Dia adalah sosok perempuan cantik, cerdas, anggun dan mapan. Di bagian sisi lainnya, ia adalah pria tampan, gagah, intelek, kaya dan tentu saja berwibawa. Sangat dicintai dan dikagumi. Namun, sosok menawan itu kini tengah tercoreng aib akibat ulahnya sendiri. Entah itu karena kecerobohannya, atau sebab ia terlena berada di atas prestasi.
Barangkali itulah metafora yang bisa dilekatkan pada PT Telekomunikasi Selular atau dikenal Telkomsel hari-hari ini. Kita dibuat terhenyak dengan apa yang menimpa perusahaan ini.
Ia diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, 14 September 2012 lalu, hanya gara-gara tagihan Rp 5 miliar. Di luar perdebatan benar dan salah dari aspek hukum, salah-salah ini bisa menjadi aib yang tak terhindarkan.
Kok bisa? Itulah pertanyaaan semua orang. Masak iya, perusahaan segede itu tidak mampu membayar tagihan yang -- untuk ukuran Telkomsel -- hanyalah kacang-bawang. Kok bisa pailit, padahal perusahaan ini sangat kuat dan sehat wal afiat?
Tengoklah betapa cantiknya perusahaan ini. Catatan resmi sebagaimana dimuat dalam buku Laporan Tahunan (Annual Report) Telkomsel tahun 2011, menegaskan kuatnya performa perusahaan ini.
Pada tahun 2011, Telkomsel meraih 107 juta pelanggan, dan memposisikan diri pada peringkat ke-7 sebagai operator telekomunikasi terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 100 juta pelanggan.
Total aset perusahaan ini Rp 58,7 triliun dengan pendapatan Rp 48,7 triliun dan laba Rp 12,8 triliun. Dengan pendapatan tersebut, perusahaan ini juga memberikan setoran kepada kas negara yang besar, Rp 16 triliun.
Satu lagi catatan penting mengenai Telkomsel, ia adalah perusahaan operator seluler di Indonesia yang masih milik nasional. Memang, ada saham SingTel di sana. Tetapi, pemegang saham mayoritas masihlah perusahaan induknya, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom) yang menguasai 65%.
Dari sisi itu, jelaslah perusahaan ini masih dikontrol kuat oleh Indonesia, jika dibandingkan dengan Indosat sebagai perusahaan negara yang sudah dikuasai asing.
Ihwal pailitnya Telkomsel ini bermula dari dari gugatan yang dilayangkan oleh PT Prima Jaya Informatika (PJI). Perusahaan ini menuntut karena Telkomsel memutus kontrak pendistribusian kartu pra bayar yang baru berjalan satu tahun dari dua tahun kesepakatan.
PJI mengatakan bahwa Telkomsel menolak mediasi mengenai masalah itu sehingga menempuh jalur hukum. Gugatan pun dikabulkan pengadilan.
Sebaliknya, Telkomsel menampik jika pihaknya menolak upaya mediasi PJI. Karena Telkomsel sudah berupaya mengundang PJI untuk melakukan mediasi, akan tetapi justru ditanggapi PJI dengan mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Di luar kebenaran dalil keduanya, fakta pengadilan mengatakan bahwa Telkomsel divonis pailit. Persoalan inilah yang sulit dihindarkan munculnya persepsi negatif bahwa manajemen Telkomsel kurang aware mengenai masalah itu.
Bahkan, Menteri BUMN Dahlan Iskan, mengatakan bahwa perusahaan dengan identitas korporat grafis warna merah itu, 'terlalu pede'. Bagi siapapun yang mengenal dekat Dahlan Iskan, kalimat itu sangatlah keras ditujukan kepada manajemen Telkomsel.
Di era banjir informasi yang demikian mudah menyebar bagaikan virus ke segala penjuru dewasa ini, musibah yang menimpa Telkomsel ini, sulit untuk dihindarkan dari persepsi negatif publik atas pengelolaan perusahaan itu. Betapapun seandainya Telkomsel ternyata memang benar.
Katakanlah, seandainya yakin bahwa Telkomsel benar atas kasus sengketa itu, kenapa masalah gugatan itu tak tertangani dengan baik? Hari-hari ini publik bertanya-tanya ada apa di balik itu semua.
Mereka juga mempertanyakan sejauh mana praktik tata kelola perusahaan (corporate governance) Telkomsel. Bahkan, ada yang menilai manajemen telah berlaku arogan dan ceroboh.
Dalam bahasa komunikasi korporat (corporate communications), situasi yang dihadapi Telkomsel ini, ibarat orang yang sudah terlanjur tercebur dan basah. Celakanya, ia tercebur di air kotor yang mendodai wajah dan baju indahnya. Tidak penting apakah terceburnya itu karena terpeleset atau memang sengaja dibuat tercemplung oleh orang lain.
Saya yakin semua berharap putusan Mahkamah Agung yang akan keluar pada tanggal 12 Oktober 2012 ini, menggembirakan. Tetapi, Telkomsel juga mesti siap jika kenyataan terjadi sebaliknya.
Menyitir nasihat pendiri Microsoft Bill Gates, sebagaimana ia kemukakan dalam Business @ The Speed of Thought (1999): "Kabar buruk harus datang lebih cepat".
Telkomsel perlu segera membersihkan kotoran di wajah dan bajunya yang sangat mengganggu citra cantik dan gagahnya selama ini. Baik menang atau kalah, Telkomsel tetap saja sudah terlanjur tercoreng noktah merah yang melumuri tubuhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H