Mohon tunggu...
Anab Afifi
Anab Afifi Mohon Tunggu... Konsultan -

Saya ingin mendengar dan belajar dari Anda serta memberi apa yang saya bisa @anabafifi

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Sapa Bilang Menulis itu Gampang

17 Maret 2016   17:40 Diperbarui: 17 Maret 2016   17:55 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Menulis itu Gampang". Demikian wartawan senior Arswendo Atmowiloto. Itu dia katakan pada tahun 82 - 83, waktu saya kelas dua atau tiga SMP.

Banyak orang lantas kemakan tapi tidak bisa membuktikan. Ternyata, saya juga ‘tertipu’.

Jika memang gampang, pastilah semua orang bisa jadi penulis atau pengarang. Jika menulis itu gampang, kakek Jusuf Kalla tidak akan bilang: "2.500 doktor di Indonesia kerjaannya hanya baca koran". Mestinya para doktor itu banyak nulis di koran. 

Setelah mencoba bolak-balik nulis di buku tulis, buku harian, majalah dinding, ngirim tulisan-tulisan ke majalah dan koran, gagal total. Satu-satunya karya yang pernah dimuat hanya satu puisi di koran lokal dan sebuah goresan sketsa di majalah remaja SAHABAT terbitan Kramat Raya, Jakarta. 

Honornya, cuma satu: senang penuh GR. Bonusnya dapat sahabat pena. Seorang gadis Batak dari Depok mengirim surat perkenalan wk wk wk....

Itu terjadi tahun 1985. 

Kondisinya memang demikian. Belum ada yang namanya internet, email, apalagi handphone Android seperti sekarang. Di mana saya kapanpun bisa menulis apa saja yang saya mau, di mana saja melalui perangkat ini. Sekali ketik jadi tanpa tengok-tengok lagi!

Jaman itu, nulis pake konsep dulu di kertas. Lalu disalin lagi.

 
Celakanya, satu-satunya sarana paling canggih adalah mesin ketik. Itu pun tidak semua orang punya.

 
Dengan sok PD nya, saya ngetik naskah dengan mesin itu cetak-cetik-cetuk di kantor sekolah.

 
Sungguh penjaga kantor sekretariat kepala sekokah itu orang pertama yang paling berjasa di dunia. Dia mengijinkan saya make mesin itu di jam-jam di luar sekolah.

 
Saat liburan di kampung, daripada nanggur karena ndak bisa kuliah, di sela waktu kosong membantu orang tua ngurusi ternak ayam yang tidak seberapa jumlahnya, saya coba nulis. Mesin ketiknya dapat minjem milik Pak Lurah.

 
Hla Pak Lurah itu dulunya adalah kompetitor ayah saya saat Pilkades. Ayah saya kalah. Sebetulnya, sedih campur jaim juga. Tapi, keinginan bisa menulis mengalahkan emosi itu.

 
Coba bayangkan bagaimana perasaan ayah saya yang miskin bangkrut gara-gara kalah dalam Pilkades itu. Tapi gengsinya ia buang, demi meluluskan kemauan anaknya. Cie...cieee...!

 
Saya terkejut. Ayah saya yang di hari-hari tuanya dipanggil orang desa dengan Kyai Achmad Dimyati itu, ternyata adalah guru jurnalistik pertama Dahlan Iskan. Dia begitu bangga dengan muridnya itu. Dua bulan di masa sakit jelang kematiannya akibat penyakit sorosis yang juga pernah diderita Dahlan Iskan, nama muridnya itu paling sering ia sebut.

 
Jadi, Kyai Dimyati adalah guru nulis saya yang nomor utama di dunia ini. Selain guru utama ngaji saya, yang ajarannya sering saya tulis nyinyir di blog, FB dan grup-grup diskusi.

 
Bukan Arswendo. Dia cuma provokator saja ternyata, sehingga saya kemakan omongannya dan termotivasi. Anyway, Om Wendo makasih yee....!

 
Nah dengan pengalaman seperti itu, apa Anda masih akan masih bilang menulis itu gampang?

 
Saya berbeda pendapat. Mohon maaf bukan sok jago.

 
Mengingat pengalaman belajar ngawur menulis sendiri, juga pendidikan keras super disiplin di Lembaga Pers Mahasiawa ASPIRASI jaman kuliah, saya tetap ngotot dengan pendapat saya: menulis itu tidak gampang.

Tapi saya punya tesis turunan ilmu ngeles: Menulis memang tidak gampang, tapi asyik!

 
Seasik saya nulis ini tanpa mikir. Tanpa harus ngelamun dulu. Tanpa harus cari inspirasi dengan ngerokok atau ke belakang dulu. Itu semua pikiran yang dibuat-buat untuk membenarkan omongan menulis yang gampang itu.

 
Lalu bagaimana caranya.

Jawabnya ternyata sederhana. Menulislah "dengan gaya saya".

 
Maksudnya, jika Anda membaca kalimat bertanda kutip itu, akan memantul ke diri Anda sendiri. Cara Anda berpikir. Cara Anda bicara. Cara Anda mendengar. Cara Anda menyimak. Bahkan selera humor Anda. 

 
Maka saya jamin Anda bisa menulis dengan lancar. Nah, asyik bukan?

 
Dengan cara ini saya bisa menulis sambil berdiri berdesakan di KRL saat ke Jakarta dengan Android saya. Saat menunggu istri belanja. Saat datang janjian meeting dan ternyata harus menunggu peserta lain yang telat. Dan hampir semua tulisan dan artikel saya tulis dari handphone.

Niru Dahlan Iskan yang konon bisa menulis dari black berry nya saat dalam perjalanan ke daerah di atas ‘pesawat capung’  sambil terguncang-guncang tanpa ketakutan. Bahkan, saat duduk sambil menunggu giliran bicara di sebuah forum dengan tangan kirinya, ia bisa memproduksi seri Manufacturing Hope (sekarang New Hope) yang ditunggu-tungu pembaca setiap Senin pagi.

Jadi Anda tak perlu mengalami belajar seperti saya dulu. Susah bin sulit.

Nulis yuuuuk…! Sebelum nama Anda ditulis di batu nisan atau buku Yasinan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun