Sahabat,
Hari Sabtu pagi (8/5), sesuai janji yang telah disepakati pekan lalu, saya datang ke rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Ini adalah kunjungan saya yang ke sekian kalinya sejak akhir Februari lalu.
Gerbang rumah itu, seperti biasa di siang hari selalu terbuka. Tidak dikunci atau digembok. Rumah besar bertingkat dua itu, juga memiliki halaman yang luas. Di sebelah kanan halaman terdapat gazebo yang asri. Dan, untuk ukuran rumah yang demikian besar, pagarnya sangatlah pendek. Hanya sekitar satu meter. Paling tidak jika dibandingkan dengan rumah-rumah di kawasan itu yang umumnya setinggi dua meter bahkan ada yang lebih, sangatlah kontras.
Begitu saya masuk dengan sepeda motor saya, seorang laki-laki keluar. Dia langsung mempersilakan masuk seraya mengatakan: "Bapak sedang ke sekolahan sebentar". Laki-laki ini adalah salah satu pembantu di rumah ini. Saya mengangguk. Namun, saya lebih suka menunggu di gazebo itu. Begitu nyaman rasanya duduk di situ dengan udara pagi hari yang sejuk semilir.
Setelah menunggu hampir setengah jam, orang yang ditunggu datang.
"Eh.. Mas Anab. Kenapa menunggu di situ? Ayo masuk!"
Kulihat di tangan kanan pria ini memegang amplop warna putih. Sayapun mengikutinya masuk ke dalam. Ruang tamu yang biasanya bersisi sofa-sofa besar dan panjang itu, tidak berada di tempatnya. Jadilah ruangan itu begitu terbuka. Di dinding-dindingnya, tertempel aneka penghargaan dan pengakuan prestasi. Tidak hanya penghargaan berkelas nasional, namun juga internasional. Rumah yang memang sudah besar dan luas itu, menjadi semakin lega saja karena kursi, meja dan sofa disingkirkan entah ke mana. Belakangan, saya baru tahu kalau hari ini pria ini akan kedatangan rombongan tamu yang cukup banyak dari Yogyakarta. Sekitar 150 orang.
Melihat ruangan yang demikian kosong, saya berjalan menuju bagian belakang rumah itu. Sementara saya menunggu di ruang belakang, pria ini masuk ke kamarnya. Halaman belakang rumah itu, terdapat kolam serta gazebo dibagian atasnya. Terdapat jembatan kecil selebar satu meter untuk mencapai gazebo tersebut. Beberapa waktu lalu, saya pernah ngobrol di ruangan itu bersama si pemilik rumah ini. Tapi kali ini saya memilih duduk di teras di depan kolam itu. Duduk di kursi depan meja bundar dengan tapak meja warna butih berenda.
Selang beberapa menit, pria ini keluar. Di tengah senyum hangatnya, ada raut muka yang tidak dapat disembunyikan. Di balik bening kaca matanya, bapak ini berkaca-kaca. Kedua sudut matanya memerah. Nada bicaranya tersendat. Belakangan saya akhirnya tahu juga, ketika saya menunggu di samping kolam itu tadi, di kamarnya, istri bapak ini menangis menerima kabar yang dia disampaikan.
Di depan saya, pria ini duduk dengan memegang amplop putih itu. Kulihat amplop itu tertera nama sebuah sekolah menengah pertama. Lalu di sudut kiri amplop itu tertera tulisan tangan dengan huruf kapital ZARAH.
"Mas Anab", pria ini mengawali pembicaraan.
"Kalau cucu saya bisa meraih nilai raport rata-rata sembilan di setiap mata pelajarannya, itu tidaklah mengherankan. Tentu saya bangga. Namun, kebanggaan itu tidaklah begitu melambung. Bahkan bisa dibilang sesuatu yang wajar, karena dia tumbuh dalam situasi dan dukungan keluarga yang menunjang ".
Saya hanya terdiam. Penasaran, terus menyimak apa sesungguhnya yang ingin dia sampaikan.
Lalu bapak ini mengeluarkan isi amplop itu. Ternyata itu adalah hasil pengumuman Ujian Nasional (UN). Terpampang di situ nilai-nilanya. Rata-rata di atas angka enam, enam koma sekian. Sementara untuk pelajaran matematikan dan IPA lebih tinggi. Tujuh dan delapan.
Rupanya, pria ini tidak dapat menyembunyikan rasa haru dan syukurnya melihat gadis itu lulus UN dengan nilai yang baik. Dengan masih terbata-bata dan memerah matanya, pria di hadapan saya ini bercerita.
"Empat belas tahun lalu, anak ini saya pungut dari seorang ibu, yang karena suatu kondisi tidak menginginkannya. Dia mengalami keadaan yang tidak beruntung sebagaimana umumnya anak-anak lainnya yang memperoleh kasih sayang orang tua."
Bapak ini kemudian menceritakan, bahwa setahun lalu dia dipanggil kepala sekolah karena nilai-nilai Zarah demikian parah. Untuk semua mata pelajararan rata-rata nilainya hanya 2. "Saya akhirnya terpaksa menceritakan siapa sesungguhnya gadis ini, dan mohon kepada para guru untuk membantu".
"Ketika datang ke sekolah itu saya sengaja duduk di belakang di deretan undangan orang tua murid. Berharp akan mendapat kesempatan dipanggil terakhir kalinya sehinga akan ada kesempatan untuk berbicara dengan para guru. Saya sibuk menata hati dan perasaan saya, untuk menghadapi kenyataan jika anak saya benar-benar tidak lulus. Maka, sungguh saya tidak menyangka jika dia hari ini lulus dengan nilai yang membanggakan," papar pria ini.
"Perhatian dan kasih sayang para guru sekolah itu rupanya telah mampu mengubah motivasi dan mental Zarah," tambahnya.
Setelah menceritakan hal itu, berangsur-angsur nada suaranya kembali normal. Matanya tidak lagi berkaca-kaca. Terlihat sekali kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.
Siapakah pria ini? Pria berumur 60 an mantan top eksekutif sebuah perusahaan multinasional ini, sejatinya juga memiliki anak kandung. Laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah hidup mapan dengan keluarga masing-masing.
Meski kedua anak kandungnya sudah tidak serumah, rumah yang besar itu, setiap hari tidak pernah sepi. Maklum, di rumah itu terdapat 23 anak dari umur 2 bulan sampai 15 tahun. Mereka datang dan masuk ke keluarga itu dengan cara dan sebab beragam dan tidak diduga. Entah mengapa demikian. Yang jelas, sebagaimana dituturkan pria ini, dia tidak pernah mencari anak-anak papa untuk diasuh. Mereka adalah anak-anak dengan latar belakang yang berbeda. Ada yang ditemukan di terminal, anak yang ditinggalkan orang tuanya di angkot, anak yatim yang dititipkan orang, dan sebagainya.
Cinta dan kasih sayang suami istri itu begitu besar dengan anak-anak papa yang demikian banyak itu. Tidak hanya itu, mereka juga memberi perhatian yang besar kepada orang-orang di luar sana. Para pemulung, tukang sapu, tukang cuci, tuna netra, dan lainnya. Pernah suatu hari, suami istri itu, mem-booking dua gerbong kereta eksekutif Jakarta - Bandung, mengangkut orang-orang kecil mulai dari tukang sampah, pemulung, tukang cuci, serta nenek-nenek. Mereka diajak bertamasya. Saya sendiri berkesempatan menyaksikan perjalanan itu.
Sahabat,
Sering ada yang mengatakan: " hidup terkadang tidak adil". Melihat kenyataan ini, saya lebih suka mengatakan:" hidup begitu indah". Masih banyak orang-orang yang dengan kemampuan ilmu dan ekonominya begitu tulus membantu orang-orang kecil. Tanpa dalil. Tanpa khotbah. Tanpan pamrih. Hanya dengan berbuat, bekerja, dan terus berbuat.
Salam,
Anab Afifi
Promoting the knowledge exchange
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H