Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Legal Opinion: Studi Kasus Pemerasan pada Proyek Rehab SD/SMP Pasca Bencana Gempa Kota Mataram, NTB

7 Januari 2021   09:36 Diperbarui: 7 Januari 2021   09:57 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
VONIS : Terdakwa kasus pemerasan pada proyek rehab SD/SMP pasca bencana Kota Mataram, H. Muhir, divonis dua tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Mataram kemarin. (Dery Harjan/Radar Lombok)

Kasus Muhir ini merupakan kasus yang bermula dari pengajuan anggaran terkait dana bantuan terhadap fasilitas yang rusak terutama di SD dan SMP dikarenakan adanya bencana gempa yang terjadi di Lombok. Diperkuat lagi dengan posisi Muhir ini sebagai Ketua Komisi IV DPRD bidang kesejahteraan rakyat yang tentunya berkaitan erat dengan kebijakan tersebut. Hingga kemudian berujung kepada Muhir yang kemudian akhirnya menyetujui pengajuan anggaran oleh Sudenom sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram pada saat itu. Dimana, anggaran yang disetujui sebanyak Rp, 4,2 milyar. Tentunya, nominal tersebut tidak jauh berbeda dengan anggaran yang diajukan oleh Sudenom.

Hingga kemudian, dikarenakan Muhir berhasil menyetujui anggaran tersebut, Muhir kemudian meminta uang sebagai bentuk hadiah terhadap jasa yang dilakukannya. Hal ini ia lakukan kepada Sudenom selaku Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram yang mengajukan anggaran. Dikarenakan Sudenom takut jika tidak menuruti kemauan Muhir akan berdampak pada keberlangsungan cairnya anggaran, maka Sudenom pun akhirnya menuruti kemauan Muhir. Dimana, berdasarkan kronologi perkara bawha Muhir telah meminta sejumlah uang sebesar Rp. 30 juta dan Rp. 1 juta. Dan pemberian uang tersebut dilaksanakan di tempat dan waktu yang berbeda. Atas dasar hal tersebutlah, Sudenom dijatuhi pasal Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 terkait penerimaan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan yang dimilikinya. 

B. REKOMENDASI

(1). Kewajiban pelaporan jika memang menolak gratifikasi dan jaminan perlindungan bagi siapapun yang melaporkan adanya gratifikasi dan tambahan sanksi jika tidak dilaporkan adanya gratifikasi

Beberapa hal yang dikaji oleh penulis dalam kronologi perkara terkait bantahan yang dilakukan oleh Muhir adalah bahwa Muhir sempat menolak pemberian Sudenom yang nominalnya Rp. 30 juta tersebut. Dan juga dinyatakan bahwa Sudenom memberikan uang terebut untuk memperlancar kebijakan pencairan anggaran. Hal ini dilakukan oleh Sudenom sebagai bentuk pemberian hadiah. Dan pada nyatanya, regulasi sejatinya sudah menerapkan dalam Pasal 12 C ayat (1) UU Tipikor terkait batasan selama maksimal 30 hari untuk melaporkan jika memang ada indikasi adanya gratifikasi tersebut. 

Nyatanya, Muhir pun tidak melakukannya. Dan justru, Muhir malah sempat menerima uang Rp. 1 juta. Artinya, masih ada kemudian potensi dari Muhir menerima pemberian hadiah yang diberikan oleh Sudenom tanpa menolaknya. Logikanya, ketika memang dia sudah mengetahui indikasi tersebut sejak awal dan memang sudah ada niatan untuk menolaknya, artinya harusnya Muhir sudah melaporkannya. Namun, nyatanya hal tersebut tidak dilakukan. Artinya, penolakan yang dilakukan oleh Muhir bisa saja sebagai bentuk alasan yang memang tidak berdasarkan bukti yang kuat. Kesimpulannya, bukan menolak, tetapi belum siap menerima. Belum siap menerima ini tandanya Muhir masih ada potensi menerima di hari yang lain. 

Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 2000:15) mengemukakan bahwa di Idonesia kita mengalami bahwa dengan teori-teori yang formal positivistis akan sulit untuk dapat memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap kemelut yang terjadi dinegara kita. Teori-teori postivistis hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta proses-proses normal seperti diantisipasi oleh hukum positif, oleh karena sangat terbatas untuk tidak menyatakan gagal, apabila dihadapkan kepada suasana kemelut dan kegoncangan seperti terjadi di negara kita. 

Berkaitan dengan adaya hal tersebut, maka hukum perlu dikaji secara sosiologis agar tidak hanya terikat pada normatif saja dan bisa sesuai dengan keadaan realita di masyarakat seperti apa.

Kejadian gratifikasi pada umumnya tidak disertai dengan pengungkapan secara lugas mengenai maksud dari gratifikasi tersebut dan pihak penerima juga tidak mengetahui bahwa pemberian tersebut adalah gratifikasi. Inilah kemudian yang membedakan antara gratifikasi dengan suap, dimana pada delik suap menyuap terjadi transaksi secara terang-terangan antara pemberi dan penerima (transaksional). Sementara pemberian gratifikasi seringkali tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung (nontransaksional), namun memiliki kecenderungan sebagai tanam budi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

Menurut Pasal 15 UU KPK, KPK pada dasarnya sudah memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang telah menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban. Dalam konteks ini, pelapor gratifikasi dapat akan dibutuhkan keterangannya sebagai saksi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. 

Misalnya, ketua dan anggota tim di sebuah instansi diduga menerima gratifikasi terkait pelaksanaan tugasnya, akan tetapi, hanya satu orang pelapor yang menyampaikan laporan gratifikasi. Dengan laporan tersebut, secara tidak langsung dapat membuka informasi terkait dugaan penerimaan gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri/penyelenggara negara lainnya, dan dugaan tindak pidana korupsi lainnya. Kondisi inilah yang selanjutnya dapat memosisikan pelapor sekaligus sebagai whistleblower yang berpotensi mendapatkan ancaman dari pihak lainnya. Pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang bersifat fisik ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karir pelapor dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada KPK atau LPSK. Instansi/Lembaga Pemerintah disarankan untuk menyediakan mekanisme perlindungan khususnya ancaman terhadap karir atau aspek administrasi kepegawaian lainnya. Bentuk perlindungan tersebut dapat diatur dalam peraturan internal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun