Mohon tunggu...
Anab Afifi
Anab Afifi Mohon Tunggu... Konsultan -

Saya ingin mendengar dan belajar dari Anda serta memberi apa yang saya bisa @anabafifi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setelah Gerhana Sirna Gelap pun Tiba

12 Maret 2016   09:38 Diperbarui: 12 Maret 2016   10:43 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gerhana matahari total lantas sunyi dari gegap gempita pembicaraan. Sebab, mereka yang hingar bingar itu hanya membaca kulit-kulitnya semata sebagai fenomena alam.

Kosmologi Jawa membaca dengan sudut pandang berbeda. Bahwa gerhana matahari total tidak semata fenomena pergesaran matahari dan rembulan. Tetapi juga sekaligus membawa pesan.

Inti pesannya adalah: kita memasuki fase sejarah dari terang menuju kegelapan.

Dalam bahasa Qur'an, hal itu adalah lawan atau mafhum mukholafah dari proses sebuah peradaban mulia yang disebut "minadz-dzulumaati ilan-nuur". Dari kegelapan menuju cahaya. 

Bahwa semua ayat, baik berupa teks kitab suci, keberadaan para nabi, maupun alam semesta (kauniyah), berfungsi sebagai partitur untuk memandu arah manusia dari kegelapan menuju terang cahaya. Ayat itu sendiri bermakna "tanda".

Namanya partitur, tentu saja tidak semua bisa membacanya dengan benar sesuai harmoni dan irama yang seharusnya.

Ketika gerhana tiba, maka ia membawa pesan "ayat" atau pertanda jaman sebagai kejadian "minan-nuuri iladzulumaat". Sirnanya terang cahaya dan datangnya kegelapan.

Kalau saya katakan kosmologi Jawa, maka akan dikatakan klenik. Maka, saya akan dibiliang syirik. Padahal, begitulah ekspresi masyarakat Jawa, dalam membaca ayat kauniyah.

Bagaimana Islam memandang?

Ketika datang gerhana, Nabi sungguh ketakutan luar biasa. Sebagai manusia yang makrifat dan mampu membaca ayat atau tanda-tanda melebihi umumnya manusia, baginda mengajarkan agar umatnya mawas diri. Dilakukan dengan sholat, dzikir, mendekatkan diri, serta bersedekah agar terhindar dari bala. 

Orang Jawa punya suatu ilmu yang tidak dimiliki oleh etnis atau bangsa lain. Disebut ilmu titen atau ilmu membaca tanda-tanda. Dan ini sesungguhnya adalah peradaban yang tinggi.

Ilmu titen terkait gerhana matahari itu, adalah kejadian yang akan membawa energi negatif serta mempengaruhi suasana batin dan psikologi masyarakat. Secara ilmiah ini harus diteliti. 

Struktur matahari dan rembulan yang memiliki cahaya. Menurut ilmu fisika, cahaya atau nur adalah gelombang. 

Gelombang itu tentu akan bergerak milyaran kilometer hingga muka bumi yang getarannya menerpa seluruh isi bumi tak terkecuali manusia. Ternyata barang klenik itu adalah soal fisika dan kimia.

Nah, Islam mengantisipasi apa yang dibaca oleh ilmu titen itu dengan mendekatkan diri dan menciptakan situasi sosial kondusif dengan ajaran sedekah. Sedekah ini adalah ajaran yang sangat erat dimensi sosialnya, bukan semata individual apalagi diniati sikap penuh itungan ingin ini dan itu.

Ilmu titen menandai sebuah peristiwa besar setelah gerhana matahari total tahun 1983. 

Saat itu muncul peristiwa politik yang tidak akan pernah bisa dihapuskan dalam latar sejarah Indonesia, yaitu Petrus. Pembunuhan misterius terhadap para preman, garong dan sebangsanya.

Setelah gerhana matahari total 9 Maret 2016, apa yang bakal terjadi?

Semoga bangsa yang dikenal religius ini tidak terkuras dalam pusaran energi negatif dan fokus melanjutkan sejarah gemilangnya. Bila tidak, kita akan kembali tersedot ke jaman kegelapan atau jahiliyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun