpon, para resepsionis perusahaan-perusahaan di Jakarta itu, umumnya cara mereka menjawab seragam: interogatif dan menanyakan hal-hal yang bukan urusan mereka.Â
Bukanya langsung disambungkan tetapi malah bertanya ini dan itu. Betapa tidak nyamannya, mendapati sikap seperti itu.
Padahal, tugas utama resepsionis itu, ya angkat telepon dan menyambungkan ke ekstension yang dituju. Itu saja.
Sungguh kontras dengan resepsionis perusahaan di Singapura itu.
Urusan telepon dengan bos itu selesai. Pak Sutrisno adalah pimpinan rombongan yang akan memandu studi banding itu.
Tak lama kemudian ada telepon masuk. Saya harus ke Gedung New Summitmas Tower, Lt 12, bertemu wakil pimpinan sebuah bank besar di Jalan Jend Sudirman.Â
Saya segera turun dari Gedung BRI II lantai 7 tempat saya bekerja. Hanya 10 menit sampai ke lokasi. Jakarta saat itu belum semacet sekarang.
Masuk ke gedung kantor itu langsung naik lift. Jaman itu, nggak ada namanya pemeriksaan satpam atau lorong scanning tas seperti gedung-gedung perkantoran di Jakarta seperti sekarang.
Sampai di lantai yang dituju, seorang satpam menyambut.
"Bapak mau ketemu siapa? Sudah janjian apa belum?"
Ekspresinya serius, kaku, angker sekaligus norak.
"Saya ke sini dipanggil Pak Kus!"
Satpam itu masih juga berlagak galak. Belum sempat dia melanjutkan kalimatanya, seorang pria ramah dan klimis turun dari lantai balkon.
"Oh... dik ke sini saja langsung. Ke ruangan saya!"
Tanpa menghiraukan satpam itu saya temui Pak Kus. Satpam itu pun hanya bengong.Â
***
Oktober 2015.Â
Pagi itu saya harus presentasi di sebuah bank. Sampai di lantai yang dituju, begitu keluar lift harus menemui resepsionis. Tampak seorang perempuan muda. Ia menyambut tidak begitu antusias.
"Maaf mbak.... saya ada meeting jam 8.30 dengan Corporate Secretary".
Perempuan ini mendongak.Â
"Silahkan duduk pak. Nanti saya panggil"
Perempuan ini, ternyata tidak segera menghubungi orang yang dimaksud. Malah kembali duduk, memegang cermin di tangan kirinya, sementara tangannya memoles bibirnya dengan lipstik.
Saya pun duduk dan membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk diantar ke ruang rapat oleh resepsionis itu.Â
***
Kejadian-kejadian di atas, memberikan pelajaran tentang pentingnya melayani dengan cara berkomunikasi yang tepat.Â
Begitu banyaknya perusahaan berbicara setinggi langit mengenai kualitas layanan mereka, bahkan sering memperoleh penghargaan customer satisfaction award.Â
Namun, apabila mereka tidak mampu mendidik front officer mereka dengan baik, citra perusahaan itu bisa terganggu.Â
Penting sekali perusahaan-perusahaaan itu mendidik para frontliners seperti satpam dan para resepsionis itu tentang cara berkomunikasi yang tepat kepada para tamu. Membangun citra perusahaan, bisa dimulai dari sini. Tidak berlebihan bila program komunikasi korporat (cormporate communications) juga harus menyentuh ke level ini.
Sebab, para satpam dan resepsionis itu, sejatinya adalah cermin Perusahaan Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H