Yang pertama memberikan kepuasan pribadi. Yang kedua memberikan kesesuaian dengan kehidupan sosial. Namun, keduanya lalu dilampaui ke dalam Sittlickeit, yakni tata moral yang mendamaikan tegangan antara keinginan pribadi dan tuntutan sosial masyarakat.
Michael Bordt, dosen di Hochschule fr Philosophie Mnchen, menyebut hidup yang bahagia sebagai hidup yang berhasil (das gelungene Leben). Ia memberikan kepuasan pribadi maupun makna kepada orang lain. Tidak ada pertentangan antara prinsip hidup pribadi dan nilai-nilai sosial masyarakat.
Dengan cara berpikir semacam ini, orang lalu bisa menjalani hidupnya dengan bahagia. Bordt juga menegaskan, bahwa kita kini hidup di dalam masyarakat yang serba tidak pasti. Identitas diri kita pun lalu juga tidak pasti. Mungkin, kemarin saya bekerja sebagai seorang dosen, dengan identitas diri dan identitas sosial sebagai seorang dosen.
Namun, besok saya bisa ganti pekerjaan menjadi seorang bisnisman misalnya. Identitas diri dan identitas sosial saya pun lalu berubah. Di dalam dunia semacam itu amatlah penting bagi kita untuk memiliki visi soal hidup yang bahagia. Bordt menyebutnya sebagai identitas yang terus dirangkai (Bastelidentitt/ Bastelbiographie).
Tanpa visi yang jelas tentang hidup yang penuh, bermakna dan bahagia, kita akan terombang ambing diterpa segala perubahan yang ada. Kita pun akan hidup menderita.
Kondisi alamiah manusia adalah kebahagiaan. Sejatinya, kita semua selalu bahagia. Kesalahan berpikirlah yang menutupi kebahagiaan itu, sehingga kita kerap kali merasakan penderitaan dan kesepian. Untuk bisa bahagia, orang perlu melepaskan pandangan-pandangannya yang salah tentang kehidupan.