Mohon tunggu...
Ana Fauzia
Ana Fauzia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Hidup Bahagia dan Bahaya Merasa Sepi

31 Oktober 2020   20:48 Diperbarui: 1 November 2020   12:28 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (source: pexels.com)

"Sepi tidak melulu tentang mereka yang hidupnya selalu sendirian, atau tentang mereka yang hidup di tengah keramaian. Tapi sepi adalah tentang rasa yang ada dalam diri manusia, dan mungkin saja tentang jiwa yang belum menemukan bahagia". - Ana Fauzia

Saat ini, ada lebih dari 6 milyar manusia di atas muka bumi ini. Namun, banyak orang masih hidup dalam kesepian yang menggerogoti jiwa mereka. Bukankah ini merupakan salah satu keanehan terbesar umat manusia di abad ke-21 ini?

Layaknya lantunan lagu yang dinyanyikan Once dari Band Dewa, "di dalam keramaian, aku masih merasa sepi.."

Berbagai penelitian dari berbagai bidang ilmu sampai pada satu kesimpulan, bahwa kesepian itu berbahaya. Ia mendorong orang untuk berpikir salah. Akibatnya, ia merasa kesal, dan bahkan mengalami depresi. Dengan kondisi ini, akibatnya banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk melakukan bunuh diri (Solomon, 2002).

Apakah kesepian selalu menggiring manusia ke arah kegelapan seperti ini?

Akar-akar Kesepian
Saya melihat, ada dua akar mendasar dari kesepian. Pertama adalah akar sistemik. Kita hidup di dalam masyarakat pembunuh. Ada dua ciri mendasar dari masyarakat pembunuh, yaitu ketakutan pada segala bentuk perbedaan (cara berpikir/sudut pandang yang berbeda, cara hidup yang berbeda, bahkan keyakinan yang berbeda) dan kecenderungan untuk melihat sistem, aturan serta kebijakan lebih penting dari hidup manusia.

Akar kedua adalah akar pribadi. Biasanya, orang mengalami kesepian, setelah ia mengalami peristiwa yang berat dalam hidupnya. Misalnya, ia kehilangan keluarganya, atau gagal dalam hubungan yang bermakna baginya.

Hal lain juga berpengaruh, misalnya kecenderungan diri yang amat rapuh (sensitif) terhadap berbagai peristiwa hidup. Berbagai karya sastra klasik di berbagai peradaban sudah menggambarkan situasi kesepian yang begitu mencekik jiwa manusia (Solomon, 2002).

Memahami Kembali

Saya ingin kembali ke pertanyaan awal, apakah kesepian selalu menggiring pada penderitaan dan kematian? Jawaban saya "tidak".

Ada lima argumen yang ingin saya ajukan. Dasar dari kelima argumen ini adalah, bahwa kesepian bisa menjadi satu bentuk jalan hidup manusia yang juga membawa makna serta kebahagiaan.

Bagaimana ini dijelaskan? Pertama, kesepian bisa dijadikan sebagai waktu yang tepat untuk berpikir ulang tentang hidup kita. Kesepian adalah waktu untuk melakukan refleksi. Kita diajak untuk melihat apa yang sudah kita lakukan, sehingga kita sampai pada titik kesepian ini.

Kita juga diajak untuk berpikir lebih mendalam, apa yang akan kita lakukan dengan berpijak pada kesepian yang kita rasakan sekarang ini. Kesepian membuat hidup kita menjadi lebih mendalam.

Kedua, waktu kesepian juga bisa digunakan untuk melakukan tinjauan ulang, apa yang sungguh penting di dalam hidup kita. Kita diajak untuk memikirkan ulang, apa yang sungguh bermakna di dalam hidup kita, sehingga itu layak untuk dikejar, walaupun sulit. Kita juga diajak untuk melepaskan apa yang palsu dan "membunuh" kita perlahan-lahan. 

Kesepian membuat kita sadar dan fokus pada apa yang sungguh penting dalam hidup kita, dan membuang jauh-jauh hal-hal yang jelek dan merusak hidup kita.

Ketiga, kesepian juga mengajak kita berpikir ulang tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita diajak untuk sungguh membedakan antara sahabat dan teman/parasit.

Sahabat akan hadir dan menemani kita di waktu kesepian. Sementara, teman/parasit hanya akan tertawa saja. Kita lalu bisa sungguh fokus pada sahabat kita yang, walaupun sedikit, akan selalu bisa menjadi pilar penyangga dalam hidup kita.

Ingatlah, bahwa kualitas hidup kita juga ditentukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita, yakni sahabat-sahabat kita. Jangan pernah takut untuk kehilangan teman, karena itu adalah bagian dari proses penyaringan untuk sungguh tahu, siapa sahabat sejati kita, baik sekarang ataupun nanti. 

Keempat, kesepian juga adalah kesempatan kita untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Di dalam kesepian, kita masuk dalam suatu keadaan gelap. Kita dipaksa untuk melepas semua pandangan dan keyakinan kita yang ada. Lalu, kita pun punya kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru, dan mungkin lebih baik dari sebelumnya. Kesepian adalah saat untuk menjadi kreatif. 

Kelima, dengan sudut pandang yang berbeda, kita lalu berpikir dengan cara yang berbeda. Kita pun lalu bisa bekerja dan berkarya dari sudut pandang yang berbeda. Inilah hakekat dari penemuan baru yang bisa membawa manusia ke arah kehidupan yang lebih baik.

Kesepian bisa dibaca sebagai saat untuk menjadi penemu dan penerobos kebuntuan di dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

Kebahagian Sebagai Jalan Hidup

Memang, ada kesedihan dan penderitaan di dalam kesepian. Namun, jika tidak ditata dan dimaknai dengan tepat, kesepian juga bisa menghancurkan manusia.

Kesepian juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk bangkit dan melakukan perubahan penting dalam hidup kita. Ia tidak perlu dilihat sebagai kegelapan, melainkan sebagai jalan hidup yang bisa ditempuh, guna menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup. Banyak orang takut kesepian, karena itu merupakan tanda, bahwa mereka itu sendiri. Sehingga, orang takut dengan kesendirian.

Argumen ini melupakan fakta, bahwa banyak orang yang memiliki keluarga dan memiliki sahabat sekalipun juga merasa kesepian. Dari sini kita melihat bahwa kesepian dan kesendirian memang memiliki kaitan satu sama lain, namun juga bukan berarti bahwa kesepian dapat berarti kesendirian. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah apa yang ada dalam diri kita, yaitu tentang apa yang kita rasakan.

Apakah hati atau jiwa kita merasa bahagia atau tidak. Oleh karena itu, apakah seseorang yang hidupnya penuh kebahagiaan pernah merasa sepi sekalipun ia sendirian dan jauh dari keramaian? Kurasa tidak.

Bahagia pada dasarnya adalah tentang apa yang kita persepsikan. Kebahagiaan itu tidak dicari, namun diciptakan. Mengapa? Karena bilamana kebahagiaan itu bisa dicari ataupun dibeli, mungkin hanya mereka yang punya uang yang akan memiliki kebahagiaan.

Tapi mungkin ada pertanyaan yang mengatakan bahwa "Bagaimana dengan mereka yang bahagia karena pergi ke mall, shooping, pergi ke salon, pergi liburan ke luar negeri? Bukankah itu karena uang?". 

Pertanyaan atau pandangan tersebut sama sekali keliru dalam memahami konsep kebahagiaan, apakah mereka tidak akan bahagia jika mereka tidak bisa pergi jalan-jalan, shooping, ataupun pergi ke salon karena tidak ada uang? Tentu inilah yang juga akan menjadi sumber masalah, karena berawal dari pola pikir yang salah yaitu merasa bahwa kebahagiaan hanya akan ada apabila apa yang diinginkan terpenuhi.

Hidup yang bahagia menyentuh tiga tingkatan. Pertama adalah hidup yang bernilai dari kaca mata pribadi. Artinya, kita menganggap cara hidup kita itu penting dan menarik untuk diri kita sendiri.

Kedua adalah cara hidup tersebut tidak hanya bernilai secara pribadi, tetapi juga bermakna untuk orang lain. Orang lain terbantu dengan cara hidup yang kita pilih. Adapun yang ketiga adalah, hidup kita lalu bergerak terlepas dari nilai pribadi dan makna sosial. Kita melampaui diri pribadi serta tuntutan sosial, dan menjadi bebas sepenuhnya. 

Hidup kita lalu menjadi alamiah sepenuhnya, serta mampu menanggapi segala keadaan yang terjadi secara tepat. Inilah yang saya sebut dengan kebahagiaan sebagai pencerahan batin. Hegel, filsuf Jerman abad 19, menyebut hidup yang bernilai secara pribadi sebagai moralitas, dan hidup yang bermakna sosial sebagai hukum.

Yang pertama memberikan kepuasan pribadi. Yang kedua memberikan kesesuaian dengan kehidupan sosial. Namun, keduanya lalu dilampaui ke dalam Sittlickeit, yakni tata moral yang mendamaikan tegangan antara keinginan pribadi dan tuntutan sosial masyarakat.

Michael Bordt, dosen di Hochschule fr Philosophie Mnchen, menyebut hidup yang bahagia sebagai hidup yang berhasil (das gelungene Leben). Ia memberikan kepuasan pribadi maupun makna kepada orang lain. Tidak ada pertentangan antara prinsip hidup pribadi dan nilai-nilai sosial masyarakat.

Dengan cara berpikir semacam ini, orang lalu bisa menjalani hidupnya dengan bahagia. Bordt juga menegaskan, bahwa kita kini hidup di dalam masyarakat yang serba tidak pasti. Identitas diri kita pun lalu juga tidak pasti. Mungkin, kemarin saya bekerja sebagai seorang dosen, dengan identitas diri dan identitas sosial sebagai seorang dosen.

Namun, besok saya bisa ganti pekerjaan menjadi seorang bisnisman misalnya. Identitas diri dan identitas sosial saya pun lalu berubah. Di dalam dunia semacam itu amatlah penting bagi kita untuk memiliki visi soal hidup yang bahagia. Bordt menyebutnya sebagai identitas yang terus dirangkai (Bastelidentitt/ Bastelbiographie).

Tanpa visi yang jelas tentang hidup yang penuh, bermakna dan bahagia, kita akan terombang ambing diterpa segala perubahan yang ada. Kita pun akan hidup menderita.

Kondisi alamiah manusia adalah kebahagiaan. Sejatinya, kita semua selalu bahagia. Kesalahan berpikirlah yang menutupi kebahagiaan itu, sehingga kita kerap kali merasakan penderitaan dan kesepian. Untuk bisa bahagia, orang perlu melepaskan pandangan-pandangannya yang salah tentang kehidupan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun