Mohon tunggu...
Ana Atikah
Ana Atikah Mohon Tunggu... Lainnya - @atikahanaaa

Seorang mahasiswa dan asisten apoteker yang hobi menulis dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

KKN: Sepotong Pizza, Sepenuh Cinta

28 Juni 2024   06:58 Diperbarui: 28 Juni 2024   08:00 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lumeran saus, potongan daging, dan warna-warni paprika, menghiasi toko pizza sepetak di belakang kantor desa Maju Jaya. Di antara deretan kios pemuda desa yang ramai oleh isi kepala dan ambisi, cita dan cinta seolah terasa dekat namun kadang juga jauh. Toko pizza sepetak itu tak kalah ramai dengan kios lainnya, wangi khas roti panggang dan daging asapnya menyeruak hingga dinding dan gagang pintu yang panjang mengikuti bentuk pintu kacanya. Ruangannya dingin seperti sikap salah satu karyawannya. Ialah Danez, pria berpostur tubuh tinggi yang tengah sibuk bertugas di mesin kasir. Wajahnya rupawan bak artis korea, rambutnya klimis, hidungnya mancung, hanya saja tak pernah tersirat senyum dari bibirnya. Tapi entah kenapa, meski begitu ia tetap menjadi primadona. Banyak sekali wanita-wanita yang saling berebut memesan pizza di depan mesin kasirnya, atau tepatnya di hadapan Danez. Kalau kamu pikir ia akan merasa sok ganteng, seratus persen kamu salah. Ia akan memasang wajah paling jutek dan galak sekali. Nada bicaranya akan meninggi, dan ia tak peduli akan dicap tidak baik. Toh, pemilik toko tak pernah memecatnya hingga kini. Bagaimana tidak, pria menyebalkan itu justru menjadi alasan banyak wanita termasuk aku untuk menapakkan kaki lagi dan lagi di tempatnya bekerja. Pesona Danez yang dingin dan tak bersemangat, seolah menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita penuh rasa penasaran sepertiku.

"Seperti biasa ya, Danez." Ujarku padanya, ketika sampai di depan mesin kasir dan melihatnya memakai seragam berwarna biru dengan label nama mengkilap tepat di atas saku kecilnya.

Dia memandangku sinis, mengangkat alis kanannya dan, "Maksudnya apa ya, Mba?"

Apa? Mba katanya? Celotehku dalam hati, kesal bukan main.

"Iya, pesananku yang biasa. Masa tidak hafal, aku kan setiap hari ke sini. Aku mahasiswa kampus Galaksi. Aku ketua BEM, dan aku mahasiswa KKN di desa ini. Kenapa kamu jadi seolah tidak mengenaliku seperti tadi."

Dia lagi-lagi mengangkat alisnya yang sedikit tebal, membiarkan matanya tajam menatapku. Seolah hendak menerkamku dalam sekejap.

"Mahasiswa yang datang ke sini setiap hari bukan hanya kamu, jadi tidak perlu merasa spesial. Apalagi, membawa nama BEM. Kamu pikir derajatmu sama dengan presiden."

Semakin kulawan, dia semakin ingin menghilangkanku dari hadapannya. Atau bahkan dari dunia ini.

"Pizza jamur dengan paprika merah yang banyak dan saus tomat, dan satu lagi ... keju mozzarela. Dua slice, makan di sini. Minumnya teh leci." Kataku cepat, tak ingin berlama-lama berseteru. Sudah banyak orang yang menunggu di antrean belakang.

Toko pizza sepetak di belakang kantor desa itu memang menarik. Bukan hanya karena ada Danez di dalamnya, tetapi juga kita bisa membeli dan menikmati pizza secara potongan, pas untuk kantong mahasiswa. Toko itu merupakan gerakan UMKM desa di mana tempatku KKN. Tokonya selalu ramai, sampai terkadang sulit menemukan tempat duduk. Tak terkecuali denganku, soal ketua BEM atau bukan, aku hanya kesal dengannya tadi. Kuharap kesombongan ucapanku tak ada yang mendengarnya kecuali Danez. Kudengar, sombong kepada orang yang lebih sombong tidak masalah. Aku tertawa kecil sambil memilih meja. Akhirnya, aku duduk di bagian pojok toko pizza. Aku bisa menangkap semua pemandangan dari sini, terutama mesin kasir yang sejajar langsung dengan mataku. Menatap wajah jutek Danez dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi kekasih dari pria yang amat dingin. Apa aku akan seperti Bella di film Twilight? Ah, aku tertawa kecil lagi sambil bengong. Sampai-sampai tak menyadari pesananku datang. Kali itu, Danez sendiri yang mengantarkan. Mungkin karena toko sedang ramai-ramainya. Dia menyodorkan makanan dan minumanku tanpa sepatah kata pun, tanpa senyuman dan bahkan rasanya ia tak menoleh kepadaku.


****


Suatu malam, aku sedang kalut sekali. Tugasku numpuk, keluargaku sulit dihubungi, teman-teman KKN yang sulit diajak berdiskusi, dan hanya toko pizza sepetak di belakang kantor desa Maju Jaya yang masih buka hingga tengah malam. Pemuda-pemudi desa biasanya masih memenuhi tempat itu, maklum ... tak ada tempat nongkrong yang lebih mewah selain toko pizza di belakang kantor desa. Aku melipir ke sana seorang diri. Duduk di meja pojok andalan. Bedanya, kali ini aku tak berniat menatap Danez. Aku hanya ingin duduk dan menikmati dua slice pizza jamur dengan paprika merah, saus tomat, dan keju mozzarela di atasnya.

Mulanya, Danez terlihat bingung. Aku biasanya menggoda pria itu hingga kesal. Tapi sejak memesan pizza di depan mesin kasir, aku tak bicara apapun selain menyebutkan pesanan. Di meja tempatku makan, aku juga hanya bilang terima kasih pada lelaki tinggi itu.

"Tumben sekali, larut malam ke sini. KKN macam apa yang membiarkan mahasiswanya keluyuran makan pizza di tengah malam."

Aku baru bisa memandangnya lagi, dengan perasaan kaget sekaligus tak percaya. Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan dengan sukarela padaku, tanpa ada unsur pekerjaan di dalamnya. Dari ucapan itu, tiba-tiba saja aku berkawan dengannya. Kami jadi sering pergi mengelilingi desa tempatku KKN. Dia banyak bercerita, banyak tersenyum, seperti bukan Danez yang kukenal sebelumnya. Atau memang aku baru mengenal Danez yang sebenarnya. Dia bilang dirinya adalah anak desa Maju Jaya yang ingin benar-benar membangun desanya menjadi lebih maju, untuk itu ia bekerja di UMKM desa, tepatnya di toko pizza sepetak itu. Danez juga bilang kalau ia ingin bertahan di desa ini, desa yang sebelumnya hendak dihancurkan oleh perusahaan minyak milik swasta.

"Perusahaan minyak?" Tanyaku, menyadari satu hal yang tidak masuk akal.

Danez mengangguk cepat. Ada nyala kekesalan yang begitu dalam di bola matanya.

"Perusahaan itu dulu ingin menggusur desa kami, katanya sudah mengantongi izin dari pemerintah. Mereka bilang, desa ini tidak layak dipertahankan. Banyak generasi mudanya yang mabok dan pemakai narkoba. Aku tidak terima. Aku dan beberapa pemuda desa akhirnya menggerakkan UMKM untuk kita lebih produktif, untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa desa ini bukan desa yang bisa sembarang mereka hilangkan. Aku benci sekali dengan perusahaan itu." Ia bertutur dengan tegas, aku yakin ia pemuda yang cerdas.

Tapi kecemasanku melahirkan rasa penasaran yang teramat dalam, "Kalau aku boleh tahu, perusahaan apa yang ingin menggusur desa ini?" Tanyaku.

"Perusahaan Minyak Exera."

Detik itu, serupa senapan yang mengarah tepat di hatiku. Remuk, hancur, berkeping-keping. Detik itu, aku benar-benar ingin hilang. Dari hadapan Danez atau juga dunia ini. Aku ingin mengutuk diriku sendiri karena lahir dengan nama Alesia Exera Wijaya, anak dari pemilik perusahaan minyak Exera. Aku menyadari bahwa Danez akan ikut membenci semua tentangku. Detik itu juga, aku ingin pulang dan melupakan pria yang amat kugemari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun